Pentingnya Kerukunan Umat Beragama

Pentingnya Kerukunan Umat Beragama

By : Akhwatul Chomsiyah Firdausa

Hawa panas sangat terasa menyengat kulit meskipun aku tengah berada di dalam ruangan. Berhubung jam pelajaran kosong, seperti kebiasaanku yang sudah sangat dikenal oleh teman-teman, aku pun menggunakan waktu kosong itu untuk begelut dengan soal-soal matematika yang memang menjadi pelajaran favoritku. Namun entah mengapa kali ini aku tidak mampu memusatkan perhatianku pada soal-soal yang berserakan di mejaku. Entah karena aku memang pening mendengar kegaduhan siswa laki-laki yang selalu saja bermain-main saat jam pelajaran kosong, atau mungkin ada sesuatu yang terjadi dengan orang terdekatku sehingga aku pun tidak nyaman menjalani waktuku. Kalau kegaduhan yang menjadi penyebab, rasanya aneh kedengarannya. Sebab, situasi gaduh seperti ini sudah kerapkali terjadi saat jam pelajaran kosong. Dan nyatanya aku tetap mampu konsentrasi mengerjakan soal-soal matematika atau soal-soal yang lainnya.


Ketidaknyamanan yang kurasa, mendorongku untuk beranjak dari kelas tempat kuberpijak. Perlahan kujejakkan langkah menerobos panas yang memanggang, melewati deretan kelas VIII dan kelas IX, lalu melewati ruangan auditorium dan laboratorium Biologi yang terletak bersebelahan, terus melangkah melewati ruang koperasi sekolah, Tata Usaha, ruang kepala sekolah, kemudian ruang BK, dan ketika tubuhku berdiri tepat di depan pintu perpustakaan, kuhentikan langkah sejenak, lalu kumantapkan hati untuk memasukinya. Kutarik gagang pintu yang hanya terbuka sedikit seraya mengucap salam.

“Assalamu’alaikum...”

“Wa’alaikumsalam warahmatullah...” Suara petugas perpustakaan yang sudah sangat kukenal terdengar begitu fasih.

Sesaat lamanya, kulayangkan pandang menjelajahi setiap sudut ruang perpustakaan. Namun mataku hanya mendapati seorang siswi yang tengah asyik bergelut dengan buku tebal dihadapannya. Aku sebenarnya tahu siapa cewek itu. Dia adalah mbak Airin, kakak kelasku yang duduk di kelas VIIIa. Sepertinya tak ada siswa di SMP Negeri 2 Purwokerto yang tak megenalnya. Sebab selain dia cantik, dia juga siswa nomor satu di sekolah. Prestasinya yang luar biasa melambungkan namanya. Aku mengenalnya dari teman-teman juga dari orang-orang yang sering membicarakan kepandaiannya dalam bidang akademik. Betapa ingin aku menjadi sahabatnya dan belajar banyak darinya. Namun sifat minder dan pemalu yang melekat pada diriku, membuatku canggung untuk memberanikan diri mendekAirinya. Maka ketika ia menatapku, aku hanya tersenyum membalas senyuman yang telah lebih dulu ia suguhkan.

“Duduk sini aja Mey...!!” Aku terkejut mendengar ia mengajakku duduk di dekatnya. Hatiku melonjak gembira melihat kenyataan bahwa mbak Airin, siswa nomor satu di sekolah dengan ramahnya berkenan menyapaku terlebih dahulu, siswa kuper yang tidak ada apa-apanya dibanding dirinya. Dengan sedikit canggung, aku pun memberanikan diri duduk di dekatnya. Akhirnya, obrolan kecil terjadi. Melalui obrolan kecil itu, aku mengetahui bahwa ternyata mbak Airin orangnya begitu care dan easy going. Itu terbukti dari sikapnya yang begitu ramah terhadapku.

“Kamu nggak ada pelajaran apa Mey?” Tanyanya beberapa saat kemudian setelah aku duduk tepat berhadapan dengannnya.

“Nggak ada mbak... Cuma ada tugas tadi, dan itu sudah aku kerjakan...”

“Hemm, kamu sih rumahnya mana?”

“Aku Baturraden mbak, mbak sendiri?”

“Wah jauh juga ya? Aku mah orang sini-sini aja, Kembaran tahu kan?”

“Iya mbak, aku tahu, Kukuh kan juga anak Kembaran. Aku pernah lewat depan rumah mbak malah, pas main ke tempatnya Kukuh..”

“Masak sih? Kok nggak main ke tempatku juga?”

“Kenal juga belum mbak, nanti dikiria SKSD lagi? Kan malu sendiri kalau pas main mbak nggak ngenalin mukaku yang jauh dari peradaban ini. Hehe...” Mbak Airin ikut tertawa kecil mendengar leluconku.

“Kamu bisa aja ah. Oya Mey, kamu kenal Shelia Alaza nggak? Dia juga katanya rumahnya Baturraden.”

“Wah kenal banget itu mbak, lah wong kita tetanggaan, satu RT malah...”

Sekiranya itulah sedikit obrolan yang hingga kini masih kuingat dengan jelas. Dari keterangan teman-temanku, aku baru mengetahui kalau ternyata dia non-muslim, tidak seagama denganku. Ya, meski perbedaan keyakinan bukan masalah serius, namun didikan lingkup keluargaku yang mengatakan bahwa aku tak boleh berteman dengan non-muslim membuat kesan tersendiri mengenai pandanganku terhadap mbak Airin.
*******

“Meyska Ayunda, ke sini sebentar kamu.” Seusai pelajaran Sejarah, tiba-tiba Pak Rasyid, guru matematika kelas dua masuk kelas dan memanggilku.

“Waduh, punya salah apa ya aku? Kok Pak Rasyid nggak tahu-tahunya mencariku?” Gumamku dalam hati.

“Iya Pak....” Meski rasa tidak percaya diri sempat singgah, sejenak kemudian aku menuruti panggilannya. Aku mendekati beliau yang sekarang sudah berdiri tepat di dekat meja guru.

“Kamu mau ya mewakili sekolah untuk ikut olimpiade matematika? Pelaksanaannya tinggal tiga minggu lagi. Jadi kita harus latihan intensif. Siang ini juga kita bisa mulai latihan. Kamu sudah saya mintakan ijin sama wali kelasmu untuk tiga minggu ke depan kamu tidak bisa mengikuti semua pelajaran di kelas, karena kamu akan lebih sering bertemu dengan saya untuk kepentingan tersebut. Untuk semua ketertinggalan nanti mereka juga siap membantumu.” Ucapan Pak Rasyid terdengar tanpa jeda dan spasi, seolah tak memberiku kesempatan untuk menolak tawarannya.

“Hah? Saya Pak? Nggak salah? Kenapa nggak Yuyun saja Pak? Dia kan ketua OSIS.” Aku yang bingung harus ngomong apa malah gelagapan menyanggah dengan jawaban yang sama sekali nggak ada kaitannya dengan penolakkanku.

“Udah nggak usah ngeles, orang saya maunya kamu yang ikut kok. Saya memilih kamu karena kamu terbukti mampu dalam pelajaran matematika. Terbukti kamu adalah siswa tercepat dalam mengerjakan soal ulangan dengan nilai yang sangat mengagumkan.” Tanpa punya alasan lagi untuk menolaknya, aku pun mengiyakan permintaan Pak Rasyid.

**********

Bimbingan intensif dimulai tepat pukul sepuluh. Aku terkejut saat mengetahui bahwa mbak Airin juga ikut mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade tingkat propinsi yang tentunya cukup bergengsi. Ya, antara senang dan kaget aku mencoba berdamai dengan hatiku agar tak terlalu kelihatan canggung. Ya, bagaimana pun juga ini adalah kali pertama aku akan mengikuti event penting di tingkat propinsi. Sebab waktu SD, paling tinggi aku hanya ikut lomba sampai tingkat kabupaten saja. Yang itu pun cuma satu kali.

Meski keinginanku untuk mengenal kepribadian mbak Airin secara lebih dekat teramat besar, namun perbedaan keyakinan membuatku tidak cukup nyaman setiap hari harus bersama dengannya. Apalagi ketika aku menceritakan perihal kedekatanku dengan mbak Airin kepada orang tuaku, mereka melarangku dekat-dekat dengannya, karena mereka khawatir aku akan menjadi murtad. Terlebih jika mereka mendengar kabar mengenai misionaris yang dewasa ini marak terjadi di seluruh penjuru dunia.
Mendengar ucapan Ibu, sebenarnya aku merasa tuduhan itu tidak layak ditujukan terhadap mbak Airin, karena sungguh pun tak kudapati adanya kejanggalan dari sikap mbak Airin. Toh aku dekat dengannya juga karena harus mengikuti bimbingan bersama Pak Rasyid. Bukan karena kedekatan yang disengaja.

Waktu terus berlalu, aku dan mbak Airin semakin sering bertemu untuk mendiskusikan soal-soal matematika untuk persiapan olimpiade, bahkan di luar jadwal bimbingan pun kami sering mengadakan pertemuan sendiri dengan tujuan kita bisa saling bertukar ilmu. Hingga pada suatu kesempatan, saat Pak Rasyid berhalangan hadir, kami belajar bersama di ruang perpustakaan. Jarum jam menunjukkan pukul dua belas siang. Adzan dhuhur berkumandang, menghiasi seluruh penjuru SMP Negeri 2 Purwokerto tepat ketika kami sedang asyik-asyiknya mengerjakan soal. Aku dibingunkan dengan dua pilihan, antara tetap di perpustakaan bersama mbak Airin karena nggak enak atau memilih meminta ijin untuk menunaikan shalat sebentar.

“Mey, kamu shalat dulu gih sana. Udah adzan dari tadi tuh!!!” Ucapan mbak Airin membuatku terperanjat dalam diam. Dia, yang non muslim justru mengetahui kewajibanku yang terkadang aku sendiri sebagai umat muslim masih sering mengabaikannya. Aku merasa sangat berdosa karenanya. Apalagi selama ini aku mempunyai pandangan picik terhadap penganut agama lain, menganggap bahwa hanya Islam lah agama yang paling baik serta membatasi sosialisasi dengan penganut agama selain Islam.

Ya, setidaknya ucapan mbak Airin telah memberikan pengaruh besar terhadap pandanganku dalam menyikapi kerukunan umat beragama yang ada di Indonesia. Selama ini aku menghindari teman dari kalangan non-muslim karena menganggap bahwa mereka itu tidak baik untuk digauli, dan akan mengakibatkan dampak negatif bagi kehidupanku. Padahal tidak begitu adanya, mbak Airin menunjukkan meski pun dia non-muslim, tapi solidaritasnya terhadap agama lain begitu nyata.

“Oh iya mbak, aku shalat dulu yah? Mbak nggak papa kan aku tinggal?” Dengan penuh keyakinan karena telah mendapat ijin dari mbak Airin, aku mohon diri untuk sejenak menunaikan kewajibanku sebagai umat muslim.

“Iya nggak papa. Kamu yang khusyuk aja shalatnya, jangan terburu-buru. Tuhan itu lebih penting daripada masalah duniawi.” Subhanallah, ucapan mbak Airin benar-benar membuatku merasa kerdil di hadapan Allah, Tuhanku. Betapa selama ini aku hanya mengerjakan shalat sekedar menggugurkan kewajiban sebagai umat Islam. Tanpa pernah mempraktekan kata khusyuk itu secara nyata. Ucapan mbak Airin menyadarkanku akan makna pentingnya sebuah kekhusyukan dalam beribadah.

Allahuakbar, kuagungkan nama-Mu dalam setiap denyut nadi, desah nafas serta dalam setiap aliran darah yang menyuplai nutrisi ke tubuhku. Ampunkan jika selama ini hamba telah berpandangan salah terhadap umat agama lain ya Allah. Aku tahu bahwa Islam memang satu-satunya agama yang Engkau ridhai. Namun tak semestinya aku fanatik terhadap penganut agama lain. Karena sesungguhnya Engkau pun tak menginginkan perpecahan di muka bumi ini. Sungguh aku malu terhadap keegoisanku menganggap agama lain itu buruk. Apalagi selama ini aku pun berpandangan negatif terhadap mbak Airin yang sama sekali bukan merupakan ciri dari umat muslim.
Mbak Airin, sosok yang sangat toleransi terhadap sesama, bahkan terhadap sesama yang berbeda keyakinan sekali pun telah mengajarkanku tentang makna sebuah kerukunan terhadap umat agama lain. Bukan hanya saat waktu shalat dia mengingatkanku untuk ibadah, namun di waktu-waktu lainnya, seperti ketika dia mengetahui aku sedang berpuasa pun dia mengurungkan niat untuk makan di depanku. Melainkan dia lebih memilih berdiam diri bersamaku berlatih soal-soal olimpiade. Itulah pengalaman sekaligus pelajaran berharga yang kudapat selama tiga minggu kujalani kebersamaan dalam bimbingan intensif persiapan olimpiade bersama mbak Airin, yang menganut agama Nasrani.

Sikap mbak Atin yang sangat toleransi terhadapku mampu mengubah pandangan picikku selama ini. Pandangan negatif terhadap umat non-muslim yang selama ini menjejali ruang otakku telah kuhapus tanpa bekas.

Di akhir tulisan, aku menyimpulkan bahwa apa pun agama yang kita yakini, tidak sepantasnya kita menjudge agama lain itu buruk atau semacamnya. Apalagi sampai menjauhi dan memusuhi orang yang tidak seagama dengan kita. Sebagai makhluk yang memiliki Tuhan, selayaknya kita menghargai agama apa apun dimana pun kita berada. Apalagi sebagai warga negara Indonesia yang penduduknya menganut beragam agama dan keyakinan, dari suku dan budaya yang beragam pula, sikap saling menghargai dan toleransi itu mutlak diperlukan demi tercapainya sebuah kerukunan umat beragama agar tidak terjadi permusuhan dan peperangan yang justru akan merugikan kedua belah pihak. Intinya, kerukunan itu sangat penting demi tercapainya kehidupan yang aman dan sejahtera. [ ]

*******THE END*******

Purwokerto, 17 Maret 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011