Sejumput Luka Sevana

Sejumput Luka Sevana

Di ujung senja, Sevana terpekur dalam sunyi. Hawa dingin mulai menyeruak. Sevana tak kunjung merapatkan jendela kamarnya yang sedari tadi dibiarkannya terbuka. Ia masih tetap berdiri menatap nanar ke luar jendela. Panggilan suara adzan yang mulai berkumandang di seluruh penjuru kota Semarang tak membuat dirinya lantas bergeming mengambil air wudhu. Hatinya yang diselimuti kerinduan kepada mas Ivan, kakak satu-satunya, telah mengubah hari-hari Sevana yang senantiasa berselimut keceriaan kini meredup laksana awan hitam yang membias langit.


Semenjak kepergian Ivan ke tanah Mesir untuk melanjutkan studinya, Sevana menempati rumah peninggalan orang tuanya di Semarang seorang diri. Ayah dan Ibunya telah pergi sejak lama saat ia masih duduk di kelas dua SMP. Maka, dengan segenap kekuatan yang berhasil ia himpun, ia pun tersenyum melepas keberangkatan Ivan di Bandara Juanda, Semarang, tiga tahun lalu.

“Dik, jaga dirimu baik-baik ya? Mas janji akan selalu mengirimkan uang tiap bulannya untukmu. Dan mas juga janji akan sering-sering mengabarimu.”
“Pasti mas. Mas Ivan juga jaga diri baik-baik ya? Do’a Seva senantiasa tercurah buat mas.” Itulah sepenggal kalimat yang sempat terlontar sebelum akhirnya mereka berpisah.

*******
Pagi semakin meninggi. Sang mentari telah menampakkan senyum keemasannya. Namun lain halnya yang terjadi dengan Sevana. Tak ada lagi segurat senyuman tersungging dari bibir tipisnya. Kerinduan pada sosok kakaknya telah merenggut semua senyawa positif dalam dirinya. Sungguh, kerinduannya membuncah setelah beberapa waktu terakhir ia mendengar kabar dari layar kaca bahwa Mesir tengah dilanda bencana. Semua yang ia saksikan telah mengalahkan semangat hidupnya. Duka dan nestapa kini dengan bangga menguasai segenap jiwanya.

Tragedi Mesir yang terjadi beberapa waktu lalu ikut menghapus jejak mengenai keberadaan Ivan. Kabar berita yang diharapkan Sevana tak kunjung menyapanya. Berulangkali nomor teleponnya ia hubungi, namun hasil yang ia dapatkan tetap nihil. Sevana bertubi-tubi merasa kecewa karena nomor kakaknya tetap tidak aktif.
Handphonenya tiba-tiba berdering membuyarkan lamunan Sevana. Dengan segera, Sevana pun menyambar handphone yang ia letakkan di tepian meja.

“Assalamu’alaikum, benar ini dengan mbak Sevana?” Terdengar suara laki-laki di seberang sana menyapa dengan nafas terengah-engah.

“Iya benar. Ini dengan siapa ya?”

“Saya Reza, temannya mas Ivan di Mesir. Saya cuma mau menyampaikan pesan sebelum akhirnya nyawa saya juga mungkin akan terenggut.”

“Apa maksud mas Reza?”

“Ehm, mas Ivan, mas Ivan telah berpulang di tengah tragedi Mesir!”

“Tut.. tut.. tut..” Telepon terputus. Seluruh persendian Sevana seketika melunglai. Orang-orang tercintanya satu persatu terenggut dari hidupnya. Dan kini, kehilangannya lengkap sudah. Ia hanya berharap, suatu saat kebahagiaan akan menyambutnya.

************
*399 kata beserta judul

FF bersama buku tulisan di atas pasir

Kalah tapi gak papa.. dari pada mendekam dlm folder, jadi aku posting di blog dah... hehheee...
Purwokerto, 20 Maret 2011 on 20:14

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011