What? Ternyata Dia...



Orin mengucek matanya. Rasa lelah dan kantuk yang menggelayuti harus ia singkirkan jauh-jauh. Hari ini ia ada rapat bersama teman-temannya yang tergabung dalam KPA (Komunitas Pecinta Alam) di sekolahnya, SMA Nusa Bangsa. Rapat untuk membahas kegiatan bakti sosial membantu korban banjir yang akan dilaksanakan minggu depan. Dan yang paling penting, hari ini ia bisa bertemu dengan Arwan, cowok yang selama ini ia taksir.

Sebelum berangkat, Orin menyalakan televisi, tepat saat ada berita tentang banjir yang menelan puluhan korban. Hal tersebut membuatnya sadar, bahwa tak seharusnya ia mengeluh hanya karena apa yang ia inginkan belum terwujud. Harusnya ia bersyukur masih lebih beruntung dari para korban banjir yang belakangan ini sedang marak terjadi hampir di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Di lokasi pengungsian, mereka tidur sekadarnya, dengan jatah air bersih dan makanan yang terbatas. Bahkan, sebagian lainnya ada yang belum terjamah bantuan. Hiks. Sepagi ini, Orin malah jadi melankolis sendiri.
-oOo-

“Eh, Orin dateng. Yang lain mana nih? Eike dari tadi sendirian di sini.” Cowok alay bernama Ciauniy sudah berdiri di pintu markas. Meski badannya kerempeng, tapi dia tipe cowok yang doyan ngemil. Cemilan favoritnya adalah kuaci, karena menurutnya kuaci nggak bikin gemuk dan lama habisnya. Jadi selain bisa menjaga badannya agar tetap ideal, dia juga bisa lebih hemat.
“Nggak tau. Gue berangkat sendirian.” Orin menyahut jutek. Sejak perdebatannya mengenai desain jaket buat anggota KPA beberapa waktu lalu, Orin jadi alergi kalau harus bicara dengan Ciauniy. Karena dari keseluruhan anggota KPA, hanya Ciauniy yang nggak setuju dengan desain Orin. Padahal Ciauniy tahu apa coba? Jelas-jelas Orin lebih tahu tentang desain, karena dia banyak belajar dari Mamat, abangnya yang kuliah desain.
“Kanthi nanti dateng kan, Rin? Kemaren eike nitip kuaci sama dia. Katanya lebih murah.” Pertanyaan Ciauniy membuat Orin tambah sebal.
“Auk. Emang gue babby sitternya.” Orin masuk ke markas KPA, meletakkan tas ransel dan kamera Nikonnya di meja. Proposal yang kemarin sudah disetujui kepala sekolah sudah ia gandakan untuk nanti dibahas bersama.
Orin lalu melihat-lihat foto di kameranya. Foto saat anggota KPA melakukan gerakan menanam seribu pohon sebulan lalu. Senyumnya tersungging saat mendapati fotonya yang sedang tertawa lebar dengan Arwan, ketua KPA yang merupakan kakak kelasnya. Ia jatuh hati pada cowok berkacamata itu karena pembawaannya yang kalem dan enak dijadikan teman ngobrol.
Dengan senyum tersungging di bibir, Orin memandang keluar ruangan. Bunga yang bermekaran berwarna-warni tampak menghiasi halaman markas. Kebetulan markas KPA berada di ujung, dengan teras menghadap langsung ke taman yang ditanami bermacam tanaman hias.
“Hai Rin. Baru sendirian? Lo emang paling rajin ya ketimbang anggota lain. Dari awal, gue udah yakin nantinya lo bisa diandalkan untuk kelangsungan KPA di sekolah kita.” Aha. Ternyata Arwan datang. Ia mengenakan kaos berkerah warna abu-abu. Terkesan macho di mata Orin.
“Eh, Kak Arwan. Nggak kok. Tadi yang dateng duluan Ciauniy. Nggak tahu sekarang ke mana orangnya.” Orin menjawab malu-malu. Pipinya mendadak bersemu merah.
“Oh iya, dia kan yang pegang kunci markas. Kalau sampai telat, bisa gue cincang itu anak.” Arwan sudah ikutan duduk di depan Orin, membuat Orin semakin salah tingkah.
“He to the low, helow. Eike denger ada yang lagi ngomongin eike ye.” Ciauniy tiba-tiba muncul dengan keresek putih di tangan. Di belakangnya Kanthi mengikuti. Ooo, pasti kuaci. Orin menebak dalam hati.
“Kalian lagi ngomongin apa, sih? Tadi eike denger kalian nyebut-nyebut nama eike.” Ciauniy ikut-ikutan duduk, tepat di samping Orin pula.
“Nyebut nama lo? Salah denger kali.” Orin bersungut-sungut. Anggota KPA sudah mulai berdatangan memenuhi markas. Sebagai sekretaris KPA, Orin mulai sibuk mengabsen satu persatu anggota yang datang sebelum rapat dimulai. Ada Nabila, Agus, Putri, Eko, Aris, Dita, Ferry dan yang lainnya. Sementara Mukhlis, anggota yang berbadan bongsor belum juga kelihatan batang hidungnya. Rapat pun terpaksa dimulai tanpa Mukhlis.
“Maap bro en sista. Tadi sepeda aye remnya blong dan aye nyusruk ke empang. Makanya terpaksa aye pulang lagi buat ganti baju. Jadilah aye ke sini naik angkot karena stang sepeda aye patah.” Anggota lain yang sudah duduk di kursi masing-masing, dengan kopian proposal di tangan tertegun dengan mulut menganga. Semua mata tertuju pada Mukhlis yang berdiri di pintu dengan keringat membanjiri mukanya. Beberapa detik lamanya mereka bertahan dengan mulut menganga, sebelum akhirnya menyadari dan langsung berkata dengan serempak.
“Mukhliiis, buruan duduk. Rapat sudah kita mulai dari tadi.” Diteriaki demikian, Mukhlis langsung duduk di kursi kosong yang tersisa.
“Ehm, boleh usul nggak?” Kanthi bertanya di tengah diskusi. Meski pendiam dan badannya paling mungil diantara semuanya, tapi Kanthi adalah cewek cerdas dengan banyak ide cemerlang.
“Ya, silakan.” Arwan memberi kesempatan untuk Kanthi menyampaikan pendapat. Dari tempat duduknya, Orin memandang kagum pada pembawaan Arwan yang berwibawa.
“Pihak sekolah kan udah setuju dengan proposal yang kita ajukan dan mau mendanai kegiatan bakti sosial membantu korban banjir yang akan kita laksanakan. Gimana kalau kita cari tambahan dana? Semakin banyak yang kita sumbangin, kan semakin bagus.” Kanthi mengedarkan pandangan ke semua teman-temannya meminta persetujuan.
“Yap. Gue setuju. Nanti kita galang dana di Monas aja. Tapi mencar ya, jadi empat kelompok. Gimana? Hari ini masih panjang nih waktunya. Kita bisa seharian di sana.” Orin menyetujui usulan Kanthi. “Oh iya, kebetulan gue udah bikin posternya nih. Teman-teman barangkali mau lihat dulu sebelum diprint. Gue juga bikin versi simplenya, seukuran A4. Nanti bisa diprint trus ditempelin ke kardus buat kita menggalang dana, biar lebih menarik dan banyak yang nyumbang.”
“Ahaaa, Orin selalu kereeen. Tahu aja kalau kita bakalan butuh itu.” Kanthi semakin girang mendengar ucapan Orin.
Rapat pun akhirnya usai. Keduapuluh anggota KPA langsung menuju Monas dengan naik Bus TransJakarta. Beruntung di hari minggu ini, jalanan tidak terlalu macet. Sehingga mereka hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit untuk tiba di Monas.
-oOo-

Kegiatan menggalang dana yang dilakukan Orin dan kawan-kawan berlangsung sukses. Membuat semuanya mendesah lega dengan hasil kerja keras mereka. Pak Sanusi sebagai guru pembimbing di kepengurusan KPA merasa sangat bangga dengan kerja keras anak didiknya.
Gerakan bersepeda ke sekolah setiap hari atas gagasan mereka pun mulai ditiru oleh hampir semua guru dan murid-murid SMA Nusa Bangsa. Awalnya banyak yang keberatan, karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk tiba di sekolah. Akan tetapi, setelah dua bulan lebih mereka menyerukan gerakan tersebut, perlahan banyak yang mulai meniru kebiasaan mereka. Selain sekalian olahraga dan menghemat BBM (Bahan Bakar Minyak), penggunaan sepeda juga bisa mengurangi polusi Jakarta yang udaranya sudah semakin tercemar.
-oOo-

“Ciauniy, jangan buang sampah sembarangan. Tuh di sana ada tempat sampah.” Nabila yang sedang membereskan barang-barang yang akan mereka bawa untuk disumbangkan pada korban banjir di daerah Green Garden mendapati Ciauniy membuang bungkus permen sembarangan.
“Ye, ini cuma bungkus permen kali. Nggak banyak pengaruhnya.” Ciauniy cuek mendengar teguran Nabila. Ia tetap ikut mengepak barang-barang yang akan dibawa.
“Eh, kalau semua orang berpikiran seperti lo, kacau deh dunia. Jaman SD nggak pernah denger apa peribahasa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit?” Sambil mengikat kardus berisi baju bekas dan selimut yang masih layak pakai, Nabila dengan sabar menjelaskan pada Ciauniy.
“Tau tuh. Ciauniy kan otaknya emang kotor. Jadi gaya hidupnya juga jorok.” Orin muncul bersama Mamat, abangnya. Ia sengaja minta tolong Mamat buat jadi seksi dokumentasi dadakan pas acara bakti sosial nanti. Buat ukuran anak SMA seperti Orin, Mamat adalah fotografer professional. Di luar Mamat bahkan sudah sering mendapat undangan untuk memotret acara pernikahan.
“Apaan sih jeng Orin ikut-ikutan aja. Lo tuh yang jorok.” Ciauniy tidak terima dengan olokan Orin, hingga ia pun membalasnya sambil bersungut-sungut.
“Lo tuh….”
“Halooo. Jreng jreng jreng. Gue dateng. Ada yang kangen gue, nggak?” Kanthi muncul menenteng keresek berukuran sedang. Membuat Orin urung melanjutkan kalimatnya. Kalau saja Kanthi tidak datang, mungkin perangnya dengan Ciauniy akan terus berlanjut.
“Lo bawa apaan tuh, Kanthi? Makanan, ya?” Ciauniy berdiri menghampiri Kanthi.
“Iya nih, gue bawa onde-onde banyak. Tadi ibu sengaja bikinin, katanya bisa buat sarapan.” Kanthi mengangsurkan kereseknya. “Tapi jangan dihabisin, Niy. Buat yang lain juga nanti.”
Lima belas menit kemudian, semua anggota KPA sudah berkumpul di markas. Pak Sanusi kali ini bakalan ikut mendampingi, ditemani juga oleh bu Astuti dan pak Ridwan. Truk yang bakalan digunakan untuk mengangkut barang-barang sudah terparkir di halaman sekolah. Truk tersebut merupakan truk pak Ridwan, yang kebetulan punya usaha toko besi di rumahnya. Nantinya mereka juga akan ikut naik ke truk tersebut untuk menuju lokasi tempat mereka akan mengadakan bakti sosial.
“Rin, sini deh.” Setengah berbisik, Kanthi menarik tangan Orin keluar markas. “Abang lo makin ganteng aja yah.”
“Hahaha. Abang gue yang paling jelek gitu lo bilang ganteng?”
“Ssstt, jangan kenceng-kenceng. Nggak enak gue. Tapi serius, abang lo keren abis. Mau gue kalo jadi pacarnya.” Kanthi kedip-kedip.
“Aku, Aku juga mau kok Kanthi jadi pacar kamu.” Mamat yang nggak sengaja mendengar langsung memberanikan diri mengungkapkan perasaannya yang ia pendam selama ini. Ini sebuah kebetulan yang manis. Sebab, semenjak Orin mengenalkan mereka berdua, Mamat merasa kalau Kanthi itu spesial di matanya.
“Oops.” Kanthi menunduk malu, tapi hatinya sungguh senang bukan kepalang.
“Aku, aku cinta kamu, Kanthi. Maukah kamu jadi pacarku?” Mamat memegang kedua tangan Kanthi, sementara Kanthi mengangguk malu-malu.
“Cie cie.” Orin mengedipkan mata sambil berlalu meninggalkan mereka. Ia mau menemui Arwan. Tadi pagi, Orin membuat burger spesial yang akan dia kasih buat Arwan. Matanya mencari-cari sosok Arwan tapi tidak kunjung ketemu. Ia akhirnya keluar, berjalan ke ruang TU. Barangkalli Arwan di sana sedang menemui Pak Sanusi.
Saat kakinya melintasi toilet cowok, langkah Orin terhenti. Ia melihat sosok Arwan sedang berhadap-hadapan dengan seseorang di depan toilet. Pemandangan itu membuat hatinya sakit luar biasa. Mereka terlihat mesra, seperti sepasang kekasih. Hatinya syock, benar-benar tidak pernah menduganya. Seseorang itu adalah Mukhlis, si bongsor yang suka lebay.
“Lo ngapain di sini, Rin? Kita disuruh siap-siap. Sebentar lagi kita akan meluncur ke lokasi. Yuk cin kumpul di depan.” Ciauniy kayak jelangkung, tanpa diundang tiba-tiba sudah berada di samping Orin. “Eh, itu apaan di tangan lo?”
“Nih buat lo semua. Sama kotak makannya sekalian lo makan.” Orin mengangsurkan burgernya ke Ciauniy dan langsung pergi meninggalkannya. Ciauniy bengong melihat Orin yang mendadak bertingkah ajaib.
“Tumben tuh orang baik sama eike. Kesambet jin pohon duku kali, ya? Bodo amat ah.” Ciauniy melenggang sambil melahap burger buatan Orin. Sementara Orin, dengan hati yang hancur berkeping-keping menggabungkan diri dengan anggota KPA lainnya yang sudah siap-siap di halaman depan. Ia berusaha menegarkan diri. Jauh lebih baik dia mengetahui semuanya sekarang, sebelum ia terlanjur malu menyatakan perasaannya pada Arwan. Karena ternyata, ia jatuh cinta pada orang yang salah. Sudut matanya menangkap Mamat dan Kanthi sudah mulai akrab. Ia mengulum senyum, di sela rasa pahitnya, ada kebahagiaan melihat abang dan sahabatnya bisa bersatu.[ ]

Komentar

Posting Komentar

Coment please...

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011