JUJUR

Di sudut taman, Alena diam mematung. Matanya merah, ia habis menangis. Stella yang kebetulan sedang jalan-jalan di taman menghampiri Alena karena melihat sahabatnya tersebut duduk seorang diri dengan kepala tertunduk.


“Len, kamu ngapain di sini?” mendengar suara yang tiba-tiba dari belakang spontan membuat Alena terkejut. Langsung dipalingkannya wajah yang sayu ke arah datangnya suara.


“Astaga... ternyata kamu, Stel?” bikin aku kaget saja. Ayo duduk,” ajaknya melihat bahwa yang datang adalah sahabatnya.

Tanpa diminta untuk yang kedua kalinya, Stella langsung menempatkan diri di samping kanan Alena. Lengan kirinya merangkul leher sahabatnya itu.

“Ya ampun. Kamu habis nangis, Len?” sergah Stella ketika mereka bertemu pandang.

“Heh, nangis? Enggak kok. Aku cuma habis kelilipan saja,” Alena berusaha menyembunyikan apa yang terjadi dari Stella.

Sebagai sahabat yang telah lama berteman, tentu Stella tidak mau begitu saja mempercayai ucapan Alena. Karena merasa ada sesuatu yang janggal, Stella pun terus mendesak agar Alena mau bercerita. Akhirnya, dengan bujukan Stella yang penuh dengan lemah lembut, pun karena tak kuasa menahan siksa batin yang menderanya, tiba-tiba tangis Alena tertumpah di pelukan Stella. Cukup lama Stella membiarkan sahabatnya menangis dalam pelukannya. Sebagai seorang sahabat, Stella adalah sosok yang sangat bijak.

“Menangislah sepuas hatimu jika itu membuatmu lega, Len. Baru nanti kamu ceritakan apa masalahmu sehingga membuatmu begini,” dengan suara lembutnya yang khas Stella berkata.

“Aku harus gimana, Stel? Aku bingung. Aku benar-benar terpojok,” Alena makin terisak dalam tangisnya.

“Apa yang membuatmu bingung? Kamu ada masalah apa?”

“Ehm... aku... aku...”

“Kamu kenapa? Kenapa ragu gitu untuk bercerita? Bukankah biasanya kamu sangat terbuka denganku?” desak Stella.

“Aku nggak tahu mesti bertindak apa. Kamu tahu kan kalau aku sama Mas Reyhan saling mencintai? Kamu juga tahu kalau diantara kita udah saling mengenal keluarga masing-masing, bahkan sangat dekat,” usai menyelesaikan ucapannya, Alena kembali terisak.

“Itu kan bagus, Len? Lantas apa yang membuatmu harus bingung?”

“Aku bingung sebaiknya harus gimana. Apakah hubunganku dengan Mas Reyhan mesti lanjut atau cukup sampai di sini,” sejenak Alena terdiam sambil menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. “Semalam Vina berkata kalau dia sangat mencintai Mas Reyhan,”

“Hemm, kenapa kamu tidak berterus terang kalau kamu dan Mas Reyhan sudah lama menjalin hubungan?”

“Tidak semudah itu, Stel. Aku tidak ingin menyakiti Vina. Bagaimana pun juga, Vina adalah sahabatku. Dan aku pernah berhutang nyawa padanya ketika aku kecelakaan dan kehabisan banyak darah dua tahun silam. Saat tak seorang pun memiliki golongan darah yang sama denganku, Vina adalah satu-satunya orang yang dengan sukarela langsung menawarkan diri untuk mendonorkan darahnya. Karena kebetulan ia bergolongan darah AB, sama sepertiku,”

“Hufft...” Stella menghela nafas. “Lalu, menurut kamu solusi terbaik apa yang paling baik?” Stella menatap tajam mata Alena.

“Aku bingung, Stel. Jika aku melepas Mas Reyhan, itu artinya aku akan menyakitinya. Tapi jika aku jujur sama Vina, tentu itu akan sangat menyakitkan hati Vina juga. Aku benar-benar bingung langkah mana yang harus kuambil, Stel,”

“Solusi terbaik adalah, kamu harus jujur sama Vina. Jika kamu mengorbankan cintamu, pertama kamu sendiri akan tersiksa. Aku tahu, mungkin kamu merasa bisa berkorban untuk Vina. Tapi itu takkan mudah, Len. Kamu nggak akan bisa membohongi perasaanmu. Kedua, kamu akan mengecewakan keluargamu dan keluarga Mas Reyhan tentunya. Pikirkan itu, Len. Akan banyak hati yang tersakiti jika langkah tersebut yang kamu ambil. Vina itu sahabat yang baik. Aku yakin, dia akan bisa mengerti asalkan kamu menyampaikannya dengan bahasa yang halus,” dengan diplomatis Stella menceramahi Alena.

“Iya, Len. Kamu harus jujur meski itu akan menyakitkan salah satu pihak. Aku tidak mungkin memaksakan kehendak jika sahabatku sendiri mencintai orang yang sama dengan orang yang kucintai. Akan sangat tidak adil jika hal tersebut sampai terjadi. Kamu dan Mas Reyhan sudah lama menjalin hubungan. Dan aku berdosa karena selama di Ausie tidak mengetahui hubungan kalian. Sekarang aku kembali malah hampir merusak semuanya. Memiliki sahabat sepertimu saja aku sudah sangat bangga, Len. Jadi bukan masalah bagiku jika aku memang tidak berjodoh dengan Mas Reyhan. Hati itu tidak bisa dipaksakan. Dan Mas Reyhan pun hanya mencintaimu, Len. Tidak padaku,” Vina yang tiba-tiba muncul bersama Reyhan membuat Alena kembali terkejut. Alena sangat terharu mendengar pengakuan Vina. Ia tidak menduga bahwa Vina bisa menjadi sangat bijak.

“Vina,” Alena langsung bangkit dari duduknya. “Maafkan aku, Vin,” lanjutnya seraya memeluk Vina.

“Aku yang minta maaf, Len. Karena hampir mengambil apa yang kamu miliki,” jawab Vina tegas. Pelukan mereka semakin erat. Sepoi angin yang berhembus menghiasi kebahagiaan mereka. Stella tersenyum puas melihat kedua sahabatnya bisa menemukan jalan keluar yang tepat. Sementara Reyhan pun tersenyum puas, karena penjelasannya pada Vina diterima dengan baik tanpa harus kehilangan Alena.


Jakarta, 21 Maret 2012 @09.58 am

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011