Akhirnya Berujung Manis

Akhirnya Berujung Manis

"Fah, lo yakin dengan keputusan lo?"

"Aku sangat yakin Rin. Udah saatnya kita kembali ke jalan yang benar...."

"Alah, sok banget sih lo? Sejak kapan lo mengganti sebutan gue dengan kata aku? Kita ini masih muda Fah. Sayang disia-siain. Mau tobat ntar aja. Bukan sekarang waktunya. Mendingan lo lepas lagi jilbab lo itu. Gue aja yang ngeliat gerah. Lo sendiri nggak gerah apa?"

"Ririn, aku udah memikirkannya dengan matang. Selama ini kita udah banyak berbuat dosa. Ya, kamu benar. Kita ini masih muda. Tapi usia kita sampai dimana kan nggak ada yang tahu. Selama ini kita selalu bersama. Maka, kali ini pun aku mau kita bersama-sama menuju hidayah Allah."

"Halah bulsit dengan ucapan lo. Udah deh, nanti malam kan malam valentine. Sekarang mending lo ikut gue sebelum pintu gerbang sekolah ditutup. Danu, Ricky sama Evan udah nunggu di depan. Kalau lo nggak nurut, mereka pasti bakal marah dan kecewa sama lo. Termasuk gue."

"Enggak Rin...!! Aku nggak mau ikut. Lebih baik kalian yang marah ketimbang Tuhanku. Kita mungkin bisa membohongi orang tua kita atau orang lain. Tapi Allah? Allah nggak bisa dibohongi Rin."

"Coba deh lo pikirin lagi Fah. Lo nggak pengin apa kita pesta ria, kita bersenang-senang seperti valentine tahun-tahun sebelumnya?"

"Astaghfirullahal'adziim Rin. Dulu aku emang kayak gitu. Tapi sekarang nggak lagi. Valentine itu bukan budaya... agama kita. Selagi kita masih diberi kesempatan ya jangan menyia-nyiakannya Rin. Jangan menyengajakan berbuat dosa. Ingat itu Rin. Seperti yang kemarin dijelaskan oleh pak Amir mengenai hukum merayakan valentine."

"Ah lo, omongan guru agama seperti dia aja didengerin. Gue sih ogah. Sekarang intinya, ayo cepet ikut gue. Sebentar lagi jam tujuh. Pintu gerbang pasti segera ditutup. Ayo buruan."

"Aku bilang enggak ya enggak Rin. Mending kamu batalin niat kamu pergi sama Ricky, Danu dan Evan. Sekarang ayo kita masuk kelas...!!"

"Susah ya ngomong sama lo. Sekarang terserah lo aja. Yang jelas lo bakalan menyesal."

"Gue kecewa sama lo Fah. Lo bukan lagi Fafah teman kita yang dulu. Ayo Rin, kita berangkat sekarang...!! Nggak usah peduli sama pengkhianat seperti dia." Evan yang tiba-tiba muncul menghentikan perdebatan Fafah dan Ririn. Sebelum Fafah sempat mengucapkan sepatah kata pun, Evan dan Ririn sudah berlalu meninggalkannya. Fafah hanya bisa pasrah melihat kedua sahabatnya itu lenyap dari pandangan.

***
"Fah, kelihatannya kamu lagi ada masalah ya sama gengmu?

"Nggak ada apa-apa kok Zal..."

"Tapi tadi pagi aku lihat Evan dan Ririn begitu marah terhadapmu..."

"Oh, cuma masalah sepele kok..." Fafah berusaha tersenyum menanggapi ucapan Rizal, salah satu teman sekelasnya.

"Ehmm, Fah, aku salut deh sama kamu..."

"Salut atas apa?" Fafah menjawab dengan lugu. Wajahnya layu. Mungkin ia sedang enggan untuk bicara. Atau mungkin di ruang otaknya masih teringat perdebatannya dengan Ririn tadi pagi.

"Salut dengan keputusanmu untuk berjilbab..."

"Insya Allah. Do'akan saja ya Zal biar bisa istiqomah....."

"Amiin... Jangan lupa ajak teman-teman gengmu... Kamu juga bisa ikut ROHIS. Setiap kamis siang ada kajian ROHIS di masjid sekolah. Silahkan kamu ikut bergabung dengan anggota ROHIS perempuan... Di situ kamu bisa belajar banyak..." Fafah hanya membisu mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rizal. Betapa selama ini Fafah merasa kerdil di hadapan Tuhannya karena dosa-dosa yang sengaja ia lakukan. Betapa batinnya menjerit jika ia mengenang masa lalunya yang kelam.

"Kamu kenapa nangis Fah? Ucapanku ada yang salah ya?"

"Oh, maaf Zal, maaf... Aku hanya sedih mengingat dosa-dosaku. Tolong bimbing aku ya Zal..."

"Sudahlah Fah, jangan menyesali masa lalu. Jadikan itu semua sebagai pelajaran untuk menjadi lebih baik..... Yakinlah bahwa Allah akan memberikan petunjuk. Aku akan bantu kamu semampuku..." Kata-kata Rizal bagaikan embun penyejuk di tengah gersangnya hati. Sekarang ia merasa sedikit lebih kuat menghadapi masalah yang tengah mendera.

***
Pukul tiga sore Fafah mondar mandir di depan rumah. Tampaknya ia sedang gelisah memikirkan sesuatu. Lebih tepatnya ia sedang memikirkan keempat temannya. Danu, Evan, Ririn serta Ricky. Entah apa yang terjadi. Fafah begitu mengkhawatirkan me...reka. Ada firasat buruk yang tiba-tiba menggejolak dalam tempurung kepalanya. Sejurus kemudian dengan lincahnya jemari Fafah mencari-cari sebuah nama pada kontak handphonenya. Dia memanggil Danu.

"Haloo..." Suara laki-laki di seberang sana terdengar samar. Yang jelas hanya suara berisik musik disco yang menggema serta riuh tawa yang teramat gaduh. Memekakan telinga.

"Danu, kalian dimana? Suaramu nggak jelas....." Fafah bicara dengan sedikit berteriak.

"Fah, suaramu nggak kedengeran....." Tuts... tuts... tuts... Telephon terputus. Berulangkali Fafah mencoba menghubungi nomor Danu. Tapi tetap saja suara wanita yang menjawabnya.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Silakan coba beberapa saat lagi." Pikirannya panik. Hatinya gelisah tak karuan.
Keesokan harinya Fafah masih belum mendengar kabar mengenai keberadaan Danu, Evan, Ricky dan Ririn. Orang tua dari masing-masing pun tak ada yang bisa memberi keterangan. Mereka hanya bilang bahwa keempatnya belum pulang sejak kemarin pagi berangkat sekolah.

***

Pukul tujuh pagi Fafah langsung meluncur ke rumah Danu. Ia berharap Danu pulang dan menceritakan semua yang telah terjadi.

"Kamu ada di sini Fah?" Dengan nafas terengah-engah Danu yang baru saja datang menyapa Faizah yang sedang duduk di teras rumah bersama mamanya.

"Danu, dari mana saja kamu hah? Rupanya kamu tidak pernah mendengarkan nasihat mama ya?"

"Istighfar tante... Jangan kasar sama Danu. Biar ia menjelaskan alasannya." Fafah memegang tangan tante Silvi yang hampir mendaratkan tamparan di pipi ...Danu.

"Ma, maafkan Danu..." Tanpa diduga Danu berlutut mencium kaki mamanya.

"Cukup sayang, cukup. Mama nggak mau kamu seperti ini. Ayo bangun dan ceritakan apa yang terjadi."

"Iya Dan, katakan apa yang terjadi sama Ririn, Evan dan Ricky..." Fafah tidak sabar lagi ingin tahu mengenai ketiga sahabatnya yang lain.

"Ma, Fah, jadi ceritanya gini. Semalam kita berempat pergi ke diskotik seperti biasa. Sebenarnya aku agak nggak ngeh setelah dapat SMS darimu Fah. Kamu ada benarnya juga bahwa apa yang selama ini kita lakukan adalah dosa. Aku udah berusaha ngingetin mereka. Tapi mereka nggak mau mendengarkan. Mereka malah pesta barang haram itu lagi sampai over dosis."

"Apa Danu? Jadi selama ini kamu bohongin mama?" Tante Silvi bertanya dengan nada tinggi.

"Sabar tante, sabar... Sekarang kamu katakan Dan, dimana mereka?"

"Ricky, Ririn sama Evan sudah tiada Fah. Mereka over dosis. Dokter tidak bisa menyelamatkan mereka. Barusan aku sudah mengabari orang tua mereka. Sekarang mereka masih di ruma...h sakit."

"Apa?" Tubuh Fafah melunglai. Semuanya tiba-tiba gelap. Ketika sadar Fafah tengah berbaring di dalam ruangan yang serba putih. Ia merasakan sentuhan lembut mendarat di pipinya. Ia kaget melihat banyak orang yang dikenalnya mengelilingi.

"Fah, kamu sudah sadar? Syukurlah... Kami semua sangat mencemaskanmu."

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Fafah semakin bingung dengan semuanya.

"Tiga hari kamu nggak sadarkan diri Fah. Dan semua itu gara-gara ulah kita. Coba waktu itu kita mau dengerin ucapan kamu. Pasti nggak bakal seperti ini jadinya."

"Ririn? Kamu? Kamu masih hidup? Kamu memakai kerudung? Evan? Ricky juga? Dan Danu?"

"Rupanya kamu mimpi buruk Fah. Tadi kamu menyebut-nyebut nama kita." Timpal Danu dengan baju koko dan kopyah putihnya. Wajah Fafah masih tampak bingung. Dengan senyuman mengembang, Rizal mendekatinya.

"Fah, tiga hari yang lalu aku ke rumahmu untuk mengantarkan buku Fiqih Islam yang mau kamu pinjam. Begitu sampai di depan pintu gerbang kulihat kamu terbaring di lantai. Melihat hal tersebut aku langsung memanggl orang tuamu. Karna denyut ...nadimu melemah, kami pun membawamu ke rumah sakit. Baru saja dokter menangani kamu, ku lihat ada panggilan masuk ke handphonemu yang tadinya sempat aku ambil karena tergeletak di lantai. Ternyata Danu yang memanggil. Dia memberitahu bahwa pas kamu telephone handphonenya lowbat. Kebetulan sekali dia telephon. Aku pun langsung memberitahukan keadaan kamu. Karena khawatir terhadapmu, Danu dan ketiga temannya yang tak lain adalah Ririn, Evan dan Ricky memutuskan untuk menyusulmu ke rumah sakit. Mereka membatalkan rencana pestanya demi kamu." Demi mendengar ucapan Rizal air mata Fafah jatuh berderai membasahi pipinya. Ia terharu.

"Fah, makasih banyak. Allah telah menyadarkan kita semua lewat kamu... Kita beruntung punya sahabat seperti kamu..." Suasana hening. Mereka semua diliputi rasa haru dalam kamar rumah sakit berukuran 3x4 meter itu..

***
Purwokerto, 16 Januari 2011.
Pukul 14.05 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011