Makna Sebuah Kesabaran

Makna Sebuah Kesabaran

Sahabat, ijinkan aku berbagi mengenai sedikit pengalalman yang semoga bisa diambil hikmahnya. Kisah ini terjadi di pertengahan Februari 2011 lalu.

Purwokerto-Purbalingga, 13 Februari 2011

Pagi ini aku masih cukup santai dengan pakaian yang juga santai. Masa Praktek Mengajarku di SMK Negeri 2 Purbalingga masih tersisa kurang lebih dua minggu lagi. Aku yang kemarin menyempatkan waktu untuk menjenguk orang tua di rumah, pagi ini masih nyaman menikmati suasana rumah yang sudah bertahun lamanya aku tempati bersama Bapak Ibu serta ketiga kakakku. Tujuanku pulang untuk sejenak mengistirahatkan pikir dari rutinitas praktek yang menjemukan.


Rencananya, aku baru akan berangkat ke Purbalingga nanti sore. Dari rumah aku berencana cabut pukul sebelasan, dan akan singgah sebentar ke pusat kota Purwokerto untuk membeli buku yang sangat kubutuhkan untuk referensi tulisan yang akan kugarap. Hal itu tentu saja karena di Purwokerto lah terdapat Gramedia, toko buku paling lengkap di mana semua jenis buku yang kebanyakan dibutuhkan tersedia di situ. Selain itu aku juga berniat untuk men-scan formulir lomba ke warnet atau rentalan yang ada di Purwokerto. Sebab, saat di Purbalingga, jangankan ada warnet yang menyediakan mesin scanner, warnetnya pun cuma ada satu-satunya dan ngantri pula. Hal semacam ini tentu saja sangat menghambat produktivitasku dalam menghasilkan tulisan karena tidak mempunyai perangkat komputer atau netbook sendiri yang mendukung hobbyku.

Ah, tetapi rencana yang sudah kususun matang-matang dengan mudahnya kubatalkan begitu saja. Naskah serta persiapan yang sudah kususun dengan matang harus kubatalkan seketika. Aku tidak jadi singgah di pusat kota Purwokerto karena tepat pukul setengah delapan pagi, temanku dari Pemalang memberitahu bahwa sekarang dia sudah di depan SMK Negeri 2 Purbalingga, tak lain adalah untuk menemuiku. Aku pun memberitahu mengenai posisiku sekarang. Dengan tergesa aku langsung bersiap-siap meluncur ke Purbalingga. Tentunya karena tidak ingin mengecewakan temanku itu. Aku merasa tidak enak jika membiarkannya terlalu lama menunggu. Apalagi jarak Pemalang-Purbalingga bukanlah jarak yang dekat. Jadi sangat tidak etis rasanya jika harus menyuruh dia kembali pulang tanpa kutemui terlebih dahulu.

Tepat pukul setengah sembilan, aku menuju tempat pangkalan bus diantar tetangga dengan menggunakan sepeda motor. Perjalanan sekitar 25 menit membuat kakiku kram dan tidak dapat digerakkan. Tentu saja hal ini berakibat pada tercecernya waktu yang kumiliki untuk mencapai kota Purbalingga tepat waktu. Akibatnya, untuk beberapa saat lamanya aku harus memulihkan kakiku agar bisa menyeberang dan naik bus jurusan Purwokerto.

Alhamdulillah, tidak lama kemudian, bus yang aku tunggu datang juga. Namun ternyata Allah sedang menguji kesabaranku. Tepat ketika hendak melintasi rel kereta, sebuah kereta api lewat. Dan itu membuat bus yang kutumpangi harus sejenak terhenti. Padahal berulangkali kali aku melintasi rel kereta api ini setiap habis pulang ke rumah, dan tiap kali pula tidak pernah ada kereta lewat. Tapi kini, kenapa kereta itu harus lewat di saat yang tak tepat. Perasaan kecewa, marah serta sedih membaur menghias dinding hatiku. Setidaknya itulah rasa yang bisa sedikit kugambarkan lewat untaian kata. Waktu pun terasa teramat lama kurasa untuk sampai di Purbalingga.
Baru saja sampai di jalan Gerilya, bus yang kutumpangi mengalami masalah. Busnya mogok karena bannya bocor, hingga mau tak mau aku harus kembali bersabar menunggu penggantian ban. Sampai di terminal Purwokerto sekitar pukul sepuluh lewat lima belas menit. Aku langsung meloncat turun dan menuju area tempat bus jurusan Purbalingga biasa mangkal. Entah kenapa hari ini tak kudapati satu pun bus jurusan Purbalingga mangkal. Akhirnya aku menunggu di pintu keluar terminal yang ke arah Purbalingga tentunya. Setelah sekian lama menunggu tak ada juga bus jurusan Purbalingga yang lewat, akhirnya aku terpaksa naik mikro, bus tanggung berpintu satu jurusan Pemalang. Meski bentuknya sama, mikro berbeda dengan bus. Jika bus lebih cepat sampai, tapi mikro akan lebih lambat jalannya, apalagi jika penumpang sedikit, karena pastinya untuk memenuhi target, sang sopir akan ngetem dulu sampai penumpang penuh.

Menurutku tak apalah naik mikro, toh selisih waktu dengan bus sepertinya tidak seberapa ketimbang aku masih harus berdiri dengan peluh yang berceceran membasahi seluruh tubuhku. Lagipula bus yang kutunggu pun belum tentu akan segera lewat. Dan kebetulan mikro yang kunaiki ini jurusan Pemalang, jadi tidak mungkin lah akan dioper. Sedikitnya itulah pendapat yang kusimpulkan.

Dalam kondisi sangat lelah dan ngantuk, aku masih berusaha untuk terjaga menemani temanku lewat SMS. Hal itu aku lakukan agar dia yang menungguku sendirian di depan SMK tidak merasa jenuh dan tak dihargai. Namun mau dikata apa, ternyata rasa kantuk yang menggelayut mengalahkan semuanya. Aku tak lagi membalas SMS-SMSnya yang mulai memenuhi inbox handphoneku. Sungguh aku tak sanggup lagi membuka kelopak mataku.
Ketika alam bawah sadarku melambungkanku ke alam mimpi tak bertepi, tiba-tiba suara kondektur membangunkanku.

Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Begitulah pikirku dengan perasaan sedikit lega.
“Mbak, silakan turun! Ikut bus yang di depan ya? Nanti nggak perlu bayar lagi karena sudah dibayar.”

Wadaw??? Ternyata dugaanku keliru. Aku kira sudah sampai tujuan, tapi ternyata malah dioper bus? Mana bus yang jadi sasaran operan penuh lagi? Untung saja aku masih kebagian tempat duduk meski di pojok belakang dan terpaksa duduk bersebelahan dengan ikhwan (baca : cowok). Padahal di kehidupan sehari-hari, sejak setahun belakangan, aku sedang berusaha untuk istiqomah tidak bersentuhan dengan lawan jenis, meskipun untuk beberapa kesempatan yang melibatkan sesepuh aku terpaksa masih harus melanggar prinsipku.

Alhasil, rasa kantuk yang tadi sempat menyergap kini lenyap. Aku meng-SMS temanku yang datang dari Pemalang. Aku meminta maaf karena tadi ketiduran dan memberitahukan bahwa aku sudah memasuki kawasan Purbalingga. Itu artinya jarak yang kutempuh sudah semakin dekat dengan tujuan. Untuk sementara waktu SMSan terhenti karena permintaan temanku tadi. Dia menganjurkan agar aku istirahat saja dalam bus. Dan aku memenuhi permintaannya, di samping itu keadaan pun tidak memungkinkan untuk tetap SMSan.

Sepanjang perjalanan terminal Purbalingga-Mrebet, obrolan kecil antara aku dan ikhwan yang duduk di sampingku akhirnya terjadi. Dari ucapannya, kuketahui dia bernama Faiz. Katanya dia hendak ke Serayu, sebuah daerah di Purbalingga bagian utara. Obrolan kecil mengenai kondisi generasi muslim saat ini yang sudah sangat jauh dari hukum syara’. Aku yang memang terbiasa pasif dengan orang yang belum kukenal, kali ini agak sedikit aktif dengan sikap mas Faiz yang easy going. Bahkan sebelum kami akrab, dialah yang lebih dulu menyapa di tengah bus yang berdesakkan. Jauh dari prediksiku, ternyata mas Faiz seorang santri di sebuah pesantren di Pekalongan. Dia tinggal di daerah sekitar alun-alun Purbalingga. Dan sekarang, dia hendak ke rumah neneknya yang tinggal di Serayu. Sedikitnya itulah sedikit keterangan yang ia katakan kepadaku.

Obrolan yang semakin mengasyikkan terpaksa harus terhenti karena aku sudah harus turun. Tempat tujuanku sudah dilewati oleh bus yang membawaku. Aku turun menenteng tas kresek berisi brosur titipan dari kampus tempatku kuliah untuk dibagikan kepada siswa-siswi kelas XII SMK Negeri 2 Purbalingga, tempat di mana aku dan empat rekanku melakukan Praktek Kerja Mengajar. Dengan sebongkah kelelahan, aku bergegas menyambangi tempat di mana temanku telah menungguku, di sebuah warung bakso yang terletak tepat di depan gang menuju ke kosku. Tanpa banyak basa-basi, aku dan temanku langsung menuju ke kosanku. Selepas ashar, temanku tersebut berpamitan pulang ke Pemalang karena takut kemalaman. Malam harinya, dalam kondisi tubuh yang lelah, aku bukannya beranjak tidur lebih awal, tapi justru baru terpejam sekitar pukul sebelas malam. Tak lain dan tak bukan, di gulitanya malam yang mencekam berhias erangan suara hujan yang menghujam, aku kembali berkutat dengan waktu, menyalurkan hobby merangkai kata yang semoga bisa bermakna bagi pembaca. []
Perjalanan melelahkan yang kulalui mengajarkanku tentang makna sebuah kesabaran yang harus dimiliki seseorang dalam menghadapi situasi yang tidak mengenakkan. Terlebih jika berhubungan dengan masalah waktu, seperti halnya menunggu seseorang. Seharusnya, untuk menyikapi kebosanan yang seringkali menyergap di kala kita menunggu sesuatu hal, akan lebih bijak jika kita mengisi kekosongan waktu yang ada dengan kegiatan yang lebih bermakna seperti membaca buku. Maka kawan, jangan pernah lepas kalian dari benda bernama buku. Dengan buku, kita akan mendapatkan banyak manfaat. Dengan buku pula wawasan kita akan bertambah. So, happy reading sahabat. ^_*

Ditulis pada Sabtu, 5 Maret 2011 di kampung kecil tempat dimana aku dan keluargaku tinggal. Selesai tepat pukul 20:05. Ditemani secangkir teh hangat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011