Kain Batik untuk Ibu (Dalam buku "Mendung di Lereng Gunung Ungaran", Pustaka Nusantara)

Judul Buku     : Mendung di Lereng Gunung Ungaran
Penulis            : Arinda Shafa, dkk
Penerbit          : Pustaka Nusantara
Tahun terbit    : Januari 2014
Tebal               : 122 Halaman
ISBN               : 978-602-7645-23-3
Harga              : Rp. 37.500,-


Kain Batik untuk Ibu (halaman 55)

Adzan ‘Ashar sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu. Namun, matahari masih enggan untuk kembali ke peraduan. Panasnya masih terurai di atas bumi-Nya, menembus liang pori hingga wajah-wajah yang terpapar sinarnya mengernyit menahan silau.

Di desa yang terletak jauh dari hiruk-pikuk kota ini alamnya masih perawan. Sawah luas membentang, berundak-undak seperti sebuah tangga raksasa. Sementara di bawahnya mengalir sungai dengan bebatuan alam yang masih asli. Diantara batu-batu itu, dua kaki mungil berjalan meniti bebatuan, lantas berlari di atas pematang sawah saat kedua kakinya mencapai areal persawahan. Ialah Aisha, gadis kecil berusia delapan tahun yang baru duduk di kelas tiga Madrasah.
Ah, gadis bernama Sarah yang sedang duduk di saung(1) sambil mengamati Aisha berlarian itu mengulum senyum. Ia seolah melihat refleksi dirinya di masa kecil pada Aisha. Hidup dengan semangat yang membara, meski dilahirkan dari keluarga sederhana. Perlahan senyum itu pudar, berganti menjadi seraut sendu. Sarah memejamkan mata, mengenang kembali masalalunya.
“Bu, terimakasih selama ini sudah setia mendampingi Bapak,” dari balik pintu, Sarah kecil mendengarkan percakapan kedua orangtuanya. “Bapak gaduh hadiah kangge Ibu. Bapak pesan kain batik spesial ti pengrajin batik di desa ieu, Bu. Bapak teh berharap Ibu suka(2),” Bapak menggenggam kedua tangan Ibu, membuat Ibu menarik bibirnya, menyimpul senyum.
“Ibu sangat mencintai Bapak, ya?” Sarah kemudian menghampiri Ibunya setelah Bapaknya berpamitan untuk mengambil kain batik yang dipesannya.
“Tentu saja, sayang. Bapakmu adalah laki-laki yang sangat berharga dalam hidup Ibu,” Fatmah, Ibu Sarah, membalas tatapan Sarah dengan seulas senyum.
“Sarah juga cinta sama Bapak dan Ibu. Sarah cinta Bapak dan Ibu karena Allah. Sarah ingin menjadi anak sholehah biar bisa masuk surga,” Sarah mengucapkan hal tersebut karena teringat dengan ucapan guru ngajinya, yang menegaskan bahwa kecintaan kita pada apa pun, harus berdasarkan karena Allah.
“Subhanallah, Nak. Terimakasih. Ibu juga cinta sama Sarah, Bapak juga cinta Sarah,” mata Fatmah berkaca-kaca. Ada rasa haru yang menyeruak tiba-tiba.
“Ibu. Ibu kunaon ceurik(3)?” Sarah mengusap airmata yang membasahi pipi Fatmah dengan kedua tangannya. Sejenak kemudian, Sarah refleks mendaratkan ciuman di pipi Fatmah. “Ibu jangan bersedih. Sarah akan selalu sayang Bapak dan Ibu,”
“Ibu bahagia sekali memiliki kamu, Nak. Ibu bahagia. Kalimat yang tadi keluar dari mulutmu sungguh sangat indah,” Fatmah mempererat pelukannya. Mengecup lembut kepala Sarah.
Ah, kenangan itu selalu membuat Sarah rindu pada Ibunya. Rindu pada Bapaknya. Rindu pada semuanya. Sarah rindu kebersamaan keluarga kecilnya yang penuh dengan kasih sayang.
***
Bapaknya telah pergi, dan takkan kembali. Hanya itu yang Sarah tahu. Barulah setelah beranjak dewasa Sarah mampu merangkaikan penjelasan, bahwa manusia yang hidup, pada akhirnya akan mati, kembali pada pemiliknya. Dan skenario hidup yang terjadi, sungguhlah sudah diatur oleh-Nya, tanpa seorang pun mampu membelokkannya.
“Fatmah, harap tabahkan hatimu, ya. Suamimu terbakar saat menyelamatkan Reyan, putra bungsu Bu Saodah yang terjebak dalam kobaran api saat rumahnya kebakaran. Kebetulan Reyan sendirian dalam rumah itu,” Bi Sarti, salah seorang tetangga menyampaikan kabar tersebut. Seketika Fatmah terdiam, menghela nafas panjang, dan matanya mulai mengembun.
Setelah kepergian Bapaknya, Sarah seringkali mendapati Ibunya tengah menangis sambil memeluk kain batik yang separuhnya sudah terbakar. Hal tersebut membuat Sarah ingin sekali memberi hadiah kain batik buat Ibu yang ia buat dengan tangannya sendiri. Maka, mulailah Sarah mengumpulkan uang sakunya. Jatah uang jajannya ia kumpulkan untuk bakal membeli perlengkapan membatik.
Setelah uangnya terkumpul, Sarah lantas membeli kain putih khusus untuk membuat batik, membeli malam dan canting(4), serta kertas wajit(5). Sarah sudah meminta bantuan pada Mak Surnah, salah seorang pengrajin batik di desa tempatnya tinggal, desa Bentarsari, sebuah desa terpencil yang terletak di kecamatan Salem, daerah pinggiran Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
“Sarah, kenapa akhir-akhir ini kamu pulang sekolah selalu telat?” Fatmah sudah berada di depan pintu saat Sarah tiba di rumah.
“Ada pelajaran tambahan di sekolah, Bu,” Sarah meneguk ludah. Ia sungguh terpaksa membohongi Ibunya.
“Sejak kapan kamu berani bohong pada Ibu? Siapa yang mengajarinya, Sarah?” Fatmah tersulut emosi. Ia tahu dari guru kelas Sarah, bahwa di sekolah tidak ada les tambahan. “Maafkan Ibu, Sarah. Ibu harus memukulmu, agar kamu tidak mengulanginya lagi,” Fatmah mengambil rotan, lalu memukul punggung Sarah hingga lebam. Sementara Sarah tetap bersikeras untuk merahasiakan rencananya. Maka Sarah hanya meringis kecil menahan sakit.
***
“Mak, bagaimana dengan motif batikku ini?” Sarah menunjukkan kain yang sudah selesai ia lukisi menggunakan pensil. Ia membuat motif bunga-bunga beserta dedaunannya.
“Waaah, sempurna sekali, Sarah. Ternyata kamu berbakat. Nah sekarang, kamu panaskan malamnya hingga mencair,” Mak Surnah memberi petunjuk.
“Sudah cair, Mak. Tinggal aku lukis dengan canting, kan?” Sarah mengisi cantingnya dengan cairan malam.
“Cantingnya jangan terlalu penuh, sayang. Dan ujung canting yang berisi malam harus ditiup-tiup. Ya betul, seperti itu. Lakukan dengan hati-hati, jangan sampai berantakan,” Sarah mengangguk tanda mengerti, lalu jemarinya mulai lincah melukis di atas kain. Ia mengerjakannya dengan sangat teliti.
Hari demi hari terus berlalu. Hasil membatik Sarah sudah hampir selesai. Mulai dari proses pewarnaan hingga menutupinya kembali dengan malam, dan terakhir meluruhkan malam yang tersisa dengan cara dicelupkan ke dalam air panas yang telah dicampur cairan khusus, selesailah semua proses. Sarah lalu mencucinya dengan air bersih dan mengeringkannya. Sarah menatap bangga hasil membatiknya yang ia kerjakan berbulan-bulan.
Sarah memasukkan kain batiknya ke dalam tas sekolah, lalu bergegas pamit pada Mak Surnah. Ia tidak sabar untuk memberikan kain batik itu pada Ibu. Kedua kaki mungilnya berlari-lari kecil melewati jalanan yang di kanan kirinya berdiri rumah penduduk. Bibirnya bernyanyi riang menyenandungkan lagu. Dan ketika ia tiba di depan rumah, Ibunya sudah terlebih dahulu menegur sebelum Sarah sempat mengucapkan salam.
“Sarah, dari mana saja kamu?” Sarah tertegun. Ia menunduk, lalu tanpa bisa dicegah, airmatanya menetes deras mengaliri pipi. Sarah lantas bersujud di kaki Ibunya, meminta maaf sambil menangis sesenggukan.
“Sarah mohon, maafkan Sarah, Bu. Sungguh, Sarah tidak bermaksud untuk membohongi Ibu. Sarah nggak mau dipukul lagi. Sarah nggak mau, Bu. Sakit,” ia melepaskan tas punggungnya, lalu mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. “Sarah hanya pengin kasih Ibu ini. Selama ini Sarah pulang telat karena Sarah minta Mak Surnah buat ngajarin Sarah membatik. Sarah buat dengan tangan Sarah sendiri, buat Ibu,”
“Ya Allah, Nak. Maafkan Ibu, selama ini Ibu sudah berburuk sangka sama kamu. Sungguh maafkan Ibu, Nak. Maafkan,” Fatmah memeluk erat tubuh Sarah. Ia menyesal pernah memukuli Sarah. “Kenapa kamu tidak bilang saja sama Ibu, Nak? Kalau Ibu tahu, Ibu tidak mungkin memukuli kamu,”
“Sarah hanya ingin memberi kejutan untuk Ibu. Makanya Sarah terpaksa berbohong,” sempurnalah kebahagiaan yang dimiliki Fatmah. Ia berjanji untuk memberikan yang terbaik bagi putri semata wayangnya, walau harus menjalaninya seorang diri tanpa suami. Hidupnya akan ia dedikasikan sepenuhnya buat masa depan Sarah.
Sarah membuka matanya, menatap hamparan sawah yang membentang luas. Sarah kini sudah menjadi dokter dan memutuskan untuk mengabdi di kampung halamannya. Namun sayang, di tahun terakhir Sarah kuliah, Ibunya harus pergi menyusul Bapaknya. Tapi Sarah bangga karena ia pernah dilahirkan oleh wanita yang sangat hebat. Dan kain batik yang pernah ia buat untuk Ibunya, masih ia simpan dengan baik. Bagi Sarah, kain batik itu memiliki kenangan yang sangat indah.[ ]

Keterangan :
1)      Saung : gubug
2)      Bapak gaduh hadiah kangge Ibu. Bapak pesan kain batik spesial ti pengrajin batik di desa ieu, Bu. Bapak teh berharap Ibu suka : Merupakan bahasa Sunda yang artinya “Bapak punya hadiah buat Ibu. Bapak pesan kain batik spesial dari pengrajin batik di desa ini, Bu. Bapak berharap Ibu menyukainya,”
3)      Ibu kunaon ceurik. Artinya, “Ibu kenapa menangis?”
4)      Canting : alat khusus yang terbuat dari tembaga, yang digunakan untuk melukis batik pada kain, dengan terlebih dahulu mengisinya dengan cairan malam yang telah dipanaskan. Memiliki tempat untuk menampung cairan malam dan memiliki ujung yang runcing dengan lubang kecil sebagai jalan keluar cairan malam yang berfungsi seperti tinta untuk membatik.
5)      Kertas wajit : kertas transparan yang biasa digunakan untuk menggambar pola sebelum membatik di atas kain. Lalu kemudian kertas tersebut digunakan untuk menjiplak gambar dengan cara menaruhnya di atas meja kaca, kemudian di atasnya ditaruh kain yang akan dibentuk pola. Sementara di bawah meja kaca ditaruh lilin yang menyala untuk memudahkan dalam menjiplak pola yang sudah dibuat di atas kertas wajit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011