Pengorbanan Ayah

Senja merekah menenggelamkan dunia. Matahari perlahan menghilang di ufuk barat. Dan gelap, mulai merangkak pertanda malam akan segera tiba. Aku di sini, terpaku sendiri di sudut kamar kos. Ada resah menyelubung, ada gundah yang membuncah. Mungkinkah rasa tak menentu ini adalah sebuah pertanda? Atau mungkin hanya sebuah rasa biasa yang tak ada artinya? Aku masih tetap terpaku, membisu. Pada siapa pula aku harus bertanya? Sementara di rumah kos ini, hanya aku sendiri penghuninya. Dan, sekeras apapun otakku berpikir, bermacam tanya yang berjejalan dalam rongga kepalaku tetap tidak terpecahkan. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.

Sumber : Google

Ah, tiba-tiba saja aku teringat pada Ayah. Keriput yang mulai menghiasi wajahnya, melintas bagai halilintar dalam anganku. Imajinasiku melayang, mengingat kisah laluku di waktu kecil bersamanya. Dulu, ketika aku bandel dan Ibu sering memukulku, Ayah adalah orang pertama yang membelaku. Dulu, saat aku menangis karena Ibu tak menuruti kemauanku, maka Ayah pula orang pertama yang menenangkanku. Dan ketika tak seorang pun memepercayai ucapanku, maka Ayah adalah orang pertama yang dengan ikhlas tersenyum dan berkata, “Nak, Ayah mempercayaimu. Ayah yakin, kamu tidak bersalah dalam hal ini,”. Tiba-tiba saja kristal bening berloncatan dari mataku. Aku merindukan masa-masa itu. Masa di mana aku dulu sangat dekat dengan Ayah.
Ayah adalah seorang pekerja keras. Hanya demi keluarga, ia rela pulang hingga larut, di mana orang-orang telah terlelap dalam mimpi. Ya, waktu itu Ayah harus menyekolahkan empat anaknya. Aku, dan ketiga kakakku. Tentu saja, perjuangan tersebut bukanlah perjuangan mudah. Ayah harus bekerja keras membanting tulang demi menghidupi keluarga. Meski lelah yang kuyakin begitu dirasakannya, namun setiap saat tak pernah kulihat wajahnya mengguratkan kesedihan. Ia senantiasa menyunggingkan senyum yang membuat hatiku damai. Ah Ayah, aku merindukanmu. Teramat sangat merindukanmu.

Ayahku bukanlah seorang pekerja kantoran apalagi pejabat negara. Semenjak aku membuka mata dan mulai mengenal dunia, Ayahku yang kukenal hanyalah seorang pedagang ayam kampung. Jika sore menjelang, sekitar pukul tiga Ayah pergi dari rumah. Menelusuri jalan setapak menyambangi satu rumah ke rumah lainnya hanya untuk menanyakan barangkali ada orang yang mau menjual ayam peliharaannya. Perjalanan Ayah yang cukup jauhlah yang membuat Ayah seringkali pulang malam. Bayangkan saja, setiap harinya Ayah bisa menelusuri tiga sampai empat desa sekaligus. Dan hal tersebut ditempuhnya hanya dengan berjalan kaki.
Meski malamnya Ayah pulang hingga larut, pagi harinya Ayah masih harus pergi ke pasar untuk menjual ayam-ayam yang didapat kepada seorang pengepul. Subuh hari Ayah sudah harus berangkat dari rumah. Sebab, jarak rumah ke pasar cukup jauh. Jika mau ke pasar, Ayah harus naik angkutan umum agar tidak terlambat. Sementara untuk bisa mendapat angkutan umum, dari rumah ke jalan raya Ayah harus menempuh jarak lima kilometer terlebih dahulu. Jalanan yang dilalui bukanlah jalanan aspal yang lurus, melainkan melalui sungai, pematang sawah, serta jalanan yang naik turun. Terlebih jika musim penghujan datang. Maka jalanan yang harus dilalui tentu menjadi licin dan becek. Butuh perjuangan keras untuk dapat sampai ke tempat tujuan dengan tidak terlambat.

Ayahku memang bukanlah tipe orang yang hanya berpangku tangan pasrah terhadap nasib. Dengan segala daya upaya, Ayah selalu berusaha menyenangkan kami dan memenuhi kebutuhan kami. Dulu, aku mungkin boleh merasa senang karena memiliki Ayah hebat seperti Ayahku. Meski aku tahu bahwa kami terlahir bukan dari anak orang kaya, namun entah bagaimana caranya Ayah selalu membelikan barang yang kami mau. Padahal, jika dipikir secara logika, keuntungan Ayah dari berjual beli ayam tidaklah seberapa. Belum lagi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, untuk biaya sekolah kami dan keperluan lainnya.
Pernah, aku sangat ingin memiliki sepeda. Melihatku yang seringkali hanya bisa menyaksikan teman-temanku bermain sepeda, Ayah pun berusaha untuk membelikanku sepeda. Aku merasa sangat bahagia karena akhirnya keinginanku untuk bisa bersepeda layaknya teman-teman lain pun kesampaian. Tentu saja awalnya aku belumlah bisa bersepeda karena selama itu aku hanya mampu menyaksikan teman-teman bersepeda dari kejauhan tanpa pernah mencoba. Karenanya, Ayahlah yang senantiasa meluangkan waktunya untuk mengajariku bersepeda sepulangnya dari pasar. Kutahu betapa lelahnya ia yang baru saja pulang dari pasar dengan keringat bercucuran masih harus mengajariku naik sepeda. Meski demikian, tak pernah sekali pun Ayah mengeluh. Dengan setia Ayah selalu mengikutiku dari belakang karena khawatir terjadi apa-apa denganku. Maka ketika aku terajatuh dari sepeda, Ayah adalah orang pertama yang begitu panik melihatku terguling ke tepian jalan. Dengun rengkuhan tangannya yang kokoh, Ayah membopongku yang waktu itu baru berusia sepuluh tahun. Ah Ayah, aku membayangkan andai saja kini aku bisa kembali menikmati kebersamaan itu. Aku pasti takkan pernah menyia-nyiakannya.
***

“Nak, Ayah sakit. Dua hari ini Ayah hanya terbaring di tempat tidur,” suara Ibu di ujung telepon membuatku tersentak. Dengan mata berlinang, kujatuhkan handhpone ke lantai, tubuhku melunglai seketika. Rekaman memori tentang Ayah memenuhi rongga kepalaku. Teringat ketika ia pulang hingga menjelang pagi, namun tak seekor ayam pun Ayah dapatkan. Lalu, pernah tangan kanannya patah tulang karena terjatuh dan hingga tiga bulan lamanya tangan Ayah harus digips. Namun, sungguh luar biasa perjuangan Ayah. Dengan keadaan seperti itu Ayah masih saja bekerja. Setiap harinya ia masih menjalani rutinitas seperti biasanya, menelusuri rumah-rumah warga untuk mencari ayam-ayam yang akan dijual meski seringkali usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil.

Air mataku semakin menderas mengingat semua perjuangan Ayah yang penuh dengan rintangan. Perjuangan untuk tetap bertahan hidup dan mampu menghidupi keluarga. Perjuangan agar kami tetap bisa makan meski ia sendiri kelaparan. Ayah, aku bangga memilikimu, aku bangga menjadi anakmu.

Ayah, kini ragaku ragamu tak lagi bersanding pada tempat yang sama. Wujudmu pun tak bisa senantiasa kutatap setiap harinya. Karena ruang dan waktu kini memisahkan kita. Sementara potret dirimu pun aku tak memiliknya. Ayah, aku merindukanmu, merindukan ketulusan sayang yang kauberikan, merindukan dekap hangat tubuhmu yang beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi aku rasakan. Ya, kedewasaan yang seiring berjalan mengikuti waktu tentu membuatku harus bisa hidup mandiri, dengan mencari penghidupan sendiri. Dulu, tak pernah aku berpikir bagaimana susahnya engkau mencari uang untuk memenuhi segala inginku. Tak pernah pula terpikir olehku betapa rasa lelah seringkali harus menguras tenaga dan pikiranmu. Yang aku tahu, aku mau keinginanku selalu terpenuhi. Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku yang membuatmu harus bekerja keras. Di sini, kini aku merasakan betapa susahnya berjuang mempertahankan hidup. Betapa susahnya mencari uang. Betapa lelahnya bekerja siang malam.
Ayah, andai saja waktu bisa kembali terulang, maka aku takkan banyak menuntut seperti dulu. Menuntut untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak begitu kuperlukan. Menuntut banyak hal yang mungkin di luar batas kesanggupanmu, sehingga membuatmu harus menanggung hutang karenanya. Dan semua itu, baru sekarang aku mengetahuinya. Sekali lagi, dari hati yang paling dalam aku meminta maaf, Ayah. Maafkan jika aku belum mampu membahagiakanmu. Maafkan jika hanya derita yang justru kupersembahkan. Aku berjanji, meski jalan yang kulalui berliku dan penuh kerikil tajam yang menghadang, aku akan tetap semangat menjalani hidup. Aku akan terus berjuang seperti engkau dulu berjuang membesarkan serta mencukupi semua kebutuhanku. Meski mungkin sekarang belum saatnya aku mendapatkan apa yang aku cita-citakan, tapi suatu saat aku yakin, jika waktunya tiba keindahan akan nyata di depan mata. Seperti ucapan yang sering kaubisikkan di telingaku. “Abaikan semua ucapan orang yang dapat mematahkan semangatmu, dan menataplah ke depan untuk meraih esok yang lebih baik. Barang siapa bekerja keras dan tak lelah berjuang, maka ia akan mendapatkan balasannya,” begitulah kata Ayah yang selalu menjadi motivasiku dalam menjalani hidup.
Ya, seperti yang telah kuuraikan. Ayah tak pernah mengenal lelah dalam berjuang. Meski terik matahari memanggang dan hujan mengguyur, semua tidak pernah dijaidikannya penghalang untuk tetap melangkah. Berusaha untuk selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Bersama melodi senja yang menyemarakkan dunia, aku memanjatkan pinta pada penguasa semesta yang berkuasa atas hidup dan mati umat manusia, semoga Ayah senantiasa dalam naungan rahmat-Nya. Amin.[ ]



Jakarta, 18 Maret 2011 @18:49

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011