Kado Terindah
Liburan telah tiba. Meski pun ini hari pertama libur,
tapi aku bangun pagi-pagi, sebelum adzan subuh berkumandang, langsung membuka
jendela kamarku yang terletak di ujung. Di luar, tentu saja karena masih pagi
suasananya masih gelap, belum ada sinar matahari. Aku pun langsung bergegas menyambar handuk dan mandi.
Dinginnya air yang mengguyur tubuh tidak membuatku malas mandi, tapi justru
semangat. Sebab pagi ini, Ayah dan Bunda berjanji untuk mengajakku berlibur ke
rumah nenek. Semenjak lebaran dua tahun lalu, aku belum pernah lagi bertemu
nenek. Selain karena jaraknya yang jauh, aku juga belum berani ke rumah nenek
sendirian. Sedangkan Ayah dan Bunda yang biasanya menemaniku, dua tahun
belakangan banyak disibukkan dengan pekerjaan. Sehingga mereka pun tidak
memiliki waktu liburan. Maka setiap liburan semester, biasanya aku hanya
menghabiskannya dengan menonton televisi dan bermain dengan teman-teman
sekolahku.
“Alea, cepetan sayang. Kita sarapan dulu.” Baru saja aku selesai mengeringkan rambut, Bunda sudah memanggilku untuk sarapan.
“Iya bunda, sebentar lagi.” Aku pun bergegas
menyisir rambutku yang panjangnya sebahu, lalu berlari keluar kamar dan
langsung menghampiri meja makan.
“Duuh, putri Ayah cantiknya.” Ayah langsung mencium
pipiku. Aku pun kemudian menggelayut manja di bahunya. Sudah menjadi kebiasaan
setiap hari bagiku bermanja-manja dengan Ayah dan Bunda. Oh ya, aku sebenarnya
punya dua kakak, kembar. Namanya Irzi dan Irza. Selain Ayah Bunda, mereka juga
pahlawan dalam hidupku. Aku sangat mencintai keluargaku.
“Siapa dulu dong Bundanya. Pasti cantik seperti
Bunda.” Bunda menyahut sambil mengoleskan mentega dan selai ke roti.
“Kak Zi dan Kak Za mana, Bund?” Mataku jelalatan
mencari kedua kakakku itu, tapi tidak ada. Biasanya, mereka kan paling pertama
kalau masalah makan.
“Masih di kamar kayaknya. Gih sana kamu panggil
kakak-kakakmu.” Ayah mendorong tubuhku agar segera menjemput kakak. Duh, mau
makan saja mesti dijemput. Dasar cowok manja. Aku menggerutu dalam hati. Meski
menggerutu, sebenarnya aku senang juga sih. Soalnya aku seneng ngejailin
mereka. Hihihi.
Tak tik tuk. Langkah kakiku berbunyi menaiki tangga
ke lantai dua, menuju kamar kakakku. Eh, pas aku sampai, ternyata pintunya
kebuka sedikit. Akhirnya, niat jahilku kumat. Dua kakakku, Zi dan Za sedang
saling mengomentari baju yang dipakainya. Mereka tidak sadar aku menyelinap
masuk dan merunduk di balik ranjang mereka. Dan ketika aku sudah tepat berada
di dekatnya, aku langsung mengagetkan mereka.
“Dooorrr.” Aku loncat sambil teriak. Dan mereka pun
langsung kaget.
“Aduuuuh, Alea kebiasaan ngagetin. Gak sopan sama
kakak sendiri. Nih, kancing bajuku sampai lepas.” Itu kakak kembarku yang
paling muda, Za, yang suka marah-marah kalau aku kerjain. Sebenarnya, gak salah
juga sih ya dia marah. Orang akunya jail. Hehe.
“Maaf kak, maaf. Aku kan cuma becanda. Pagi-pagi
udah sensi deh si kakak. Ntar cepet tua loh.” Aku masih belum bosan meledeknya.
Ketika dia hendak melemparkan bantal ke arahku, aku langsung menghindar.
“Bercanda sih bercanda. Tapi kelewatan. Dasar nenek
sihir.” Za gak terima dengan kejailanku.
“Udah lah Za, lagian cuma kancing baju doang yang
copot. Bisa dipasang lagi. Sini aku pasangin. Bajunya lepas dulu.” Zi menimpali.
Selain karena otaknya yang selalu kreatif, kakakku yang satu ini juga kalem dan
pendiam, tidak seperti Za. Tapi meskipun begitu, aku tetap saja sayang
keduanya.
Akhirnya, adegan jailku dan sarapan bareng berjalan
lancar. Ayah mulai memasukkan tas dan koper berisi keperluan kami selama
berlibur ke dalam bagasi mobil. Setelah semua perlengkapan selesai disiapkan
dan pintu rumah sudah terkunci semua, kami pun langsung meluncur ke Jogja,
tempat nenekku tinggal. Nenek sebenarnya sudah tua. Sementara kakek sudah lama
meninggal. Bahkan aku saja tidak pernah mengenal sosok kakekku karena waktu
kakek meninggal aku belum lahir. Meskipun sendirian, nenek tidak pernah mau
diajak tinggal di Jakarta bersama kami. Katanya enakan di rumah sendiri.
Beruntung, bibiku, adik dari Ayah mau menemani nenek di rumah. Makanya, setiap
liburan ke tempat nenek menjadi momen paling istimewa bagiku. Jogja kan kota
budaya, di mana aku bisa jalan-jalan sesuka hati dan melihat banyak hal di
sana. Pokoknya, liburan ke rumah nenek selalu menyenangkan. Dan aku tak pernah
sekali pun bosan liburan ke sana. Za dan Zi pun kelihatannya begitu. Apalagi di
sana masih banyak tanah lapang untuk bermain layang-layang, tidak seperti di
Jakarta.
-oOo-
Sepanjang perjalanan, aku banyak bercanda dengan
kedua kakakku. Terkadang berebut komik, berebut menyetel musik kesukaan
masing-masing, bahkan berebut snack. Kalau sudah ribut begitu, biasanya Bunda
langsung melerai.
“Za, Zi, kalian itu kan udah gede. Ya ngalah dong
sama adik.” Kalau sudah begini, biasanya aku merasa menang karena sudah
dibelain bunda. Dan dengan jailnya, aku malah mencibir Za dan Zi sambil
meleletkan lidah.
“Sudah sudah Alea, tidak usah meledek kakak-kakakmu
terus. Giliran kalah, nanti kamu nangis.” Ah sebel. Bunda suka plin plan. Baru
saja membelaku, masa kemudian menyalahkanku. Aku kan malu dibilang suka nangis.
“Weeee, anak cengeng. Alea cengeng. Alea cengeng.”
Kedua kakakku dengan kompaknya malah membalikan ucapan bunda. Aku jadi sebal
setengah mati. Namun kemudian, kami kembali akur. Baca komik barengan, dan
berbagi snack. Setelah lelah, akhirnya kami tertidur. Dan aku yang pertama kali
terbangun, saat Ayah membelokkan mobil ke halaman rumah nenek. Tadinya aku
belum ngeh ada di mana. Tapi setelah melihat nenek sudah berdiri di depan
rumah, aku langsung sadar ini sudah tiba di rumah nenek. Di sana ada bibi
Sekar, Paman Tomo dan juga Rizfan, saudara sepupuku.
“Neneeeek.” Begitu Ayah menghentikan mobil, aku
langsung membuka pintu dan berlari menghambur ke arah nenek. Tapi, belum juga
aku sampai, dua kakakku sudah menyusul, dan Nenek malah menyambut kakakku,
bukan aku dulu.
“Waaah, dua pangeran Nenek udah jago-jago ya? Kelas
berapa sekarang?” Nenek justru memeluk dua kakakku dulu secara bergantian. Aku
jadi sebal. Nenek kebiasaan, suka bercanda begitu.
“Kita udah kelas dua SMP Nek. Kemarin aku juara satu
lomba debat bahasa inggris loh Nek.”
“Aku juga juara satu lomba adzan Nek.” Za dan Zi
malah unjuk kebolehan masing-masing. Sementara aku dicuekin. Maka, aku pun
memilih manyun dan malas menyalami Nenek dan yang lainnya.
“Gimana kabar Ibu?” Ayah dan Bunda bergantian
memeluk Nenek. Sudah begitu, setelah mereka saling beramah tamah, mereka justru
begitu saja langsung masuk ke dalam rumah. Aku yang bengong malah dibiarkan dan
seolah gak dianggap. Aku jadi bĂȘte. Dan aku pun memutuskan untuk ngambek.
Sengaja tidak ikut masuk dan hanya duduk di teras rumah Nenek. Mereka sungguh
keterlaluan. Aku bersumpah tidak akan masuk sebelum mereka menegurku.
-oOo-
Aku melihat jam digital yang melingkar di tanganku.
Ya ampuuun. Sudah hampir jam dua siang, mereka masih saja mengabaikanku.
Padahal, tadi pagi kami sampai jam sembilan pagi. Berarti berjam-jam sudah aku
duduk sendiri. Bosan sekali. Tapi aku nggak boleh nyerah. Memang sih, pintu rumah terbuka lebar. Tapi aku berjanji
tidak akan masuk sebelum ada yang menegur dan menyuruhku masuk. Rumah nenek
luas, jadi aku gak tau mereka sedang ngapain. Suaranya saja tidak terdengar.
Pas tiba-tiba ada tukang es krim lewat, aku langsung membelinya. Rasanya nikmat
sekali panas-panas minum es krim.
Matahari sudah mulai condong ke arah barat. Saking
lelahnya, aku sampai tertidur di teras rumah nenek. Dan ketika terbangun,
sekitarku sudah gelap. Sudah malam rupanya. Tapi kenapa mereka membiarkanku
tertidur dan sama sekali nggak membangunkanku? Terus kenapa juga lampu-lampu
rumah nenek tidak dinyalakan? Karena penasaran, akhirnya aku mengalah saja. Aku
masuk ke dalam rumah yang pintunya masih terbuka. Serem rasanya, tidak ada
tanda-tanda kehidupan di dalam sana.
“Ayaaah. Bundaa. Kak Za. Kak Zi. Nenek. Paman. Bibi.
Mas Rizfan, kalian di mana???” Kakiku tersaruk-saruk melangkah ke dalam rumah.
Jedug. Tiba-tiba kakiku menabrak meja. Kontan aku
langsung menjerit kesakitan. Meskipun aku sudah menjerit, tapi sekitarku tetap gelap.
Sama sekali tidak terdengar ada keberadaan orang. Di mana mereka? Aku berpikir
keras. Rasa-rasanya sejak pagi tadi mereka masuk ke dalam rumah, aku tak
melihat salah seorang pun keluar. Terus dimana nenek dan yang lainnya? Aku
ingin sekali menangis. Menangis karena mereka mengabaikanku. Menangis karena
sakit menabrak meja. Menangis karena rumah ini rasanya serem sekali, gelap dan
tidak ada orang. Akhirnya, aku memilih duduk di lantai, sambil memeluk lututku
sendiri. Aku sengaja menenggelamkan kepalaku ke lutut. Untuk mengurangi rasa
ketakutanku.
“Yeyeye. Selamat ulang tahun Alea adikku yang
cantik, yang imut, yang cakep, yang pinter, yang semuanyaaaaa…” Aku langsung
kaget mendengar kedua kakakku dan juga Mas Rizfan teriak berbarengan. Apalagi,
tiba-tiba lampu menyala begitu aja.
“Duh aduh, cucu nenek yang cantik sampe mau nangis
begitu. Ayo sini sayang. Peluk nenek.” Di samping nenek, ada bibi, paman, ayah
dan bunda yang tersenyum usil. Aduuuh. Jadi mereka sengaja mengerjaiku. Aku
baru inget kalau hari ini aku ulang tahun. Mereka keterlaluan banget sih,
seharian mendiamkanku. Tapi, aku juga jadi mendadak tumpul sih otaknya. Kenapa
dari siang aku gak coba mengintip apa yang mereka lakukan di dalam. Aku malah
sibuk menyendiri di teras rumah, tanpa peduli apa yang mereka lakukan di dalam.
Kalau aku tahu kan, aku akan balik mengerjai mereka. Tapi, aku bahagia juga sih
mendapat kejutan seperti ini. Ternyata, mereka semua memang menyayangiku.
“Kak Za sama Kak Zi jahat. Masa ikut-ikutan ngerjain
aku? Gak ngasih tau pula.” Aku bersungut-sungut sambil bangkit dari duduk, lalu
menghambur ke arah nenek.
“Kalau dikasih tau, namanya bukan kejutan, Lea.”
Kali ini Mas Rizfan yang angkat bicara.
“Nenek kok jahat banget sih? Ngerjain aku sampe
segitunya?” aku memeluk nenek dengan manja.
“Tapi kamu seneng kan?” nenek mencubit pipiku.
“Iya nek, aku seneng banget, punya orang-orang yang
mencintaiku seperti kalian.” Meski masih marah, akhirnya aku memeluk mereka
satu persatu. Hari ini, aku bahagia banget. Mendapat kejutan di hari ulang
tahunku. Padahal, aku sendiri sama sekali tidak ingat dengan hari ulang
tahunku. Selain karena lelah setelah menempuh perjalanan jauh, aku juga sedang
tertarik-tertariknya dengan liburanku di rumah nenek.
“Kita punya hadiah buat kamu adek jelek.” Za
mengeluarkan bungkusan berwarna biru laut, dengan pita berwarna hijau muda.
Keduanya warna kesukaanku.
“Aku juga punya.” Rizfan mengeluarkan bungkusan yang
sama, hanya berbeda ukuran. Lebih besar. Ternyata kedua kakak kembarku
memberikan kado sepatu kaca yang mirip dalam dongeng Cinderella. Sementara Mas
Rizfan memberikan kado gaun Cinderella dan mahkotanya. Sedangkan nenek, ayah,
bunda, paman dan bibi membelikan sepeda baru buatku. Maka, keesokan harinya aku
keliling kota jogja dengan kostum Cinderella dengan mengayuh sepeda bersama
kedua kakakku dan Mas Rizfan. Pokoknya, liburan kali ini menjadi liburan paling
menyenangkan buatku. Aku bersyukur memiliki keluarga seperti mereka yang sangat
mencintaiku. Rasa-rasanya, aku enggan menjadi dewasa. Aku ingin menjadi
anak-anak terus, yang bebas bermain sesuka hati, dengan kejutan yang selalu
membuatku tersenyum mengingatnya. [ ]
Jakarta, 19 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar
Coment please...