Cinta Antara Dua Valentine (Dalam Antologi "Unyu In Love")

Judul Buku     : Unyu In Love - Love Song
Penulis            : Reni Erina, dkk
Penerbit          : Cokelat Kopi
Tahun terbit    : Juni 2012
Tebal               : xvi+212 Halaman
ISBN               : 978-602-19464-1-1
Harga              : Rp. 46.500,-


Cinta Antara Dua Valentine (halaman 135)

Masih teringat jelas dalam memori ingatan, saat aku mengenalnya Februari 2010 lalu. Kau tahu kawan, bahwa Februari adalah bulan yang identik dengan Valentine. Sebuah hari dimana dianggap sebagai hari kasih sayang yang diperingati oleh sebagian besar umat di dunia. Ya, meski aku sendiri tak pernah merayakannya, namun aku pernah mempunyai kisah yang entah pantas kuanggap menyenangkan atau menyedihkan di bulan Valentine ini.

Tanpa sengaja, aku bertemu dengannya di sebuah chat room, suatu sore selepas senja. Biasanya, waktu-waktu seperti itu seharusnya aku tengah belajar. Namun, kala itu perasaan galau tengah merasuki jiwa dan pikiranku. Karenanyalah aku mencari kesenangan dengan berselancar di dunia maya. Ya, aku masuk ke sebuah situs chatting menggunakan handphone kesayanganku.

Entah apa yang menuntunku untuk mengundangnya ke dalam obrolan pribadi. Entah kenapa pula dari sekian banyak akun dalam chat room tersebut aku lebih memilihnya untuk kujadikan teman ngobrol.

Oh ya, saat itu statusku adalah pelajar kelas tiga SMA. Aku sekolah di luar kota dan jauh dari sanak keluarga. Maka tak heran jika terkadang aku merasa kesepian ketika tengah menghadapi masalah, dan tak punya teman untuk kuajak berkeluh kesah. Maka, dunia chatting adalah kesenanganku untuk menghilangkan segala resah.

“Haii, boleh kenalan?” tulisku mendahului percakapan malam itu.

“Hai juga. Boleh, aku Adit,” balasnya secepat kilat.

“Aku Lytha. Adit anak mana?” balasku lagi. Ya, tentu saja Lytha bukanlah nama asliku. Aku menggunakan nama samaran. Dan kemudian aku tahu, kalau ternyata Adit juga bukan nama aslinya. Menggunakan nama samaran dalam dunia maya memang sudah menjadi hal wajar, dan tak ada larangan untuk itu.

“Aku asli Purwokerto, Lith. Tapi kerja di Jakarta,” hatiku melonjak kegirangan membaca balasan pesannya. Selama hampir setahun aku menggunakan situs chatting ini, baru kali ini aku menemukan teman dari kota yang sama dengan kotaku, Purwokerto.

“Wah, kok sama? Aku juga asli Purwokerto. Kamu Purwokertonya mana?” kembali aku membalas. Kali ini dengan perasaan bahagia setelah mendapati kenyataan bahwa aku menemukan teman di dunia maya yang berasal dari kota yang sama denganku.

“Hah? Beneran? Subhanallah, aku nggak nyangka ketemu orang yang sedaerah denganku. Rumahku Ajibarang, Lith. Kamu Purwokertonya mana? Siapa tahu suatu saat aku bisa main,” dari kalimatnya aku menyimpulkan bahwa ia pun tak kalah senang mendengar pengakuanku menyatakan bahwa aku anak Purwokerto.

“Ya elah, Ajibarang sih jauh kalee dari Purwokerto. Kota pinggiran yang tidak terjamah. Haha. Emang Ajibarangnya tepatnya di mana?”

“Gumelar,” balasnya singkat.

“Yah tuh kan. Malah Gumelar. Itu mah tidak terdaftar di denah Kota Purwokerto kali, Dit. Pakai ngaku-ngaku anak Purwokerto segala. Gumelar itu kan letaknya di tengah hutan. Haha,” jawabku berseloroh, tanpa bermaksud untuk merendahkan tempat tinggalnya. Namun lebih bermaksud untuk bercanda. Ya, bercanda untuk menghibur diri. Karena aku memang tengah merasa gelisah, karena sesuatu hal.

“Sialan kamu. Biarin aja letaknya di tengah hutan. Kan udaranya masih sejuk, dari pada di kota banyak polusi wekz,” ia pun berusaha membela diri. Beberapa saat lamanya aku dan dirinya masih saling mengejek, mencairkan suasana. Kegalauan yang tengah menguasaiku tak lagi kurasakan, karena candaannya yang mampu membuatku tersenyum lebar, bahkan sangat lebar.

Persahabatanku dengannya dimulai, tepat di malam tanggal 14 Februari 2010. Sempat kita bertukaran nomor handphone. Jika tidak melalui chatting, Adit sering menyapaku lewat SMS. Lagi-lagi seringkali SMS yang berisi kalimat ejekan. Meski demikian, baik aku ataupun dirinya sama sekali tidak merasa tersinggung dengan SMS yang berisi ejekan tersebut. Aku merasa bahwa dirinya berbeda dari kebanyakan teman yang kumiliki. Itulah yang membuatku menganggap Adit istimewa. Dengan kalimat sederhananya, ia selalu mampu membuatku tersenyum dan tertawa.

Kebetulan, nomor handphone kita berbeda operator. Sehingga komunikasi hanya berjalan melalui SMS, bukan telepon. Dan suatu pagi, untuk pertama kalinya kudengar suaranya. Ya, ia meneleponku dengan private number. Awalnya aku tak menyangka bahwa yang meneleponku adalah dirinya. Semenjak pertama kalinya kita saling bicara melalui telepon, Adit memutuskan untuk berganti nomor handphone dengan operator yang sama sepertiku. Untuk ke sekian kalinya aku merasa betapa beruntung mengenalnya. Dia, sosok yang tak pernah teraba dalam nyata rela mengganti nomornya hanya demi diriku, agar bisa sering telepon. Perhatian serta candaannya yang senantiasa mengisi hariku membuatku melambung tinggi. Aku mulai mengaguminya. Ya, tepatnya benih cinta mulai tumbuh dalam palung hatiku. Dan saat itu, aku pun yakin bahwa dirinya juga menyukaiku.

***

Lama aku menunggunya menyatakan kalimat suka terhadapku. Sebenarnya aku tak berharap banyak untuk mempunyai hubungan istimewa dengannya. Namun dari setiap perhatian serta ucapannya, aku berasumsi bahwa perasaanku tidaklah keliru. Adit pasti mempunyai rasa yang sama dengan yang kurasakan. Jika saja aku yang mengutarakan rasa sukaku padanya, sebenarnya tidak menjadi soal. Namun, sebagai seorang perempuan aku merasa gengsi untuk memulai semua. Akhirnya, dengan keyakinan yang tetap tak berubah, aku terus menanti.

Penantianku yang cukup lama membuatku berubah pikiran. Aku berpikiran bahwa ternyata aku salah menilainya. Perhatiannya pastilah hanya sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Karena, hingga aku lulus SMA dan aku memilih melanjutkan pendidikan D1 di kota kelahiranku, sikap Adit masih tetap sama. Penuh perhatian dan candaan. Dan satu hal yang kuingini tak kunjung diungkapkannya hingga menjelang ujian semester pertamaku. Hal tersebut membuatku menerima cinta yang lain, cinta yang kini kuharap akan kubawa sampai mati.

***
Malam mulai larut. Semua teman satu kostku telah terlelap semenjak jarum jam menunjuk pukul sembilan malam. Sementara, aku masih setia di meja belajar, menulis beberapa naskah cerpen untuk kuikutkan lomba. Saat jarum jam mulai merangkak mendekati pukul dua belas malam, rasa kantuk mulai menyergap. Aku pun membereskan semua peralatan menulisku, dan kemudian mengambil air wudhu sebelum kurebahkan tubuh di atas pembaringan yang nyaman.

Sebuah panggilan masuk ketika baru saja kurebahkan diri. Nama yang tertera di layar handhpone membuatku agak kaget, Adit. Tak biasanya ia meneleponku malam-malam begini. Karena rasa kantuk yang sudah sangat hebat, aku pun tak menghiraukan panggilannya. Lima kali panggilan masuk darinya ku-reject, sebelum akhirnya aku mengirimkan sebuah SMS ke nomornya.

“Adit, maaf aku udah ngantuk banget. Besok pagi aku telepon balik ya,”

“Please Lith, angkat sekarang. Ada hal penting yang mesti aku omongin, sekarang juga,” balasnya membuat hatiku bergemuruh. Aku benar-benar tidak mengerti apa maksud ucapannya itu.

“Aduh, tapi aku ngantuk banget. Besok aku ada kuliah pagi,”

“Lima menit aja deh. Please,” sebelum sempat aku membalas, bunyi ringtone kembali terdengar. Aku pun keluar kamar untuk menerima telepon dari Adit, agar suaraku tidak mengganggu dua teman sekamarku.

Senja di sore itu, menemani kepergianmu
Saat kau ucap kata, kau tak lagi bersamaku
Perih yang kurasa, mungkin takkan pernah kau duga
Lirik lagu Ornito berjudul “Segala Bayangmu” langsung diputarnya hingga usai begitu aku mengangkat telepon. Karena ulahnya, aku sempat malu. Karena lagu yang diputarnya tersebut adalah suaraku sendiri, yang tanpa sepengetahuanku direkamnya beberapa waktu lalu. Saat itu, ia mendengar MP3 yang tengah kusetel tepat ketika dia meneleponku. Ia memintaku untuk menyanyikannya, karena menurutnya lagu itu bagus, dan baru pertama kali didengarnya.

“Kamu apa-apaan sih, Adit? Malu-maluin aja. Hapus nggak tuh rekaman?”

“Tidak akan,” dengan tenangnya ia menjawab.

“Kok gitu? Pokoknya aku nggak ridho, kamu harus menghapusnya,” tambahku lagi. Sebenarnya sudah berulangkali aku memintanya untuk menghapus rekaman itu. Namun ia tak pernah mau memenuhi permintaanku.

“Tidak akan, wekz,” dengan tegasnya ia membalas sambil tertawa lepas.

“Huh. Ya sudah. Aku matikan saja teleponnya kalau cuma ini hal penting yang kamu maksud. Ganggu aja orang mau tidur,”

“Litha tunggu. Sebenernya, sebenernya aku mau ngomong kalau....”

“Ngomong apa?” aku tak sabar mendengar kelanjutan ucapannya itu.

“Sebenernya, udah lama aku menyukaimu. Lebih tepatnya, aku jatuh cinta sama kamu,” aku tertegun mendengar jawabannya.

“Haha. Jangan bercanda ah, udah malem tahu,” aku berusaha untuk tidak mempercayai ucapan Adit.

“Dengerin dulu, Lith. Aku serius. Kamu tahu, kenapa aku tetap menyimpan rekaman suaramu itu? Itu karena aku tidak mau kehilanganmu. Setidaknya, jika pun pernyataan cintaku tidak kamu terima, aku masih mempunyai kenangan tentangmu, melalui rekaman ini. Sekarang, terserah kamu. Yang penting, aku lega udah mengungkapkan semua perasaanku padamu yang selama ini aku pendam,” seketika persendianku melunglai mendengar pengakuan Adit yang jauh dari prediksi. Aku bingung, jawaban apa yang harus kuberikan. Jauh di lubuk hatiku, aku memang pernah memiliki rasa itu. Dan hingga ia menyatakan cintanya, rasa itu masih tersisa, meski sedikit. Namun aku sadar, aku tidak boleh egois. Ada hati lain yang telah mengisi hatiku.

“Sebenarnya, telah lama aku menunggumu mengucapkan kata ini. Andai saja dari dulu kamu melakukannya, aku pasti dengan mudah menjawabnya iya. Sekarang keadaan telah berbeda. Aku tak dapat menerimamu, meski sebenarnya ingin kujawab iya. Maafkan aku, kamu terlambat,” klik. Kututup teleponnya. Malam itu, tanggal 14 Februari 2011. Tepat setahun aku mengenalnya. Bertepatan pula pada hari Valentine, hari dimana aku dulu pertama kali mengenalnya. Dan lagu itu, adalah saksi kisahku dengannya yang takkan pernah kulupa.[ ]

Jakarta, 14 Februari 2012 @20:22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011