Persahabatan Aneh Sepanjang Masa

Persahabatan Aneh Sepanjang Masa

Hawa panas yang menyelimuti ruangan tempat kuberpijak membuat keringatku mengucur deras dari liang pori tak berbilang. Kipas angin yang bertiup tak mampu menghilangkan hawa gerah yang menyergap tubuhku. Aku tak mampu berontak untuk bisa lepas dari cengkeraman panas yang membuatku tak nyaman. Materi kuliah yang disampaikan oleh dosen pun tak lagi kuhiraukan. Aku acuh dan mengabaikan setiap ucapannya. Bukan karena aku tak menghargai beliau apalagi meremehkannya. Namun terlepas dari itu semua, imajiku memang sedang tidak bisa diajak berdamai.


Betapa riang hati saat jam kuliah usai. Tanpa banyak berpikir, spontan aku beranjak dari tempat duduk, menghambur keluar ruangan bersama teman-teman yang lain. Dengan gontai, kujejakkan langkah menembus panas meninggalkan pelataran kampus. Sejenak lalu, aku telah sampai di kosan, sebagai tempat favoritku di kala hati ingin melepas segala kepenatan dari rutinitas kuliah yang terkadang menjemukan. Kemudian, kurebahkan tubuh sejenak di atas pembaringan. Lima belas menit lamanya aku berkutat dengan waktu, menatap langit-langit dengan pandangan nanar. Setelah kurasa cukup, maka aku pun langsung mengambil air wudhu guna menunaikan shalat dzhuhur.
Beberapa saat lamanya, aku berjibaku menghadap Rabbku, sejenak melupa pada dunia untuk merenungi dosa yang tercipta, serta memohon segala do’a semoga Sang Maha berkenan memberi maaf atas segala khilaf yang sempat terukir, dan memohon lindungan dari godaan syetan yang senantiasa menyertai langkah manusia.

Tatkala panas masih menyengat, entah kenapa aku merasa tak seperti biasa, rasa bosan menyapa kesendirianku. Demi menuruti nafsuku, aku pun memutuskan untuk pergi ke warnet yang terletak cukup jauh dari tempat kosku. Ah, sebenarnya jarak segitu tidaklah jauh. Namun dibanding dengan warnet yang terletak tepat berhadapan dengan kosku, warnet yang kukunjungi ini lebih jauh. Aku memutuskan untuk memilih pergi ke warnet ini, karena fasilitasnya lebih lengkap dan harga pun lebih terjangkau. Seperti suatu tradisi, jikalau aku singgah ke warnet, pastilah artikel-artikel bahasa Inggris yang kucari. Artikel-artikel tersebut kemudian akan kubaca dan kuterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan maksud untuk memperlancar bahasa asing yang memang sangat kugemari ini. Kegemaranku mengoleksi dan membaca tulisan-tulisan atau lagu-lagu dalam bahasa Inggris, berawal saat jurusan bahasa Inggris yang ada di kampus tempatku kuliah tidak diadakan lantaran yang berminat hanyalah sedikit. Akhirnya keterpaksaan mengambil jurusan yang sejak awal tak kuminati justru menjadi anugerah terindah dalam hidupku.

Dengan terampil, kujentikan jemariku menari di atas keyboard, setelah kumasuki salah satu bilik kosong dari beberapa bilik yang ada di warnet tersebut. Dengan lincahnya jemariku terus menari mengetikkan keyword mengenai segala hal yang ingin kucari. Sesekali aku membuka akun facebookku yang telah mempertemukanku dengan orang-orang luar biasa yang telah banyak menginspirasi. Beberapa saat lamanya, sejenak lamanya aku terdiam menelusuri satu per satu tulisan-tulisan Nurul Dwi Astuti, salah satu sahabat mayaku yang mungkin tanpa ia tahu telah banyak menginspirasiku. Tulisan yang sebenarnya ia hanya copy paste dari sumber lain, telah banyak mengajarkanku bagaimana menjadi muslimah sejati.

Sejenak, aku bangkit dari dudukku. Bukan untuk pergi meninggalkan warnet, melainkan untuk sekedar melemaskan syaraf yang menegang. Tanpa sengaja, kudongakkan wajah ke bilik di sampingku. Amboy, ternyata ada Iffah dan Linda. Mereka adalah teman kuliahku, satu jurusan.

“Cha, kamu di sini juga toh? Udah lama?” Iffah menyapaku terlebih dahulu.

“Iya nih... Udah cukup lama aku di sini... Lah kamu?”

“Aku sekitar sepuluh menit yang lalu ke sini.... Kamu punya ‘FB’ kan Cha? Add aku ya? Cari aja di search enginenya menggunakan nama asliku...”

“Lah bagaimana pula? Aku juga nggak tahu nama lengkapmu siapa...??” Ujarku setengah berbisik karena takut mengganggu pengunjung lain.

“Ya elah kamu Cha, udah berapa bulan kuliah bareng? Kamu kan ketua kelas pula?” Sahut Linda yang sedari tadi hanya terlihat berdiam diri di samping Iffah, layaknya seorang bodyguard yang begitu setia. Padahal sangatlah tidak pantas aku menyebutnya seperti bodyguard. Mau tahu kenapa? (Maaf) Itu karena tubuhnya sangat kurus dan terlihat kerempeng. Haha...

“Yee biarin aja... Lagipula biarpun aku kepala suku, bukan berarti pekerjaanku cuma mengurusi kalian dong... Aku kan punya kehidupan sendiri... Lah kalau kamu mah aku tahu nama lengkapnya. Namamu kan yang panjang sangat kayak kereta? Pantas aja tubuhmu kerempeng karena keberatan nama tuh...!! Dalam pandanganku, saat ujian yang mengharuskan mengisi LJK, pastinya kamu akan paling telat selesai ngebuletin lingkarannya. Haha...” Aku pun tertawa lepas sampai-sampai aku lupa bahwa aku tengah berada di tempat umum.

“Haha... Masih panjangan juga rel keretanya kali Cha? Aku nggak nyangka loh Cha, ternyata di balik sikap pendiammu ketika di kampus, kamu ini gokil juga ya??” Linda menyahut tanpa sedikit pun tergurat ketersinggungan di wajah imutnya.

“Eits,,, jangan salah!! Aku kan si ratu jahil dan usil ketika SMP dulu. Tapi sekarang udah tobat kok.. Jadi jangan khawatir meski terkadang keusilanku kumat juga... Hehe...” Aku yang memang lebih banyak diam ketimbang harus berucap ini itu yang kurasa nggak penting, kali ini dengan cepat bisa akrab dengan makhluk penghuni bilik warnet di sebelahku.

“Kamu ngapain di sini?” Lanjutku lagi.
“Nemenin Iffah ngenet lah, masak nemenin Iffah ngenet dong? Duren aja dibelah, bukan dibedong...” Sayup-sayup kudengar ia tertawa kecil.
“Ah itu sih tembang basi Lin... Udah tenar sejak jaman SMA dulu...”
“Udah ah, cukup bercandanya. Sekarang aku mau minta nomor handphone kamu. Mana nomormu? cepet sebutin...!!”

“Wah, aku belum hafal nomorku. Soalnya ini nomor baru sih....” Aku pura-pura. Padahal nomor itu telah setia kupakai sejak pertama kali aku punya handphone jaman SMP dulu. Dan akibatnya, nomor itu pun sudah sangat kuhafal digitnya sambil merem sekali pun.

“Ya udah, aku sebutin nomorku aja ya? Ntar kamu missed call ke nomor aku...”

“Sip deh...” Ucapku setuju sambil kuambil handhphone di saku rokku.

“Oops... maaf, pulsaku ludes buat telephon mama tadi... Nanti malam aja ya aku SMS setelah aku isi pulsa...??” Naluri isengku yang muncul seketika, membuat aku terpaksa berbohong, mencari alasan kalau aku tidak punya pulsa. Padahal jelas-jelas sebelum ke warnet tadi, aku sempat isi pulsa di counter depan. Tujuanku tak lain karena nanti malam berniat menjahilinya lewat SMS. Hehe...

*********
Kedekatanku dengan Linda yang kemudian kupanggil Esla, berlanjut hingga saat ini. Aku lebih memilih memanggilnya dengan sebutan Esla, yang merupakan singkatan dari namanya yang kayak rel kereta itu, yaitu Efriana Sabdilah Linda Anggasari. Aku memanggilnya seperti itu lantaran dia adalah orang spesial di hatiku, agar panggilanku juga spesial untuknya. Dan nyatanya dia merasa senang dengan panggilan itu serta sama sekali tak merasa keberatan. (Terang saja dia tidak keberatan, orang nggak memikul batu segede gunung...??) Hehe...

Semenjak pertemuan ajaib di warnet itu, kami memang selalu bersama layaknya dua saudara kembar. Jika yang dimaksud kembar bagi kebanyakan orang adalah identik dengan banyaknya kesamaan yang melekat pada si kembar itu, namun lain halnya yang terjadi antara aku dan Esla. Kembar yang kumaksud di sini justru karena banyak sekali perbedaan yang melekat. Mulai dari postur tubuhku yang gemuk dan dia kerempeng, aku yang pendiam dan dia cerewet, aku yang tak suka bergaul dengan cowok karena masih primitif memegang akidah Islam dan dia begitu banyak teman cowok, dan masih banyak lagi perbedaan yang tak mungkin dapat kuceritakan satu per satu.
Julukan saudara kembar sebenarnya adalah julukan yang diberikan oleh teman-teman sekampusku. Mereka mengatakan kami adalah kembar yang unik dan tak biasa. Julukan itu mereka berikan karena kami selalu terlihat bareng di setiap kesempatan, seperti di kampus, acara seminar, saat aku bolos dia pun ikut bolos, dan masih banyak lagi kesempatan yang melibatkan aku dengannya.

Suatu hari, tak seperti biasanya aku mau pergi dengan cowok. Dia adalah Okky dan Soffan. Okky dan Soffan yang mengambil jurusan teknisi, aku kenal secara tidak sengaja saat aku mempresentasikan tugasku di kelas teknisi. Okky dengan penampilan mreman yang sempat membuatku merasa enggan menatapnya, justru memiliki jiwa solidaritas yang tinggi. Kedekatanku dengan Okky dan Soffan semakin terasa, saat mereka rela membantu program kerja LDK yang kuketuai, mengumpulkan dana bantuan di jalanan untuk membantu korban Mentawai di Sumatra dan Merapi di Yogyakarta.

Kebersamaan yang merekatkan hubungan persahabatan kami, akhirnya menuntun langkahku, beserta Esla tentunya, mengunjungi bendungan dengan jalan kaki pada suatu senja. Subanallah, indahnya suasana di tepian sungai yang airnya dibendung guna mengairi sawah-sawah penduduk itu. Meski kami pergi berempat, namun aku lebih banyak hanya berdua dengan Esla. Sepertinya GTMC antara kami berdua sudah tak dapat terkalahkan oleh sesuatu pun. Ada yang tahu apa itu GTMC? GTMC merupakan Gaya Tarik Magnet Cinta yang membuat kami jatuh cinta antara satu sama lain. Oow, tapi jangan negative thinking dulu! Cinta yang kami maksud bukan cinta lawan jenis alias lesbi. Tapi cinta kami sekedar cinta sebagai sahabat, sekaligus saudara yang terjalin atas dasar ukhuwah Islam.

*********
Terik matahari yang teramat menyengat tak mengurungkan niat kami untuk menelusuri jalanan kota yang berdebu, berhiaskan suara bising kendaraan yang memekakkan telinga. Dengan semangat 45, aku dan Esla yang sama-sama terobsesi mencari pekerjaan hanya karena ingin membeli buku, rela panas-panasan menempuh jarak yang tidak dekat. Bayangkan saja jarak sepanjang jalan Pol. Soemarto dari desa Karang Jambu sampai alun-alun kota Purwokerto yang pasti membuat kaki pegel dan kram. Namun semangat juang kami lebih tinggi ketimbang hanya sekedar berkeluh kesah. Tidak cukup sampai di situ, dari alun-alun kami menempuh jalan pulang dengan cara memutar lewat jalan yang jaraknya lebih wow lagi. Alhasil rasa lelah dan letih tak dapat dihindari.

Siang yang panas tiba-tiba menjelma mendung. Awan hitam menghiasi langit pertanda hujan lebat akan segera turun. Kami memacu langkah agar bisa lebih cepat sampai di kosku. Namun malang nasib kami, hujan turun begitu derasnya ketika kami baru menginjakan kaki di jalan Dr. Angka, jalan di mana tepat di ujung perempatannya terdapat toko buku loak yang sering menjadi alternatif pilihanku untuk mencari bacaan baru ketika jatah uang bulanan sedang menipis. Kesombongan yang tidak mampu kuhindari adalah ketika mempunyai uang lebih, sudah barang pasti aku gengsi menginjakkan kaki di toko buku loak. Paling tidak aku pasti membeli buku di Gramedia, yang tempatnya jauh lebih ellite.

Hujan yang mengguyur kota Purwokerto membuat kami harus sampai di kos dalam keadaan basah kuyup. Tak ayal sepanjang jalan kami pun menjadi pusat perhatian orang-orang tak mempunyai pekerjaan. Bahkan ada pula yang mentertawakan serta menggoda kami. Ah, tapi perjalanan kali ini sungguh terasa indah, meskipun tujuan mencari pekerjaan belum mendapat hasil. Hal itu disebabkan karena aku melaluinya bersama orang yang teramat berarti dalam hidupku.

Keesokan harinya, kami kembali berlelah-lelah ria menelusuri jalanan yang berdebu, bertarung dengan udara yang masih tetap saja menyengat kulitku yang sudah setengah gosong ini. Hehe. Kalau bukan karena pertemuan di warnet itu, pastinya kami tidak akan segila ini.

Tanpa menghiraukan tanggapan orang yang memergoki kami menelusuri jalanan di tengah teriknya matahari, kami pun terus melangkah.

“Cha, capek juga ya? Sampai kapan kita akan terus bersikap gila seperti ini? Kalau bukan karena aku yang ngajak kamu seperti ini, pastinya kamu juga nggak perlu merasa capek gara-gara aku...” Linda berucap menghiba seperti menyesalkan tindakannya. Namun bagiku ini merupakan anugerah dan tak sedikit pun aku menyesalinya.
“Hush, jangan ngomong seperti itu, itung-itung kita olah raga melemaskan otot kaki, iya kan??” Tukasku seraya mengembangkan senyum yang entah pahit atau asam di matanya. Usahaku dan Esla kembali menyusuri kota, dengan rute yang berbeda dari hari kemarin Alhamdulillah tak sia-sia. Alhamdulillah hasilnya tak jauh beda dengan yang telah terjadi sebelumnya. Kami masih saja belum mendapatkan pekerjaan yang kami inginkan.

“Alhamdulillah ya Es, hari ini kita belum mendapatkan apa yang kita cari?” Ucapku lagi sambil nyengir gorila.

“Loh kok Alhamdulillah?” Esla tampak bingung dengan ucapanku.

“Ya kan nggak salah kita bersyukur? Bukannya dengan begini Allah masih menghendaki kita untuk kembali berpetualang menelusuri jalanan kota?”

“Benar juga ya Cha, kita kan jadi lebih sering bersama... Hehee...” Akhirnya Esla pun menyetujui apa yang kuucap. Subhanallah, indah sekali rasanya jika kita mempunyai sahabat yang begitu mengerti akan diri kita, selalu ada di segala situasi, senantiasa menjadi pelengkap bagi kekurangan yang kita miliki. Dan akhirnya, dengan hati penuh cinta kupanjatkan do’a semoga persahabatan kami abadi hingga akhir khayat, dan semoga Allah senantiasa menaungi kami dengan cinta-Nya, sehingga kelak kami dipersatukan dalam firdaus-Nya. Amiin ya Rabbal ‘alamiin....


*********

Purbalingga, 25 Februari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011