Ternyata, Bahagia pun Menjadi Milikku


Awalnya aku mengenalmu dalam maya, benar-benar tak terjamah raga. Awalnya pula tak ada rasa istimewa, yang kurasa pantas kutujukan padamu. Sebab saat itu, hatiku benar-benar tak mampu menerima kehadiranmu, atau barangkali masih enggan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Yah, sebenarnya bukan enggan. Hanya saja aku masih ragu, apalagi hadirmu tak benar-benar ada dalam nyataku. Bagaimana mungkin dua insan yang tak pernah bertemu bisa bersatu? Apalagi untuk hubungan yang lebih serius? Aku pikir, ini adalah sesuatu yang gila. Sangat tidak bisa diterima logika. Maka, saat pertama kau mengajakku berkenalan, aku hanya menanggapi setengah hati. Tak benar-benar menganggapmu teman. Apalagi teman istimewa. It's so imposible.


Namaku Arendza Palupi. Teman-teman biasa memanggilku Lupi. Entah apa makna di balik namaku, aku sendiri hingga kini tak pernah mengerti. Yang aku tahu, dari akta kelahiran yang sah tercatat bahwa Arendza Palupi adalah nama yang kusandang semenjak aku bayi. Dan satu hal yang kupertanyakan, dalam akta kelahiranku, tak tertera siapa Ayahku. Pernah aku bertanya pada Ibuku, siapa gerangan Ayahku. Namun, berulang kali selalu kudengar jawaban yang sama, "Belum saatnya kamu tahu, Lupi. Suatu saat, kamu akan mengetahuinya, jika waktunya tiba,"

Tak puas mendengar jawaban Ibu, aku berusaha mencari jawaban dari sumber lain. Namun hasilnya tetap saja nihil. Aku tak kunjung mendapatkan jawaban yang kumau. Dengan kekecewaan yang kupendam selama bertahun lamanya, aku pun perlahan melupakan tanya yang memenuhi rongga kepalaku. Aku berusaha acuh untuk tidak mengungkit-ungkit lagi masalah tersebut. Sebab, Ibu pernah berjanji suatu saat ia akan memberitahuku. Setidaknya, meski tanpa kepastian yang absolut, hatiku sedikit lega mendapat jawaban tersebut. Dan nyatanya, hingga Ibu meninggal dua tahun lalu karena penyakit jantung, tak sepatah kata pun kudengar Ibu memberitahu siapa Ayahku. Ah, sudahlah. Aku kini telah melupakan keingintahuanku itu. Yang aku tahu, apa yang dilakukan almarhumah Ibu tentu saja adalah yang terbaik buatku. Karena aku tahu, bahwa Ibu sangat menyayangiku.

Sepeninggal Ibu, aku cenderung menutup diri dari pergaulan. Aku tak memiliki saudara atau sanak keluarga. Maka, dengan peninggalan rumah mungil dari Ibu, aku berusaha mempertahankan hidup. Dengan bekerja sebagai cleaning service pada sebuah hotel di kota tempat tinggalku, di Semarang setiap sore hari setelah pulang sekolah, aku mampu melanjutkan hidup dan membiayai sekolahku sendiri. Hingga akhirnya, aku memperoleh beasiswa penuh untuk melanjutkan S1 di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Negeri yang cukup bergengsi di kotaku, bahkan mungkin di Indonesia.

Di UNNES, aku mengambil jurusan MIPA. Berbekal kerajinan, aku mendapat beasiswa setiap semesternya. Bahkan, waktu aku baru semester tiga, aku telah diterima bekerja di sebuah SMA untuk membimbing kandidat-kandidat yang akan dikirim untuk mengikuti olimpiade tingkat nasional. Ya, meski hidupku tanpa saudara, aku merasa cukup senang dengan kelebihan yang kumiliki. Dengan kelebihan tersebut, seringkali aku juga menjadi perwakilan kampus untuk mengikuti sejumlah kompetisi bergengsi dari tingkat nasional hingga internasional. Saat kau mendengar pengakuanku ini, pasti satu hal yang tersimpan dalam pikiranmu, aku ini hebat, aku ini beruntung dengan prestasi yang kumiliki. Atau mungkin, kau menganggap aku ini bahagia? Semuanya keliru. Aku tak sehebat yang kalian kira. Di balik semua itu, aku adalah gadis lemah yang mudah menangis. Aku merasa hidupku kosong. Hingga, pertanyaan yang sempat tenggelam bersama waktu, membuatku kembali mempertanyakannya. Siapa Ayahku? Aku ingin sekali bertemu dengannya, memeluk erat layaknya anak-anak lain bisa bermanja-manja dengan ayahnya.
***

"Selamat malam,"
Kuacuhkan sapaan dari salah satu teman chattingku yang entah siapa dan asalnya dari mana.
"Hello? Anybody here?"
Sekali lagi obrolan di chatbox itu muncul dari nama yang sama. Merasa bersalah telah mengacuhkannya, jemariku dengan lincah menari di atas tuts keyboard.
"Malam juga. Iya, aku ada. Maaf, tadi kurang memperhatikan, sehingga tidak tahu ada yang menyapa. Sebab, aku tengah mengerjakan tugas kuliahku, jadi tidak terfokus," jawabku diplomatis.
"Oh, lagi belajar? Maaf yah udah ganggu," kutangkap nada bersalah dari kalimatnya yang bergulir di dalam chatbox.
"Hem, tidak apa kok. Hanya tugas ringan, ini sudah kelar. Malah tidak tahu mau ngapain. Mau tidur, masih sore gini. Mau nonton TV lagi males," jawabku begitu saja. Rasanya ada hal aneh yang terjadi padaku. Tidak seperti biasanya aku begitu lepas bercerita pada orang asing seperti ini. Terlebih, orang yang hanya kukenal di dunia maya, dan baru kali ini kami saling bertegur sapa. Entahlah, mungkin hanya karena diriku yang selama ini terlalu introvert. Jangankan sama orang asing, sama sahabat sendiri pun terkadang aku begitu sulit untuk terbuka. Jadi, mestinya aku menganggap ketidakwajaranku ini sebagai anugerah. Kemajuan yang pantas disyukuri.
"Boleh dong kalau aku menemani ngobrol? Lewat chatting tentu saja," jawabnya secepat halilintar.
"Ya, tentu saja dengan senang hati,"
"Perkenalkan, namaku Firman," ia mengawali perkenalannya denganku.
"Panggil saja aku Lipi," jawabku kemudian dengan menyertakan emoticon senyum.
"Nama yang bagus," tambanhnya lagi.

Ah, perkenalanku denganmu tanpa sengaja dan tanpa kukehendaki. Di malam perkenalan itu, begitu banyak obrolan ringan yang kita bahas. Mulai dari sekolah hingga pekerjaan, status serta tempat tinggal. Entah mengapa, aku merasa begitu lapang dan lepas menjadikanmu teman mengobrol. Dan tak sedikit pun ada rasa kikuk merayap dalam diriku. What's happen with you Lupi? Aku bertanya pada diri sendiri. Yang tentu saja, hasilnya adalah aku tak menemukan jawaban atas pertanyaan yang kuciptakan sendiri.
***

Selama kurang lebih tiga bulan lamanya, aku menjadi semakin akrab denganmu dalam obrolan lewat chatting. Namun karena kepadatan aktivitas kuliahku, setelahnya, aku tak lagi intensif berhubungan denganmu. Aku mulai sibuk dengan skripsiku, sehingga aku berhenti total masuk ke akun chatting. Hanya terkadang, aku masih sebentar membukanya hanya untuk sekedar iseng jika pikiran sedang jenuh. Dan kau, tak lagi menyapaku. Mungkin saja kau lupa dengan perkenalan kita. Dan aku pun sengaja untuk tidak menyapamu terlebih dahulu. Obrolan yang selama beberapa waktu menghiasi pertemanan kita aku anggap sebagai angin lalu yang menguap bersama waktu. Semangatku untuk segera menyelesaikan studi membuatku mengesampingkan segala hal di sekitarku, kecuali mengenai pencarian tentang siapa Ayahku. Ah, tapi tetap saja rasa penasaranku hanya kusimpan dalam diam. Mau bertanya pada siapa, aku tak mengerti. Satu hal yang aku lakukan hanya berdo'a, memohon kajaiban Allah yang mungkin suatu saat dapat mempertemukanku dengan Ayahku. Itu saja.
***

"Hey, kamu tampak kedinginan. Pakai ini," aku terkejut mendapati sesosok tubuh tiba-tiba berada di dekatku. Ya, aku memang kedinginan. Sehabis mengikuti seminar di hotel Ibis tadi, hujan deras mengguyur kota semarang. Karena lupa membawa payung, dengan terpaksa aku menerobos hujan karena hari sudah sore. Aku tidak mungkin menunggu hingga hujan reda. Tapi nyatanya, bus yang kutunggu tidak juga lewat. Dengan kardigan ungu muda dan jeans hitam keabu-abuan, aku berteduh di bawah pohon beringin yang tumbuh di tepi jalan.
"Iya, makasih," meski agak ragu aku menerima uluran jaket dari sosok asing tersebut. Ah, persetan dengan rasa malu. Toh aku sekarang benar-benar menggigil.
"By the way mau kemana nih? Kok hujan-hujanan begini?" ucap pria tampan yang kini hanya berjarak sejengkal dari hadapanku.
"Habis ikut training kependidikan di hotel Ibis, mau pulang, tapi belum ada Bus lewat," jawabku jujur. Entah mengapa, untuk kali ini aku dengan begitu mudah berbicara leluasa pada orang asing. Ada perasaan aneh menjalari sekujur perasaanku. Namun, aku sendiri tidak mampu mendefinisikannya.
"Pulangnya ke mana? Bahaya loh cewek malem-malem gini sendirian di jalanan," suara bariton dari pria itu terdengar santai tapi tegas. "Oh iya, kenalkan, namaku Ahmad,"
"Aku Lupi. rumahku di jalan Diponegoro," jawabku tanpa merasa canggung.
"Wah, kebetulan. Bareng aku aja, rumahku juga di Jalan Diponegoro,"
"Hemm.. gimana yah?" jawabku ragu.
"Nggak usah takut. Aku pasti antarkan sampai rumah. Aku bukan orang jahat kok," jawabannya tampak tidak mengandung kebohongan. Ya, meski di jaman sekarang ini banyak sekali orang yang tampaknya baik, namun memiliki tujuan jahat seakan tidak bisa dibedakan, tapi dari cowok yang mengaku bernama Ahmad ini aku menemukan kejujuran serta ketulusan. Dengan mempertimbangkan tawarannya, akhirnya aku menurut untuk menerima bantuannya.
"Ya sudah, aku ikut sama Mas Ahmad,"
"Nah gitu dong. Sebentar ya, kamu tunggu di sini. MObilku diparkir di sana," ia menunjuk ke arah mobilnya diparkir. Jaguar mewah berwarna silver. Agak risih juga ketika tubuhku masuk dan duduk di dalamnya. Orang sepertiku naik mobil mewah bersama seorang pria tampan sepertinya adalah sebuah mimpi yang mustahil jadi kenyataan. Tapi kini, tanpa pernah memimpikannya, aku benar-benar mengalaminya. Ah, ini seperti dongeng saja.

Mobil melaju perlahan, melewati Jalan Gajah Mada, lalu berbelok ke Jalan Simpang Lima. Dari Jalan Gajah Mada hingga Jalan Simpang Lima kami membisu, tak sepatah kata pun terlontar. Hanya terkadang, pandangan kami bertemu tanpa sengaja, lalu detik selanjutnya kami saling tersenyum. Ah, sungguh situasi yang sulit untuk diterjemahkan dengan kata-kata.
"Lupi," Mas Ahmad bicara perlahan, memecah keheningan.
"Iya," aku menoleh, seraya melontar senyum. Ada tanya yang tiba-tiba menyeruak. Ada apa gerangan dengan pria di sebelahku? Dari nada bicaranya, aku menangkap gelagat aneh. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan.
"Dulu, aku pernah memiliki teman namanya Lupi, seperti namamu. Tapi, sekarang aku nggak tahu gimana kabarnya, karena tiba-tiba ia menghilang begitu saja. Aku sangat kehilangan dia,"
"Wah, pasti dia itu sosok yang sangat berarti buat Mas Ahmad, ya?" aku mulai menyesuaikan diri dengan suasana.
"Iya. Teramat sangat berarti malah. Mungkin aku terlalu naif, sebab aku tidak benar-benar mengenalnya,"
"Maksudnya?" aku bertanya kebingungan.
"Iya, aku hanya mengenalnya di dunia maya. Melalui chatting. Karena akun chattingku waktu itu dihackher, aku pun kehilangan jejak, karena saat akunku kembali ia tidak pernah online lagi,"
"Hemm... Kayaknya kok aku merasa aneh ya?"
"Aneh? Kenapa? Apa ada yang salah dari ucapanku?" Mas Ahmad tampak terkejut mendengar ucapanku.
"Engg... nggak kok, Mas. Jadi begini, dulu aku juga punya temen chatting. Namanya Firman. Dulu, aku sempat merasa begitu dekat dengannya layaknya saudara. Namun, karena kesibukanku menyelesaikan skripsi, aku pun berhenti chattingan. Lagipula, beberapa kali tak kulihat Mas Firman menyapaku. Jadi, aku anggap semuanya hanya sebagai sensasi hidup,"
"Subhanallah, itu aku Lupi. Ahmad Firmansyah. Pertama kali aku berkenalan denganmu selepas isya, dan waktu itu salam pertamaku tidak kamu jawab," bola mata Mas Ahmad membesar. Kebahagiaan tampak terpancar dari sorot matanya. Entah mengapa aku pun merasakan kebahagiaan yang teramat sangat. Ibarat pepohonan gersang yang lama mendambakan setitik air, aku merasakan kesejukkan yang luar biasa.
***

Pertemuan pertamaku denganmu berlangsung seperti sebuah keajaiban. Dalam sekejap, hubungan kita menjadi dekat. Komunikasi berlangsung selalu meski kau sibuk dengan pekerjaanmu di Kota Jakarta. Ya, kamu memang memiliki sedikit waktu untuk bertemu denganku. Pekerjaan supervisor di sebuah perusahaan farmasi menyita banyak waktumu, dan aku berusaha memahami itu. Setelah dua bulan pertemuan kita, kau berujar untuk serius menjalin hubungan denganku. Kau hendak melamarku. Aku bahagia? Sejujurnya aku sangat bahagia. Namun, ada hal lain yang membuatku tidak segera mengiyakan perkataanmu. Aku ingin, Ayahku menyaksikan hari bahagiaku. Rasanya sangat tidak enak jika aku menerima pinangan seorang diri, tanpa orangtua, juga saudara. Ya, meski aku tidak memiliki kepastian apakah Ayahku masih hidup ataukah sudah meninggal, tapi rasanya sangat berat untuk melupakan dan menganggap kalau Ayahku sudah tidak ada di dunia.
"Aku tak mengapa, jika harus menunggumu menemukan siapa Ayahmu, sayang. Aku akan setia menunggu, hingga batas waktu yang tak pernah kutahu. Dan selama itu, aku akan berusaha membantumu mencari Ayahmu," dari nada bicaranya, tersirat kesungguhan yang tulus. Aku terharu. Ya, aku merasa sangat beruntung dipertemukasn dengan Mas Ahmad. Dia adalah sosok yang sangat bertanggung jawab, dan menurut pandangan mataku, Mas Ahmad adalah sosok yang sangat tepat untuk dijadikan pendamping hidup.
***

Malam cerah bertabur bintang, aku tengah duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir teh manis. Malma ini tak seperti biasanya. Aku ditemani Mas Ahmad. Kebetulan Mas Ahmad sedang mendapat cuti, jadi ia bisa berkunjung ke tempatku. Aku memang harus memaklumi pekerjaannya yang sangat sibuk. Aku juga memilih untuk tetap bekerja di Kota Semarang setelah lulus ketimbang merantau ke Ibukota. Karena ada rasa berat menggelayut untukku meninggalkan kota kelahiranku sebelum aku menemukan siapa Ayahku.
"Assalamu'alaikum," aku dan Mas Ahmad langsung menoleh mendengar salam yang datang dari pagar halaman.
"Wa'alaikumsalam warahmatullah," kami menjawab serentak.
"Benar ini rumah Ibu Fatimah?" seorang laki-laki paruh baya bersama seorang wanita muda telah berdiri di ambang pintu pagar.
"Iya benar. Ibu Fatimah adalah Ibu saya," aku menjawab seraya menghampiri mereka dan membukakan pintu. Mas Ahmad ikut beranjak mengikutiku. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba menelusup. Siapa orang itu? Kenapa datang malam-malam begini? Dan gadis di sebelahnya, kenapa sepertinya tidak asing buatku? Tapi siapa?
"Jadi, kamu Lupi?" sontak pertanyaan laki-laki itu membuatku kaget.
"Iya. Bapak siapa? Kok bisa kenal dengan Ibu saya?"
"Dimana Ibumu?" laki-laki itu bukannya menjawab pertanyaanku, tetapi balik bertanya, menambah rasa penasaranku. Matanya tampak berlinang, ada embun yang hampir terjatuh.
"Ibu, Ibuku sudah meninggal tiga tahun lalu," dadaku terasa sesak mengingat Ibu.
"Apa? Fatimah telah tiada?" laki-laki itu terjatuh. Tubuhnya melunglai di tanah. Melihat adegan tersebut, aku semakin tak mengerti. Siapa gerangan orang ini? Kenapa ia begitu terpukul mendengar Ibuku telah meninggal?
"Kak Lupi. Aku Lipi, Arendza Livia. Adik kembarmu. Dan ini, Ayah kita jika kamu ingin bertanya," pengakuan gadis yang tingginya tak jauh beda denganku itu membuatku terkejut untuk ke sekian kalinya. Aku baru menyadari, mengapa aku merasa gadis ini tidak asing bagiku. Ternyata, wajahnya memang mirip denganku. Hanya saja, penampilannya yang lebih mewah dan tanpa jilbab membuatku tak menyadari kemiripan itu. Malam itu, adalah jawaban atas pertanyaan yang selama belasan tahun mengisi kepalaku.
Dulu, aku terlahir sebagai anak kembar dari pernikahan siri orangtuaku. Menurut perkataan Ayah, mereka menikah tanpa restu orangtua, hingga lahirlah aku dan Lipi. Karena paksaan orangtua Ayah, akhirnya Ayah dan Ibu terpisah secara paksa. Aku tetap dengan Ibu, dan Lipi ikut dengan Ayah. Perpisahan yang tak dikehendaki. Dan karena pernikahan orangtuaku tidak tercatat pada dokumen negara, akta kelahiranku pun tidak tercantum nama Bapak. Apa pun yang pernah terjadi dalam masa laluku, yang jelas kini aku bahagia. Bisa berkumpul dengan Ayah dan saudara kembarku. Sementara acara lamaran pun dilaksanakan seminggu setelah kembalinya Ayah ke rumah ini, disertai nenekku yang sudah mau mengakui aku sebagai cucunya. Alhamdulillah. Akhirnya, bahagia pun menjadi milikku. Ternyata, sepi tidak selalu menjadi takdir hidupku. Karena kini, segala lara telah menguap bersama awan yang membubung tinggi, menghilang tanpa bekas. Aku yang telah resmi bertunangan dengan Mas Ahmad, siap untuk melangkah ke depan, melanjutkan hubungan yang diridhai Allah.
***

Mas Ahmad, kini kamu tidak sekedar dunia mayaku. Tapi, kau adalah takdir hidupku. Terima kasih atas sabar tak berbatas yang kau tunjukkan dalam menghadapiku yang emosional. Terima kasih atas perjuangan tak berujung yang kau peruntukkan kepadaku. Aku beruntung menjadi bidadari dalam istana hatimu. Aku beruntung menjadi bagian hidupmu. Love you.. [ ]



Jakarta, 09 Maret 2012 @14.43 pm

Komentar

Posting Komentar

Coment please...

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011