Gadis Kecil Di Ujung Jembatan

Kamis, 15 Maret 2012. Tepat setengah bulan sudah aku bekerja di Plaza Semanggi di bilangan Jakarta Selatan. Lelah? Sudah barang pasti jawabannya iya. Bahkan, jika saja bisa dijabarkan dengan perumpamaan, sangat lelah adalah jawaban yang pantas dilontarkan. Pukul sembilan malam lewat, aku yang masih menjalani masa training baru bisa menjejakkan langkah keluar dari tempat kerja. Apalagi pertengahan bulan biasanya customer sedang rame-ramenya datang ke toko tempatku bekerja. Jadi, sebenarnya pulang setengah sepuluh malam masih bisa dikategorikan pulang cepat di saat-saat seperti ini.


Seperti malam-malam sebelumnya, aku keluar bersama dengan Mbak Rina, salah seorang teman kerja yang juga masih dalam masa training sepertiku. Dari toko tempatku bekerja yang terletak di lantai dua, aku dan Mbak Rina berjalan beriringan. Nama tokonya Aircraft Stuff. Dari Aircraft, kami berjalan melewati kantor pegadaian, lalu melintasi beberapa jajaran toko handphone, kemudian menuju Centro untuk kemudian keluar lewat Loby selatan gedung Veteran.

Kebetulan, arah pulangku dan Mbak Rina searah. Jadi, hampir setiap malam kami pulang bareng naik Busway. Sebenarnya untuk menuju ke halte Busway, aku harus berjalan cukup jauh dari halaman gedung Veteran untuk sampai ke jembatan penyeberangan. Apalagi kondisi fisik lelah yang mendukung seakan membuat rasa malas begitu saja muncul. Namun, mau tidak mau itu semua harus kujalani sebab tidak ada pilihan lain.
Dari kejauhan, sebelum langkahku sampai di loket pembelian karcis Busway, kulihat sosoknya. Sosok itu sudah sangat familiar dalam pandangan mataku. Ia adalah seorang gadis kecil. Menurut perkiraanku, usianya sekitar dua belas tahun. Tampangnya dekil, kaos oblong serta celana pendek selutut yang dikenakannya pun bisa dibilang sudah tidak layak pakai. Kotor, kucel. Ya, membaca penjelasanku barusan, tentu kalian sudah bisa menebak siapakah gerangan anak kecil tersebut. Ia adalah gadis pengemis. Tentu saja pemandangan seperti itu sudah menjadi rahasia publik yang akan kaujumpai hampir di setiap sudut Jakarta.

sumber : Google

Apakah anak tersebut istimewa sehingga aku menceritakannya di sini? Tidak. Dia adalah gadis pengemis seperti kebanyakan anak jalanan yang sering kujumpai dan mungkin kaujumpai. Semenjak aku bekerja di Plaza Semanggi tanggal 1 Maret lalu, seringkali kujumpai dirinya berdiri di dekat loket pembelian karcis busway dengan gelas air mineral bekas di tangannya. Kadangkala, ia juga tengah membersihkan sampah yang berceceran di atas jembatan penyeberangan.

Aku terus berjalan ke arah loket karcis. Kusodorkan selembar uang lima ribuan ke petugas untuk membeli karcis Busway. Dengan spontan, kembalian yang berupa selembar uang seribuan serta uang logam lima ratus rupiah kumasukkan ke gelas plastik di tangan gadis pengemis tersebut.

“Makasih banyak ya, Kak. Semoga Allah memudahkan segala urusan Kakak,” Masya Allah, suaranya sangat bening, terasa sangat sejuk dalam pendengaranku. Kulihat binar bening di sudut matanya. Wajahnya cerah, kegirangan hanya karena kuberikan uang seribu lima ratus rupiah. Dengan tanpa dikomando, aku pun melemparkan senyum ke arahnya. Berkali-kali dirinya berucap syukur sambil tak henti mendo’akanku.

Sambil terus berjalan ke halte untuk menunggu Busway tujuan Grogol lewat, hatiku tertegun. Ada semacam rasa yang entah apa menelusup begitu saja ke relung hati. Ingatanku kembali pada sosok gadis pengemis yang baru saja kutemui. Hidupnya mungkin lebih menyedihkan dari yang kulihat. Tempat tinggal pun mungkin hanya di kolong jembatan, seperti yang sering kudengar dari berita di berbagai surat kabar. Tiba-tiba saja bulir-bulir bening dari mataku merebak tanpa diduga. Aku hampir menangis. Memang, ini bukan kali pertama aku menjumpai anak jalanan. Sejak aku memutuskan untuk hidup merantau di Kota Jakarta, pemandangan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari.

Ia, seorang gadis kecil pengemis, mengingatkanku tentang pentingnya syukur. Aku menjadi sangat malu, yang selama ini sibuk mengeluh atas penderitaan-penderitaan yang menghampiri, tanpa pernah menengok bahwa di luar sana banyak orang yang jauh kurang beruntung dariku. Beberapa hari sebelumnya, memang sempat terbersit di pikiranku untuk memberikan uang recehan kepada gadis tadi. Tapi, karena keadaan keuanganku yang sedang sangat genting mengingat bahwa aku belum genap sebulan bekerja setelah sebelumnya menganggur setelah keluar dari pekerjaan lamaku, hatiku hanya tersentuh sebagian tanpa mengambil tindakan. Apalagi, uang yang kumiliki sudah pasti tidak cukup untuk sampai ke gajian pertamaku.

Usaha meminjam uang dari beberapa teman beberapa waktu lalu sudah kujalankan. Namun, semua hasilnya nihil. Uang di tangan yang tersisa kurang dari lima puluh ribu rupiah memaksaku untuk berpuasa setiap hari guna menekan pengeluaran. Jika tidak berpuasa pun, aku hanya makan sekali dalam sehari. Entah mengapa, malam ini tanganku dengan mudah memberikan kembalian karcis Busway kepada gadis itu, sedang uang yang kumiliki hanya tinggal tujuh ribu rupiah. Gajian masih setengah bulan lagi. Usaha meminjam uang ke teman pun belum dapat. Entah bagaimana lagi caranya besok aku bisa makan.

Alhamdulillah, Busway yang lewat cukup longgar. Aku masih kebagian tempat duduk, bahkan masih ada beberapa tempat duduk lagi yang masih kosong. Namun tidak seperti hatiku. Hatiku tidak selapang koridor Busway yang kutumpangi. Aku tengah berusaha memutar otak untuk bisa mendapatkan uang. Untuk uang seribu lima ratus rupiah yang tadi kuberikan pada sang gadis, bagiku itu tidaklah seberapa. Karena untuk membeli makan pun tidak dapat. Dan bukan pula aku tengah mengungkitnya. Sepenuhnya, aku berusaha ikhlas. Namun, hati manusia siapa yang tahu. Terkadang, ucapan itu bisa menjadi sangat mudah, namun praktinya tidaklah semudah apa yang kita ucapkan. Pikiran negatif sempat tersirat, buat apa aku membantu orang, sementara aku sendiri sedang membutuhkan uang.
***

Pukul sebelas malam, aku sudah sampai di kamar kos berukuran 2x3 meter yang kusewa seharga Rp. 250.000,00 per bulan. Aku juga sudah sempat membersihkan badan dan menunaikan shalat isya. Malam itu, aku tertidur dalam bimbang dan lelah yang menggelayut.

Saat adzan subuh berkumandang keesokan harinya, aku masih bermalas-malasan untuk segera bangun dari tidur. Mataku sepenuhnya sudah terbuka. Namun tidak dengan hatiku. Aku hanya bangun untuk shalat subuh yang itu pun menunggu setelah iqamat. Setelahnya, aku kembali berbaring.

“Mas, udah bangun belum? Sebelumnya mohon maaf nih. Boleh nggak adek minta tolong?” aku menulis pesan singkat untuk dikirimkan ke Mas Opick, seorang teman maya yang kutahu bekerja di pelayaran. Aku mengenalnya di sebuah situs chatting empat tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku kelas satu SMA.

“Minta tolong apa Dek? Ngomong aja,” balasannya muncul beberapa menit setelah pesan pertama kukirim.

“Tapi Mas jangan marah, ya? Adek tidak maksa sih, kalau bisa saja. Kalau tidak bisa jangan dipaksakan,” aku membalasnya dengan cepat. Ada ragu yang melintas dalam benakku.

“Minta tolong apa Dek? Kamu itu loh, kalau ditanya kebiasaan, jawabannya nggak langsung masuk ke inti pembicaraan. Pengin tak cubit kamu, Dek?” jawabnya lagi.

“Hemm.. begini, boleh nggak adek pinjam uang? Adek bener-bener udah nggak pegang uang, cuma tinggal tujuh ribu rupiah. Buat transport hari ini saja tidak cukup. Kos adek jauh dari tempat kerja. Adek baru awal bulan ini mendapat kerja lagi setelah sebelumnya menganggur. Kemaren bayar kos saja dibayarin dulu sama abang. Adek nggak enak untuk pinjem uang lagi sama dia. Adek janji, nanti begitu adek gajian, langsung adek ganti,” perasaan ragu kembali menyelinap dalam angan. Aku mengenalnya saja tidak. Keberanianku meminjam uang sama Mas Opick tentu merupakan perbuatan nekat. Jadi, belum tentu ia bisa menolongku meski aku mengiba. Apalagi, di jaman seperti sekarang ini, penipuan marak terjadi. Jadi, bisa jadi Mas Opick mempunyai kecurigaan serupa. Apalagi, setelah aku to the point untuk meminjam uang, ia tidak segera membalas pesanku. Ini membuatku panik. Aku menunggu hingga setengah jam lamanya, tetap tidak ada jawaban.

“Mas, bisa nggak? Kalau nggak bisa segera kasih jawaban. Biar adek usaha pinjem sama temen lain,” tetap tidak mendapat jawaban.

“Bang, maaf nih sebelumnya. Abang ada uang nggak? Adek pinjem tiga ratus ribu aja. Adek sedang dalam darurat nih. Kalau tidak ada segitu ya seadanya saja tidak apa. Nanti setelah adek gajian bulan depan langsung adek ganti, ” pesan singkat kembali kulayangkan. Kali ini pada salah seorang laki-laki yang usianya dua tahun di atasku. Namanya Bang Oksa. Ia juga kukenal di dunia maya, yang kukenal di dunia kepenulisan di internet. Aku tahu, meski aku cukup dekat dengannya, kemungkinan ini sangat kecil. Sebab, statusnya adalah seorang mahasiswa yang belum punya pekerjaan. Uang saja masih meminta sama orang tua.

“Mana rekeneningnya Dek? Dua ratus ribu aja ya? Abang cuma ada segitu. Tapi baru nanti siang Abang transfer,” bagai mendapat seteguk air surga, aku begitu lega mendengarnya.

“Adek butuh uang berapa? Mas minta nomor rekeningmu ya?” balasan pesan dari Mas Opick muncul.

“Tiga ratus ribu saja, Mas. 0077-xxxx-xxxx-xxxx” pesanku terkirim.

“Udah masuk ya Dek uangnya,” beberapa menit kemudian, balasn kembali masuk dari nomor Mas Opick. Aku menangis terharu. Ternyata, orang yang bahkan belum kukenal dalam nyata mau peduli. Dugaan negatif yang sempat tersirat membuatku kembali merasa malu sendiri. Setelah mendapat balasan dari Mas Opick, aku pun membatalkan pinjamanku pada Bang Oksa, agar hutangku tidak double.

“Makasih banyak Mas, nanti gajian langsung adek balikin,” aku membalas dengan cepat kepada Mas Opick.

“Dipakai dulu aja Dek. Nanti aja kalau adek ada uang lebih baru adek kembalikan,” Subhanallah. Dia begitu mempercayaiku. Mas Opick bahkan tidak menuntutku untuk secepatnya mengembalikan uangnya. Kemudahan mendapat pinjaman uang di pagi itu membuatku kembali teringat pada gadis pengamen yang kuberi uang pada malamnya. Apakah ini jawaban Allah atas bukti yang Ia janjikan dalam firman-Nya, bahwasanya siapa yang mau berbagi maka Allah akan membalasnya berkali lipat? Ya, kini kuyakin penuh firman Allah benar adanya. Sebab, sore harinya aku pun mendapat kabar bahwa salah satu naskah yang kuikutkan lomba lolos untuk menjadi kontributor yang akan diterbitkan.

Syukur berulangkali kupanjatkan seiring dengan nikmat yang bertub-tubi datang. Dalam hati aku berjanji, nanti malam sepulang kerja aku akan memberi uang lebih kepada gadis yang semalam aku berikan uang seribu lima ratus rupiah. Aku juga berjanji, setelah gajian nanti aku akan memberinya lagi, dan menanyakan siapa namanya. Entah mengapa, aku ingin mengenalnya lebih dalam. Akan tetapi, ternyata hingga dua minggu lamanya tak lagi kujumpai gadis pengamen tersebut. Dan sekarang pun, aku tidak mengetahui keberadaannya. Yang pasti, tidak akan pernah kulupa do’anya yang mengalir buatku di malam itu. Do’anya dengan cepat nyata terjadi dalam hidupku. Pertemuanku dengannya yang mungkin untuk terakhir kalinya telah menyadarkanku akan pentingnya rasa syukur. Meski aku tak pernah tahu di mana sekarang ia berada, namun aku harap suatu saat Allah mempertemukanku kembali agar aku bisa memenuhi janji yang kuucap.[ ]



Jakarta, 25 April 2012 @07:06 am

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011