Tentang sebuah malam, ketika hujan turun (Dalam buku "Pelangi Kasih Ibu", Pustaka Nusantara)
Judul Buku : Pelangi Kasih Ibu
Penulis : Zurnila Emhar CH, dkk
Penerbit : Pustaka Nusantara
Tahun terbit : Desember 2013
Tebal : 176 Halaman
ISBN : 978-602-7645-16-5
Harga : Rp. 46.500,-
Rintik
gerimis masih terus menetes, seperti tak hendak berhenti di tengah pekatnya
malam yang semakin meninggi. Seiring
waktu dalam bus yang terus melaju, mataku menatap jalang
keluar jendela. Ingatanku tengah
tertuju pada masa lalu, masa di mana aku
pernah memendam kecewa pada mama.
Penulis : Zurnila Emhar CH, dkk
Penerbit : Pustaka Nusantara
Tahun terbit : Desember 2013
Tebal : 176 Halaman
ISBN : 978-602-7645-16-5
Harga : Rp. 46.500,-
Sebuah Malam, Ketika Hujan Turun (halaman 98)
“Entahlah, Dek. Mbak sendiri tak tahu
kemana hendak mencari kabar mengenainya. Menurut
mbak, masmu enggan pulang karena mengingat
perlakuan mama padanya dulu, sewaktu
masih kecil,”
“Perlakuan
apa?”
“Dulu sekali, hanya karena berebut
siaran radio, mama menyumpalkan sandal ke
mulut
Mas Iwan. Mbak yakin, perlakuan
mama itu masih membekas di hatinya,” telepon langsung kumatikan. Aku tergugu. Dalam hati aku membenarkan
ucapan kakak perempuanku.
“Grogol habis Grogol habis...” lamunanku
buyar mendengar teriakan kondektur bus yang kutumpangi. Kaki jenjangku langsung
turun menjejaki jalan beraspal yang basah.
“Jangan diganti, acaranya lagi seru,” bayangan masa lalu kembali terngiang.
“Mama
sinetron aja dihayatin. Gantian dong, Ma.
Aku kan gak setiap hari di rumah,”
“Tapi
kan mama lagi seru nonton. Kalau cuma bikin masalah, mending gak usah pulang sekalian.
Kalau gak ada dikangenin,
tapi giliran di rumah bikin jengkel orangtua,” ucapan mama bagai halilintar yang menembus ubun-ubunku. Sambil
beranjak ke kamar, spontan kubanting remote
tv di hadapan mama.
Mendung yang semenjak sore menghias langit, tiba-tiba tumpah ruah. Hujan turun
begitu saja saat sakit hatiku sempurna menguasai. Petir mulai menggelegar. Dari
langkah mama yang memasuki dapur
untuk menadahi genting bocor dengan ember, aku yakin tv sudah dimatikan. Mamaku tak menggubris isak tangisku yang membaur
dengan suara hujan. Mama
justru terus menceracau memakiku.
Hujan terus menderas, ditambah gelegar
petir serta kilat yang menyambar. Tak peduli dengan dinginnya hujan, aku berlari keluar rumah.
Kubanting pintu ruang depan dan berlari menerjang hujan.
Mama yang menyadari
kepergianku langsung mengejar
sambil berteriak memanggil. Amarah yang
menguasaiku membuatku terus berlari tanpa memedulikannya.
“Maafkan mama, Nak. Maafkan jika ucapan
mama tadi membuatmu sakit hati. Ayo pulang, Nak,” aku masih tersedu dan terus berlari.
“Mama mohon maafkan mama, Nak. Ayo kita pulang. Bukankah tadi sore kamu bilang
pengin bubur kajang ijo? Nanti mama buatin,” kurasakan deru nafas mama yang
berhasil memeluk tubuhku. Dengan isak tangis yang belum jua reda, aku mengikuti
mama yang membimbingku. Aku berhasil mengendalikan emosi. Kuyakin mama begitu
tulus meminta maaf. Jadi kuputuskan untuk memaafkannya pula dengan tulus. Pikiran
mengenai mama yang begitu egois dan tidak menyanyangiku ternyata keliru besar.
Justru kasih sayangnya tak mungkin sanggup kubalas dengan cara apa pun. Segala
cinta kasihnya yang tak terbatas pastilah tanpa pamrih. Sebab ia layaknya
telaga yang mampu menghadirkan kesejukkan bagi jiwa gersangku. Aku
menyayangimu, mama.[ ]
Komentar
Posting Komentar
Coment please...