Hari “Bahagia” Sedunia

Hari “Bahagia” Sedunia

Ini adalah sedikit cerita tentang seklumit kisah yang kualami di penghujung hari Senin, 14 Februari 2011. Hari di mana aku harus mengalami sejumput kelelahan yang teramat sangat menyenangkan. Kenapa aku menganggap ini sebuah kisah yang menyenangkan? Ya, karena aku berusaha menganggap semua kisah itu menyenangkan untuk mendamaikan hati. Pun sebuah kejadian yang menguras air mata sekalipun, aku akan menganggapnya menyenangkan. Karena dari persepsi positif tersebut lah aku yakin sebuah kemenangan besar akan tercapai. Kemenangan berupa hikmah dari setiap kisah yang terukir. Setidaknya itulah sedikit pendapatku, bagaimana dengan anda??? *)

Purbalingga, 14 Februari 2011

Pagi hari, seperti biasanya aku berangkat pagi-pagi ke tempat di mana aku masih harus menjalani tugasku sebagai mahasiswa yang sedang mengejar sesuap nilai untuk tugas akhirku. Praktek Kerja Mengajar di SMK Negeri 2 Purbalingga. Aku bersama Esla, salah satu rekanku berangkat pagi karena kami diberi mandat memegang kunci laboratorium. Itu artinya kami mempunyai tanggung jawab untuk mendisiplinkan diri berangkat tepat waktu. Tak jauh beda dengan hari sebelumnya, dengan kerja sama kami menjalani hari senin ini dengan penuh semangat. Pukul dua siang kami selesai mengajar. Aku, dengan flash disk di tangan berjalan menuju rentalan depan SMK untuk nge-print naskah lomba yang mesti dikirim lewat pos. Hal ini disebabkan karena di daerah sekitar tempatku praktek tidak ada penyedia scanner yang memungkinkan aku mengirimnya lewat email karena salah satu perlengkapannya adalah formulir yang berisi tanda tangan serta tanda bukti berupa materai.

Namun nasib baik sedang tidak berpihak padaku. Rentalan yang ada ternyata tidak bisa conect flash disk. Aku pun menjejakkan langkah ke satu-satunya warnet yang ada. Namun apa yang terjadi? Mesin printernya sedang rusak. Untungnya temanku yang membawa motor berbaik hati mau mengantarku mencari tempat yang bisa ngeprint. Dia adalah Lina Fajar Srilestari. Aku diantar ke Bobotsari dengan motornya. Beberapa warnet yang kusambangi ternyata tidak mempunyai printer. Dengan semangat kukatakan pada temanku untuk pulang saja. Aku berpikiran untuk tidak jadi mengirim naskah lomba tersebut. Apalagi langit mulai mendung. Sepertinya hujan lebat akan segera mengguyur. Aku juga merasa tidak enak dengan temanku tadi, capek-capek pulang praktek harus mengantarku ke sana kemari. Namun dengan kelembutan hatinya, dia membujukku untuk tidak menyerah mencari rentalan atau warnet, hingga akhirnya aku menemukan warnet kecil yang alhamdulillah menyediakan printer.

Alhamdulillah, satu masalah terselesaikan. Begitu pikirku. Gerimis mulai rintik-rintik. Kumasukkan naskah yang sudah berhasil kuprint ke dalam amplop cokelat lalu kubungkus dengan plastik transparan. Dengan gegas, mbak Na, begitulah biasanya aku menyebut teman yang sebenarnya usianya jauh lebih muda dariku, melajukan sepeda motornya menuju ke arah kantor pos. Langsung saja aku masuk ke kantor pos yang di pintunya masih terpasang tulisan “OPEN” bercetak tebal.

“Ada yang bisa saya bantu mbak?” Sapa si petugas pos ramah.

“Mau mengeposkan surat yang paket kilat bisa Pak?” Jawabku berusaha ramah juga.

“Sayang sekali sudah tutup mbak. Paling bisa lagi lusa karena besok tanggal merah. Di sini kan cuma kantor pos kecil mbak, jadi jam satu juga sudah tutup...”

“Hemm... lusa ya Pak? Gimana ya Pak? Soalnya ini sangat darurat.”

“Kalau memang harus sekarang, mbak ke kantor pos yang di kota saja. Di sana buka sampai jam lima sore...” Petugas pos yang sudah beruban itu memberi solusi. Dengan sangat menyesal, aku memutuskan untuk kembai ke kos dan membatalkan pengiriman naskah tersebut. Rasanya aku tidak mungkin jika harus ke kota. Selain aku sama sekali tidak tahu tempatnya, hujan pun mulai menderas. Sepertinya naskah yang sudah kupersiapkan harus berakhir di tong sampah.

Pukul tiga lewat, entah karena ada dorongan apa aku memutuskan untuk mengubah keputusan yang telah kuambil. Kuambil naskah tersebut dan kubawa pergi. Di depan jalan raya depan gang yang menuju ke kosku, aku menunggu angkot ke arah Purbalingga kota. Dengan bermodal nekat, aku berhasil mencapai kantor pos tepat pukul setengah empat. Ya, alhamdulillah, ternyata kantor posnya masih buka. Meski harus mengantri, layaknya seorang yang menunggu antrian sembako saja, aku menjalaninya dengan penuh keikhlasan. Keluar dari kantor pos pukul empat sore. Tepat di seberang jalan dari kantor pos, kulihat gedung bertuliskan BNI berdiri megah. Aha, ternyata di sini ada bank BNI. Dari kemarin aku mencari bank BNI yang tidak ada di Mrebet, ternyata ada di sini.

Daripada besok aku harus kembali lagi ke sini, alangkah baiknya sekarang saja aku sekalian mampir mumpung bank yang aku cari sudah di depan mata. Toh aku juga tidak tahu kapan lagi punya waktu untuk pergi ke bank karena rutinitas yang melelahkan seringkali memaksa tubuhku untuk merebahkan diri, sejenak melemaskan syaraf yang menegang. Anggap saja sambil menyelam minum air atau sekali berlayar, dua tiga pulau terlampaui.
Aku mendapat antrian nomor empat puluh tiga. Sedangkan yang dipanggil baru nomor tujuh belas. Itu artinya masih separoh lebih lagi menunggu giliranku. Beberapa kali kulayangkan mata ke jam dinding yang terdapat di ruang bank ber-AC tersebut. Ahh, hari sudah semakin sore. Masihkah ada angkot ke arah Mrebet? Semoga saja masih ya Allah. Aku berusaha mengusir kegelisahan hati yang menyelimuti.

Keluar dari BNI, jarum jam menunjuk pada angka lima. Aku menunggu angkot di persimpangan jalan. Namun angkot yang kutunggu tak juga kunjung datang. Aku kira aku salah tempat karena aku memang tidak tahu arah tempat itu. Tepat di alun-alun kota yang sangat asing bagiku. Mengingat senja semakin merekah, aku pun memberanikan diri bertanya kepada seorang tukang becak yang sedang mencari peruntungan di dekat alun-alun.

“Permisi Pak, angkot arah ke Mrebet lewat sebelah mana ya?”

“D sebelah sana dik. Angkot bertuliskan angka satu di atasnya.” Jelas si tukang becak yang sepertinya sudah sangat kelelahan.

Sesuai dengan saran si tukang becak, aku menunggu angkot di tempat yang sama dengan tadi aku menunggu sebelum aku bertanya kepada tukang becak. Ternyata aku tidak salah tempat. Hanya saja keraguan yang menuntunku bertanya untuk memastikan apakah aku benar atau salah. Sekian lama aku menunggu, namun hasilnya masih saja nihil. Aku meng-SMS Bangun, salah satu siswa kelas tiga di SMK Negeri 2 Purbalingga. Berharap dia bisa memberi sedikit pencerahan. Karena dari keterangannya, katanya dia tinggal di sekitar alun-alun Purbalingga. Jadi pastinya dia tahu angkot yang bisa membawaku pulang.

Lewat SMS yang ia kirimkan, untuk jam-jam segini konon sudah tidak ada lagi angkot yang ke arah Mrebet. Sesuai sarannya, aku pun naik angkot yang ke arah terminal Purbalingga, yang artinya aku semakin jauh dari Mrebet, di mana aku ngekos. Dari terminal aku naik bus jurusan Pemalang. Dalam kondisi lapar yang tak tertahankan dan maaghku yang kambuh, aku berjuang untuk sampai ke kos dalam bus yang penuh sesak. Karena jujur, sedari pagi aku belum sempat memakan apa-apa. Meski makan sampai terlupakan, tapi beruntung aku masih mengingat Allah sebagai satu-satunya penolong yang tak dapat diragukan lagi. Sebelum berangkat untungnya aku masih sempat menunaikan shalat. Coba kalau tidak? Nggak kebayang deh gimana jadinya...!!
Kepala pusing, perut mual, dan perasaan-perasaan tak mengenakkan lainnya kurasakan sepanjang perjalanan pulang ke kosan. Di dalam bus yang kunaiki, kudapati seorang ibu dengan balita di gendongannya juga turut serta dengan penumpang lainnya. Dan yang paling mengiris hatiku, ibu muda tadi juga membawa anak laki-lakinya yang berusia sekitar belasan tahun turut serta tanpa bantuan siapa pun. Betapa tidak, anak laki-laki yang sudah menginjak remaja tersebut sepertinya seorang anak autis. Kasihan sekali beliau. Dan kulihat penumpang lainnya justru merasa takut dengan anak laki-laki itu. Ketakutan para penumpang mungkin diakibatkan karena keaktifan si anak yang tidak mau diam dan memilih untuk jalan-jalan di dalam bus yang penuh. Ah, tapi sungguh miris sekali hatiku melihat kondisi anak itu. Ingin rasanya aku menolongnya, tapi aku bisa berbuat apa? Sedangkan aku sendiri tengah tidak berkutik menahan perih di lambungku yang semakin menggila.

Subhanallah, banyak sekali pengalaman hidup yang kudapati hari ini. Melihat si tukang becak, aku mengerti betapa hidup ini membutuhkan pengorbanan besar. Melihat seorang ibu dengan anak autisnya, aku memahami betapa menjadi seorang ibu membutuhkan kesabaran yang luar biasa dalam mencurahkan perhatiannya bagi sang buah hati. Setidaknya ini merupakan modal awal untukku kelak menjadi seorang ibu bagi anak-anakku.

Akhirnya, beribu terima kasih kupanjatkan kepada Allah SWT yang telah menunjukkan banyak fenomena berharga kepadaku, juga kepada mbak Na yang telah banyak membantu hingga naskahku berhasil terkirim. Teruntuk Bangun yang sudah memberiku petunjuk hingga aku bisa pulang dengan selamat. Kepada Esla yang senantiasa men-suportku. Kepada rekan-rekan PKMku yang telah menghiasi hari-hariku. Dan kepada semua pihak yang senantiasa menjadi inspirasiku dalam menulis. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah dengan pahala yang berlipat. Amiin.... ^_*

Panusupan, 6 Maret 2011 on 09:05

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011