Kau Butakan Mata Hatiku

Namaku Alifah. Biasa dipanggil Ifah. Umurku baru menginjak duapuluh satu tahun. Empat tahun lalu, aku pernah kuliah mengambil jurusan Ahli Filsafat dan Agama di sebuah Perguruan Tinggi swasta yang cukup ternama di Jakarta. Namun, hanya tiga semester aku di sana. Setelahnya, aku hanyalah onggokan sampah yang tidak berguna, hingga kini mungkin sebutan itu masih layak kusandang.



“Umi, Ifah pamit dulu ya. Do’akan Ifah biar bisa mempertahankan prestasi Ifah,” itu kalimat terakhir yang kuucapkan di depan Umi. Pun terakhir kalinya kulihat raut muka Umi yang selalu tampak menyejukkan memandangku. Meski keriput mulai memenuhi seluruh wajahnya, tapi jujur tatapan itu selalu saja membuatku tenang ketika menatapnya.

“Iya, Nak. Do’a Umi selalu menyertaimu. Jaga dirimu baik-baik. Jadilah kebanggaan Umi dan Abah,” ah, kalimat itu masih terus terngiang di telingaku hingga kini. Dulu, Umi adalah panutan buatku, setelah Abah meninggalkan dunia fana saat usiaku baru empat tahun. Tanpa pernah mengeluh, Umi membesarkanku dengan kasih sayangnya yang seluas samudera. Juga tanpa pernah berniat untuk mencari pengganti Abah. Umi adalah sosok yang sangat hebat. Membesarkan ketiga Kakakku yang semuanya laki-laki hingga semua menjadi sarjana. Dan terakhir, aku yang kini malah menyia-nyiakan kepercayaan Umi.

Dua tahun lalu, dengan penuh semangat dan juga penuh rasa berat aku meninggalkan kota kelahiranku, Bukittinggi. Di sana, tempat aku dibesarkan. Dan Jakarta, adalah tempat yang kujadikan pilihan untuk berlabuh, dengan tujuan untuk memperoleh gelar S1. Di sebuah kampus yang terletak di bilangan Jakarta Selatan, aku aktif terjun dalam organisasi. Baik organisasi keislaman sesuai jurusan yang kuambil, juga organisasi lain yang tentunya mendukung kegiatan perkuliahanku. Dengan bergabung dalam organisasi, aku menjadi semakin matang. Alhamdulillah, di tahun awal kuliahku, aku langsung dipercaya untuk memimpin LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di fakultasku. Hal tersebut cukup mudah kujalani, sebab saat SMA aku telah terbiasa aktif di ekstrakurikuler ROHIS (Kerohanian Islam).

Hingga, pada suatu hari, aku berjumpa dengan seorang pria, yang kukira bagai malaikat. Ya, dia begitu mendamaikan. Aura yang terpancar mampu menghipnotisku hingga aku jauh terseret ke dalam kehidupannya. Aku mencintainya. Cinta yang mampu melambungkanku dalam rasa nyaman, tenang dan penuh kebahagiaan.

“Assalamu’alaikum, Ukhti,” tiba-tiba ada suara tak kukenal dari jarak beberapa meter di depanku. Awalnya, kukira salam tersebut bukan ditujukan buatku. Namun, setelah mengedarkan pandang ke sekeliling, tak nampak ada orang lain. Jadi, pastilah salam tersebut buatku. Apalagi, kulihat senyumnya mengembang ke arahku.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah, ya Akhi,” balasku seraya tersenyum.

“Tidak sedang kuliah, Dik?” kali ini, pertanyaannya lebih terdengar seperti obrolan yang akrab. Dan aku yang dipanggil “Dik” olehnya tak sedikit pun merasa keberatan. Entah mengapa, aku justru merasa senang dengan panggilan seperti itu. Padahal, saat itu aku belum juga berkenalan dengannya. Aku tak perlu bertanya padanya dari mana ia tahu bahwa aku adalah seorang mahasiswi. Sudah barang pasti setiap orang akan menebakku serupa melihat jaket almamater yang kukenakan.

“Kebetulan tidak, Kak. Lagi break. Nanti jam tiga sore baru berangkat lagi,” sahutku singkat. Penampilannya yang gagah, dengan baju gamis berwarna biru laut dan kopyah dengan warna senada membuatnya tampak menawan.

“Oh ya, boleh kenalan? Namaku Alfian. Kerja di gedung yang di ujung itu,” tambahnya seraya menunjuk gedung tinggi yang menjulang di seberang Masjid tempatku kini berada.

“Oh, Kak Alf. Aku Alifah, panggil aja Ifah,” kini aku dengan leluasa mengumbar senyumku. Entah rasa apalagi yang dengan begitu saja merasuk ke dalam sukmaku. Yang jelas, aku merasa nyaman dengan sosok Alfian yang baru saja kukenal. Perkenalanku dengannya, akhirnya berlanjut ke hubungan yang lebih dekat. Pada bulan ketiga setelah perkenalanku dengannya, aku diajak masuk ke dalam apartemennya. Dan subhanallah, seluruh perabotannya mewah-mewah. Aku jadi minder sendiri membayangkan tubuhku yang terbiasa hidup di rumah dengan pagar papan tiba-tiba berada dalam ruangan serba mewah. Aku merasa tak pantas.

“Jangan segan, Dik. Anggap aja rumah sendiri. Apa yang menjadi kepunyaanku, juga kepunyaanmu, sayang. Suatu saat nanti, aku ingin kamu menjadi tulang rusukku, menjadi istriku, Dik,” jantungku berdegup kencang mendengar ucapannya. Aku tak seharusnya begini. Aku tak seharusnya mau mengikuti ajakannya untuk mendarat di tempat ini. Ah, tapi hatiku yang telah terpaut padanya susah untuk menolak itu semua. Aku seorang aktivis, aku seorang akhwat. Tapi setelah mengenalnya, aku seolah mengabaikan itu semua. Dengan kesadaran penuh, aku malah justru tanpa sadar meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang selama ini sudah kujalani. Aku mulai jarang mengikuti diskusi keislaman di kampus. Dan aku justru lebih memilih untuk jalan-jalan ke pusat perbelanjaan dengan Kak Alf. Begitulah aku memanggilnya.

Aku menjadi semakin dekat dengan Kak Alf. Dia telah mengubah seluruh hidupku. Meski aku tetap dengan kesahajaan sifat yang kubawa sejak lahir, namun gaya hidupku berubah 180 derajat. Baju-baju yang kukenakan semuanya baju bermerk yang harganya jutaan. Dan semua itu, kudapatkan dari Kak Alf. Ia begitu baik padaku. Ia juga rajin shalat lima waktu. Dan pada bulan ke delapan perkenalanku dengannya, aku tinggal satu apartemen dengannya. Tentu saja saat itu aku masih tetap mengikuti kuliahku secara rutin. Namun lambat laun, Kak Alf menyuruhku untuk berhenti kuliah.

“Dik, apa tidak sebaiknya kamu tinggal saja di rumah. Nggak usah kuliah lagi. Nanti semua kebutuhanmu aku cukupi. Kamu juga nggak perlu lagi bekerja sebagai Kasir. Siang hari saat aku bekerja, kamu boleh main internet sepuasnya. Meski pun aku nggak di rumah, kan kita masih tetap bisa berkomunikasi. Dan jika kamu lapar, makanlah makanan yang tersedia. Semuanya ada untukmu. Atau jika kamu bosan ingin keluar, keluarlah sekehendak hati kamu. Gunakan saja ATM yang kuberikan padamu,” ah, lagi-lagi aku dengan mudah menuruti perkataannya.

Kamu tahu? Aku merasa senang dengan hidupku. Aku masih tetap menjalankan shalat lima waktu. Pun dengan Kak Alf. Bahkan kami, seringkali menjalankannya secara berjamaah. Namun status kami yang tinggal dalam satu apartemen, adalah hubungan tanpa ikatan pernikahan. Entah mengapa aku tak pernah menolaknya.

Selama tinggal dengannya, aku sama sekali tak pernah berbuat macam-macam. Kak Alf pun memperlakukanku secara wajar. Jadi singkirkan anggapanmu yang menganggapku berhubungan layaknya suami istri. Tidak. Kalian salah besar. Aku hanya tinggal dalam satu rumah, makan bareng, melakukan aktivitas bersama, begitu terus setiap harinya. Dan pada malam hari, aku tidur di atas springbed, sementara Kak Alf tidur di atas sofa panjang yang ada di sudut ruangan.

“Nak, gimana kabarmu? Umi kangen denganmu, Nak. Angkatlah telepon Umi. Umi ingin sekali mendengar suaramu,”

Pesan singkat dari Umi muncul setelah tujuh kali telepon darinya tak kuangkat. Aku hanya membacanya tanpa membalas. Lalu kubuang pandangan ke luar jendela apartemen.
“Nak. Perasaan Umi kok jadi nggak enak ya? Apa benar sudah setahun kamu berhenti kuliah, tanpa memberi kabar pada pihak kampus? Dua hari lalu Abangmu, Rasyid baru dari Jakarta hendak menemuimu. Tapi kabar yang dibawa justru terdengar tidak enak. Jawablah, Nak. Umi yakin kamu masih tetap menjadi anak kebanggaan Umi,”

Kembali pesan singkat dari Umi masuk. Kali ini, aku langsung mematikan handphone dan menggantinya dengan Sim Card baru. Nomor yang lama langsung kupatahkan dan kucampakkan ke dalam tong sampah.

Setelah itu, tak pernah lagi kudengar kabar mengenai Umi. Aku telah terbiasa dengan kehidupanku. Hingga suatu malam yang naas, Kak Alf merenggut semuanya dariku. Malam itu tak seperti biasanya. Kak Alf tidak tidur di sofa. Setelah membersihkan badan dari kamar mandi, ia membaringkan tubuhnya di sampingku. Aroma wangi menguar dari badannya. Dan aku membiarkannya. Sepanjang malam, ia terlelap di sampingku. Dan begitu seterusnya hingga tak terhitung berapa malam ia telah tidur seranjang denganku. Tapi lagi-lagi, hanya tidur belaka. Tidak melakukan hal lain. Dan pada suatu malam, merupakan puncak dari semuanya. Kak Alf mulai melakukan lebih dari itu. Kau pasti tahu apa yang kumaksud tanpa harus kujelaskan di sini, sebab aku sungguh tak mampu bercerita, tak mampu mengakui semuanya.

Malam itu, hawa dingin memenuhi seluruh ruangan. Aku sama sekali tak menepis ketika tubuh Kak Alf mulai mendekat. Hingga sesuatu yang sebelumnya belum pernah kualami terjadi. Dan lagi-lagi, aku menikmatinya. Tak sedikit pun aku memberontak. Keesokan harinya, aku justru mengenangnya sebagai malam yang penuh kebahagiaan. Tak ada penyesalan yang tumbuh dalam hati.
***

Aku baru saja membasuh mukaku ketika handhpone yang kugeletakkan di atas meja berdering pertanda ada panggilan masuk. Ternyata telepon dari Kak Alf. Dengan perasaan senang, aku pun langsung mengangkatnya.

“Hallo, Assalamu’alikum…”

“Hallo Dik. Hari ini, aku akan pulang cepet. Jam empat sore aku udah tiba di apartemen, ya. Kamu siap-siap,” klik. Telepon langsung dimatikan. Hatiku melonjak kegirangan. Tidak biasa Kak Alf pulang sesore itu. Biasanya, jam tujuh malam baru ia tiba. Tapi perkataannya barusan benar-benar membuatku bahagia tidak terkira. Aku merasa menjadi orang yang istimewa buatnya. Ya, memang selalu begitu selama ini. Aku adalah orang yang istimewa baginya, pun dirinya adalah sosok yang sangat istimewa buatku.

Sebelum Kak Alf tiba di apartemen, kubereskan seluruh ruangan. Pukul empat sore, aku telah rapi dengan mengenakan baju gamis berwarna abu-abu dipadu dengan bawahan serta kerudung dengan warna senada. Ya, jika kau mengira bahwa aku telah melepas kerudung, maka kau keliru besar. Aku memang tetap berkerudung, namun hatiku tak seperti penampilanku. Dan jika kau mengatakanku munafik, maka tak mengapa. Karena memang begitu adanya.Tidak lama setelahnya, pintu apartemen terdengar diketuk. Dengan semangat, aku langsung membukanya. Dan…..

“Alifah, kamu sekarang boleh pergi dari sini. Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi,” Kak Alf datang bersama seorang cewek cantik, dengan tubuh semampai dan rambut panjang sebahu. Senyumnya terlihat teramat manis, sambil menggelayut manja di lengan Kak Alf. Seketika seluruh persendianku melunglai. Hatiku hancur menjadi keping-keping puzzle yang tercecer di seluruh rasaku. Aku seperti tak lagi bernyawa.

Semenjak kejadian itu, dengan sisa tabunganku selama aku masih bekerja sambilan dulu, yang memang tak pernah kugunakan, aku mengontrak rumah kecil di sebuah perkampungan kumuh yang terletak di bilangan Jakarta Barat. Aku ingin membuang sisa kenangan bersama Kak Alf yang penuh dengan pekat hitam. Penyesalan yang teramat sangat kurasakan begitu menyakitkan. Berminggu-minggu lamanya aku hanya termenung di dalam kamar. Jika pun keluar, hanya sekedar untuk membeli makan. Selebihnya, aku hanyalah sosok hidup tak berhaluan yang tak tahu arah kemana harus dituju. Aku hampa sendiri. Untuk menghubungi Umi jelas merupakan kemustahilan. Tapi rasa rindu terhadap Umi sungguh tak terbendung lagi. Aku teringat akan nasihat-nasihatnya dulu.
Aku teringat pesan yang diucapkan ketika aku hendak meninggalkan kota kelahiranku.

Kak Alf, aku sangat menyesal telah mengenalmu. Aku menyesal telah mempercayai ucapan manismu. Mengapa kau begitu pandai mempengaruhi perasaanku? Jika hanya ini ujung yang harus kulalui? Aku telah durhaka pada semua orang, terutama Umiku yang telah melahirkanku. Maafkan aku, Umi. Aku ingin menemuimu, tapi tidak untuk saat ini. Aku belum sanggup. Aku takut kau murka terhadapku. Aku takut kehilangan kasih sayangmu. Aku membatin sambil terus memandangi foto Kak Alf.

Aku terdiam di sini, menatap hampa lensa matamu yang berkilat dari balik sebingkai potret. Aku terpaku di sini, menyelami rasa yang tak berperasaan. Mencabik luka yang kian bernanah. Aku terdiam sekaligus terpaku di sini, bersama waktu yang bagai neraka bagiku. Ya, bahkan mungkin neraka itu nyata buatku kelak. Sebab aku, telah terjerumus pada kubangan dosa karenamu. Dan kamu, dengan tanpa perasaan mencampakkanku di sini, dalam ruang hampa tanpa cahaya.

Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kuperbuat sekarang. Semoga saja, Allah masih mau mengampuniku, serta Umi juga mau memaafkanku. Jika berpikir untuk mendapat jodoh, itu adalah pikiran yang tidak mungkin untuk kuciptakan saat ini. Aku benar-benar bukan perempuan yang layak untuk mendapatkan cinta dari lawan jenis. Aku tak lebih dari sekedar onggokan sampah yang telah membusuk. Ya, tentu saja ini semua atas kekhilafan yang sebenarnya tak pernah kumau. Sungguh tak pernah kuduga kalau Kak Alf ternyata sebegitu bejatnya. Dia yang kupandang sebagai sosok baik-baik, pun rajin beribadah, ternyata hanyalah sebagai kedok semata.[ ]

Jakarta, 15 Juni 2012 @02.59 pm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011