Selaksa Maaf dalam Senja (Majalah ReadZone Edisi 2/ Tahun I/ 2014/ Maret-April, halaman 7)



Di atas gundukan tanah merah yang masih basah, airmataku mengalir tanpa henti. Bersaing dengan derasnya hujan yang sudah sejak sejam lalu aku berada di sini turun mengguyur bumi. Namun rasa-rasanya, airmataku jauh lebih deras dari air hujan yang sedang turun. Kepalaku  terasa hendak pecah. Potongan demi potongan masalalu itu terus berputar, menampilkan film tentang hidupku, tentang segala yang pernah kuperbuat.
Namaku Narandra Syailendra. Biasa dipanggil Andra. Aku lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang serba berkecukupan. Ibuku seorang dosen, dan Ayahku seorang TNI-AU. Sayangnya, saat usiaku dua tahun, Ayah harus pergi untuk selama-lamanya dalam sebuah kecelakaan.

Saat usiaku lima tahun, Ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang duda yang juga berprofesi sebagai dosen, dan lahirlah seorang anak perempuan yang tumbuh menjadi gadis cantik, namanya Arleta.
Usai lulus SD, Ibu menyekolahkanku di sekolah bertaraf Internasional di luar kota yang jauh dari kampung halamanku. Di situlah awal dunia bebasku. Dunia bebas yang justru menghancurkanku.
“Ndra, kamu dapat salam dari Esha,” Rion menyikut lenganku saat pelajaran Bahasa Inggris tengah berlangsung. “Gila ya, kembang sekolah sekaliber Esha bisa ngejar-ngejar seorang Andra, dan rela mutusin cowoknya,” hah. Aku surprise banget mendengar penuturan Rion, teman sebangkuku itu. Hal tersebut membuatku merasa menjadi orang paling ganteng sejagad raya. Ketampananku itulah yang membuatku seenak hati memutuskan cewek yang menjadi pacarku apabila aku menyukai cewek lain.
“Esha, aku mau kita putus,” aku berkata tegas di hadapan Esha setelah beberapa bulan pacaran.
“Tapi kenapa, Ndra?” matanya terlihat berkaca-kaca.
“Aku jatuh cinta sama Wenny,” aku berkata terus terang, sengaja biar Esha mengetahui semuanya sekarang. Mungkin memang menyakitkan, karena Wenny yang adik kelasku itu sepupuan sama Esha.
***
Akibat kemalasanku, selama dua kali berturut-turut ujian try out di penghujung tahun ketigaku, aku nggak lulus di mata pelajaran matematika. Ibu menjadi orang yang paling sibuk, bolak balik mencarikan guru les privat buatku yang tak satu pun membuahkan hasil.
“Andra, apa sih kesulitanmu? Sampai-sampai nilai Matematikamu selalu jelek?” aku hanya menunduk selama ibu berbicara, tanpa berani memotongnya.
“Maafkan Andra, Bu. Tapi guru-guru les itu tak satu pun yang membuat aku nyaman untuk belajar. Mungkin lebih nyaman kalau belajar bareng teman yang sebaya gitu, biar mudah mencernanya,” aku mencoba mencari alasan.
“Siapa temanmu yang pintar matematika? Biar ibu mintakan ijin supaya dia mau belajar denganmu. Ujian Nasional kan tinggal tiga bulan lagi,” tuing-tuing. Aku langsung teringat Fathya, cewek berjilbab yang selain cantik juga pintar. Dia selalu menduduki rangking satu paralel.
“Fath, aku kok rasanya ragu ya buat lulus di ujian matematika. Otakku kayaknya benar-benar bebal untuk urusan matematika,” pada suatu kesempatan, aku bertanya pada Fathya.
“Allah pasti memberikan jalan. Jangankan sekedar memberi jalan untuk urusan kecil, Dia bahkan akan mengampuni setiap kesalahan hamba-Nya asalkan mau bertobat. Kamu nggak perlu pesimis, masih ada kesempatan tiga bulan buat belajar, kan? Nanti aku bakalan bantuin kamu cara mengerjakan soal Matematika dengan rumus cepat,” Fathya mengangkat dagunya, wajahnya yang anggun tampak mempesona. Dan rasa-rasanya, aku mulai jatuh cinta padanya.
***
Pagi ini langit tampak cerah. Secerah hatiku yang sedang jatuh cinta.
“Kak Andra? Kakak lagi fokus buat persiapan ujian, ya? Ya sudah, semoga Kak Andra bisa lulus dengan nilai memuaskan,” itu SMS dari Wenny. Aku baru teringat, kalau selama tiga bulan terakhir, aku selalu menghindarinya.
“Amin. Makasih, ya,” aku membalasnya dengan malas-malasan.
“Cuma gitu doang? Kak Andra nggak kangen sama Wenny?” duh tuh cewek, bikin moodku ilang aja.
“Maaf Wen, kayaknya aku udah nggak bisa seperti dulu lagi. Aku mau kita putus. Maaf,” akhirnya kalimat itu yang kuputuskan sebagai balasan. Setelahnya, Wenny tak membalasnya lagi. Ya sudah, aku nggak mau ambil pusing. Ada rencana yang lebih penting ketimbang ngurusin SMS Wenny. Hari ini, aku berniat untuk menembak Fathya.
***
 “Hari ini kamu cantik banget, Fath,” ucapku sedikit gerogi begitu bertemu Fathya untuk belajar bareng seperti biasanya. Ekor mataku tak henti memperhatikan setiap gerak-gerik Fathya.
“Berarti selama ini aku jelek, ya?” Fathya nyengir, sambil menggelar tikar di bawah pohon rindang. Aku memutuskan mengajaknya belajar di taman biar ada suasana lain dan tentunya lebih romantis.
“Fathya, sebenernya ada hal penting yang pengin aku omongin,” aku berusaha melawan rasa gerogi yang menyelimuti.
“Ya ampuun, Ndra. Tinggal ngomong aja,” lagi-lagi Fathya tertawa renyah. Menanggapinya dengan santai. Baginya, hidup ini seolah tanpa beban. Dia selalu rileks dalam menjalani hidup.
“Aku, aku suka sama kamu, Fath. Aku pengin kamu jadi pacarku,” aku menunduk. Menahan gejolak rasa yang membuncah dalam dada. Usai aku berkata demikian, Fathya terdiam. Reaksinya sama sekali berbeda dengan cewek-cewek yang pernah kupacari sebelumnya.
“Maaf Ndra,” Fathya menghela nafas panjang. “Sebenarnya bukan aku tak menyukaimu. Mohon jangan salah paham. Aku menyukaimu, sungguh. Tapi hanya sebagai teman. Untuk pacaran? Aku rasa masih terlalu kecil, Ndra. Dan bukankah dalam Islam tidak diperbolehkan adanya pacaran? Apalagi bagi generasi seperti kita ini. Masa depan kita masih panjang. Banyak hal yang harus kita persiapkan untuk kelak kemudian hari,”
Sungguh, jawaban Fathya membuatku syock. Terasa bagai penghinaan besar buatku. Dia pikir, dia siapa? Berani-beraninya ceramah di depanku. Dan rasa sukaku ini sungguh berubah menjadi benci yang mendalam. Sejak saat itu, aku pun memutuskan kontak dengannya. Tak peduli lagi dengan belajar bareng yang sudah menjadi perjanjian antara aku, ibu dan Fathya.
***
Ujian Nasional sudah lewat. Di sekolah pun sudah tidak ada lagi kegiatan belajar. Maka setiap hari kerjaanku hanya nongkrong, main gitar di teras rumah, atau sekedar main play station di kamar kosan bersama teman-temanku.
“Ciecie. Kayaknya bakalan ada CLBK yang tumbuh subur nih,” saat keluar dari kamar mandi, Dennis menggodaku, ditimpali gelak tawa dari teman-temanku yang lain. Begitu melihat hapeku ada di tangan Fridan, aku langsung merebutnya.
“Hai Ndra, apa kabar? Maaf ya mengganggu. Aku juga minta maaf, kalau selama ini pernah punya salah,” argggh. Ternyata Fathya yang SMS. Mengapa tuh cewek pakai muncul lagi sih? Nggak puas apa sudah membuatku kecewa? Bahkan hingga dua bulan, aku masih menjomblo. Memecahkan rekor seorang Andra yang nggak pernah tahan sehari pun tanpa pacar.
“Ok,” hanya dua huruf itu yang kugunakan untuk membalas SMS-nya.
“Oh iya, aku cuma mau ngucapin selamat, karena kamu lulus dengan nilai cukup bagus. Nilai matematikamu tujuh koma tiga,” membaca balasan Fathya, aku langsung belingsatan merebut mouse dari tangan Harun yang sedang main game online. Fathya benar, meski bagi dia mungkin nilaiku pas-pasan, tapi bagiku nilaiku sungguh fantastis.
Ya ampun, kenapa malah jadi Fathya yang peduli dengan kelulusanku? Aku saja lupa, kalau hari ini pengumuman kelulusan diumumkan secara online. Tapi aku gengsi, aku nggak bakalan berterimakasih atas jasa Fathya memberitahu info ini. Juga jasanya yang sudah pernah mengajariku cara-cara singkat dalam mengerjakan soal matematika. Karena jujur, cara yang diajarkan Fathya sebenarnya banyak aku pakai. Tapi nggak mungkin aku menjilat ludahku sendiri. Aku sudah memutuskan untuk membencinya.
***
 Hujan masih terus mengguyur, membuat tubuh kuyupku semakin menggigil. Petir terdengar menggelegar, bersahutan.Tapi aku sungguh tak peduli. Aku sungguh menyesal. Ini semua salahku. Akulah yang telah menghancurkan semuanya. Aku yang membuat semuanya berantakan. Bayangan wajah bersahaja Ibu terus saja menghantuiku. Wajah lelahnya setiap kali aku sakit, senyum tulusnya saat aku meminta do’a, juga nasihat-nasihatnya yang aku dengar, namun tak pernah kujalankan.
“Kita jual saja tanah yang di Lembang, Bu. Buat nambahin biaya uang pangkal Andra masuk kuliah,” itu ucapan ayah pada ibu, saat membicarakan uang pangkal yang harus dibayarkan untukku bisa masuk kuliah kedokteran. Jurusan yang sebenarnya terlalu dipaksakan melihat nilaiku yang hanya pas-pasan.
“Ayah yakin?” ibu menatap mata ayah, mencari kesungguhan dari ucapan lelaki yang teramat dicintainya itu.
“Yakin, Bu. Itu kan untuk masa depan anak kita,” ayah kembali menambahkan. Membuatku merasa sangat beruntung hidup di tengah keluarga yang serba berkecukupan. Maka, tiga bulan kemudian aku resmi menjadi mahasiswa kedokteran di salah satu Universitas swasta di Jakarta.
Hidup di Jakarta, teman baruku bertambah. Yang juga membuat pergaulanku bertambah liar. Aku kembali dengan kehidupan lamaku, mengejar cewek yang kusuka, dan meninggalkannya begitu saja jika ada cewek lain yang kuinginkan. Bagiku, gonta-ganti pacar memberikan sensasi yang luar biasa. Akibat pergaulanku tesebut, kuliahku terbengkalai. Dan sebuah telepon dari ibu di suatu siang membuatku syock. Itulah pertama kalinya kudengar ibu menangis dan mengatakan ia kecewa terhadapku.
“Andra. Benarkah selama ini kamu membohongi ibu? Surat teguran dari guru BP saat kamu masih sekolah di Jogja, tak pernah sekali pun kamu sampaikan pada ibu. Lalu sekarang, setelah dengan susah payah ayah mencari uang demi kamu bisa masuk fakultas kedokteran, kamu malah menyia-nyiakannya. Barusan ibu menerima telepon dari kampusmu, memberitahukan bahwa kamu terancam di DO. Sungguh ibu kecewa sama kamu, Ndra. Ibu kecewa,” isaknya terdengar menyayat di telingaku.
“Dasar anak nggak tahu diri. Menyesal saya sudah berkorban untuk bajingan seperti dia. Kalau anakmu tidak berubah, lebih baik kita cerai,” isak tangis ibu terdengar semakin memilukan mendengar cacian ayah yang samar-samar kudengar dari telepon. Ah, sialan lelaki itu sudah membuat ibuku menangis. Kebencianku pada ayah tiriku memuncak tiba-tiba. Apalagi seminggu kemudian aku mendapati kabar dari adikku bahwa ibu jatuh sakit. Ini pasti salah ayah tiriku yang dengan tega membentak ibuku, membuatnya sakit hati dan tertekan.
***
Brak. Cangkir yang sedang kupegang lepas dari genggaman. Pecah berkeping-keping di atas lantai. Tidak. Aku masih tidak percaya dengan berita yang baru saja kubaca dari seorang tetanggaku di Bandung. Hatiku berantakan. Semua berita ini sangat menyakitkan dan membuat pikiranku kalang kabut.
Begitu tiba di rumah, aku langsung menyeruak diantara kerumunan orang berpakaian serba hitam.
“Nak Andra, yang tabah ya. Jenazahnya baru saja dikebumikan. Soalnya tadi mendung, takut keburu hujan,” salah seorang pemuka agama yang masih kerabatku menepuk pundakku. Dengan mengendarai motor, aku pun segera melaju ke pemakaman.
“Maafin kak Andra, Arleta sayang. Maafin. Ini sungguh salah kakak. Selama ini, dengan pongahnya kakak sering menyakiti cewek. Kakak tidak pernah berpikir bahwa kamu yang akan menanggung karma dari perbuatan yang kakak lakukan. Yang membuatmu memutuskan untuk bunuh diri setelah seorang cowok merenggut kebahagiaanmu, menghancurkan masa depanmu,” aku tergugu. Masih menangis sesenggukan diantara butiran air hujan yang terus menghujam. “Aku malu untuk bertemu ibu. Aku sudah banyak berbuat dosa pada ibu, pada ayah. Aku udah mengecewakan semuanya,”
“Memang penyesalan itu selalu datang terlambat. Tapi tidak ada kata terlambat untuk memulai hal baik, kapan pun itu. Kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya, meskipun hal tersebut tidak bisa menghidupkan Arleta kembali. Tapi setidaknya, kamu masih punya kesempatan untuk bertobat. Ada Ibumu yang bisa kaujadikan ladang untuk memperoleh ampunan-Nya. Bahagiakan ia, berbaktilah di sisa hidupnya,” tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakangku. Ada payung yang tanpa sadar menaungiku. Suara itu rasanya tidak asing di telingaku. Suara yang sudah sangat kukenal.
“Fathya?” mataku terbelalak. Kaget.
“Iya, Ndra. Ini aku. Rupanya kamu masih ingat,”
“Bagimana mungkin kamu bisa ada di sini?” suaraku bergetar.
“Itu mudah saja, Ndra. Allah selalu mampu membuat skenario hidup mengejutkan yang tidak terduga,” Fathya tersenyum. Masih seperti dulu. Tapi sepertinya sudah lebih dewasa. Senyumnya semakin manis saja. “Aku kan kuliah di ITB, Ndra. Dan kebetulan, Ibumu mengajar salah satu mata kuliahku. Pas pertama kali bertatap muka di depan kelas semester lalu, aku sempat kaget. Tidak percaya kalau itu Ibumu. Sampai akhirnya kami banyak ngobrol. Aku sering konsultasi dengan beliau tentang pelajaran. Ternyata Ibumu itu sangat menyenangkan. Makanya, berita adikmu bunuh diri membuat kampus gempar,” mendengar penuturan Fathya, airmataku kembali menderas. Sungguh rasa sesal menyeruak begitu saja dalam hati.
“Ya Allah, Fathya. Kamu baik sekali. Tapi, aku takut Ibu nggak mau memaafkanku, Fath. Aku takut,” aku menunduk dalam. Aku malu pada Fathya. Tiba-tiba saja aku merasa sangat hina di hadapannya.
“Seorang ibu itu memiliki pintu maaf yang tak terbatas buat anaknya. Begitu pun ibu kamu. Aku yakin, beliau mau memaafkanmu. Sekarang, ayo kita temui ibumu. Hari sudah hampir senja, masak iya kamu mau menginap di sini?” aku menatap mata Fathya, mencari kebenaran dari sorot matanya. Dan ia mengangguk, dengan senyum manisnya yang khas. Memberikan rasa damai yang teramat menentramkan. “Oh iya, aku ingin menjawab pertanyaanmu dulu, waktu kita masih SMA. Jika kamu masih mau, aku bersedia untuk menjadi pacarmu. Tapi pacar yang dihalalkan oleh Allah. Pacaran yang terikat oleh ikatan suci, yang akan mendatangkan keberkahan,”
“Fathya, pantaskah aku menjadi pendamping hidupmu?” kutatap lekat-lekat mata Fathya. “Aku ini hina, Fath. Banyak dosa. Kamu berhak mendapatkan pendamping yang lebih baik,”
“Kenapa tidak pantas? Kamu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Dan aku akan menerima segala kekurangan maupun kelebihanmu. Namun semua kembali pada diri kamu sendiri. Jika kamu menghendaki, aku siap mendukungnya. Tapi jika kamu memiliki wanita lain yang lebih baik dariku, aku akan selalu mendukung,” lagi-lagi Fathya tersenyum. Memberi ketentraman yang sangat menyejukkan. Aku berjanji akan berubah. Demi kebahagiaan ibu, dan demi mendapat cinta tulus dari Fathya yang semoga menuntunku pada keridhaan Allah.  Fathya, tunggulah aku hingga waktunya tiba. Aku janji takkan mengecewakanmu.
Tidak ada wanita yang lebih baik darimu. Bagiku, kamu adalah yang terbaik. Bisikku dalam hati. Rasa benci yang dulu sempat tumbuh, kini musnah, meluruh bersama air hujan. Sesungguhnya bukanlah Fathya yang salah karena dulu telah menolakku, tapi akulah yang terlalu mengedepankan ego. [ ]
Jakarta, 09 Februari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011