Dan Aku pun Merasakannya (Dalam Antologi "Seorang Nenek Di Bawah Pohon Kasturi")


Judul Buku     : Seorang Nenek di Bawah Pohon Kasturi
Penulis            : Rahadyana Muslichah, dkk
Penerbit          : Oase Qalbu
Tahun terbit    : Maret 2012
Tebal               : 263 Halaman
ISBN               : 978-602-19044-2-8
Harga              : Rp. 56.000,-

Dan Aku pun Merasakannya (halaman 101)

Suatu siang pada pertengahan Juni 2011 matahari bersinar dengan teriknya. Membuat mataku rasanya ingin sekali dipejamkan, lalu terlelap ke dalam lautan mimpi yang mampu memberikan damai di hati. Ah, tapi mengingat bahwa aku tengah menjalani tugasku melaksanakan PKP (Praktek Kerja Perusahaan) sebagai salah satu syarat menyeleseaikan pendidikan Diploma 1, aku pun dengan segera menepiskan perasaan tersebut. Bukan hanya alasan ingin cepat lulus semata yang menstimulasi otakku agar tetap semangat menjalankan tugas. Melainkan dalam setiap pekerjaan memang dibutuhkan sebuah tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan.

Akhirnya rasa lelahku terbayar ketika jarum jam menunjuk pukul 14.00. Sebab, itu berarti sebentar lagi waktunya pulang. Aku berniat untuk langsung menuju ke kosan dan kemudian sejenak merebahkan diri sampai waktu ashar menjelang. Begitu semua pekerjaan telah terselesaikan dengan baik, aku pun langsung melangkahkan kaki keluar melewati halaman kantor Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi tempatku melaksanakan PKP.

Tiba-tiba saja langkahku terhenti ketika baru saja kujejakkan kaki melewati batas pintu gerbang. Aku teringat bahwa persediaan uang yang kumiliki hanya tinggal Rp. 45.000,00. Padahal hari ini baru hari Selasa. Memang, jika hanya untuk makan uang segitu cukup untuk sampai hari Sabtu. Akan tetapi, ongkos perjalanan untuk pulang ke rumah saja sudah Rp. 30.000,00 sekali jalan.

Beberapa saat lamanya aku masih terpaku di depan pintu gerbang sambil memutar otak bagaimana caranya agar uang tersebut bisa cukup untuk seminggu ke depan. Beberapa saat kemudian kuayunkan langkah agar segera sampai ke kosan. Akan tetapi, untuk kedua kalinya langkahku kembali terhenti ketika baru saja kulewati Counter HP yang terletak di pinggir jalan tempatku biasa lewat. Aku tertegun melihat seorang kakek yang dalam pandangan mataku begitu luar biasa hebat. Aku memang tidak mengetahui atau mungkin enggan mengetahui siapa gerangan kakek itu. Setiap hari kulihat kakek tersebut tersenyum ke arahku serta menyapa meski sekedar mengucapkan salam setiap kali aku lewat. Kakek itu tinggal di sebuah gubug kecil yang hanya muat untuk satu orang dalam posisi tidur. Dindingnya terbuat dari papan yang di sana sini sudah berlubang.

Satu hal yang membuatku kagum terhadap kakek itu adalah, beliau seringkali terlihat tengah membersihkan sampah yang berceceran di tepian jalan setiap paginya ketika aku berangkat ke tempat praktik. Aku tak tahu, apakah pekerjaannya tersebut dibayar atau tidak. Dan lagi, di usianya yang menurut perkiraanku mungkin sudah mencapai 80-an beliau masih harus bekerja. Menjajakan koran dengan keuntungan tidak seberapa. Meski demikian, wajah beliau senantiasa terlihat cerah dan menyejukkan. Tak sedikit pun kesedihan tergurat di wajahnya yang sebagian besar telah mengeriput. Subhanallah, sungguh luar biasa. Mungkin jika aku berada di posisinya, aku takkan sanggup menjalaninya.

Dan kau tahu, kawan? Kakek itu tidak memiliki kaki. Itulah satu hal yang membuatku mengatakannya adalah sosok yang luar biasa hebat. Dengan cacat yang disandang olehnya, kakek itu sama sekali tidak memanfaatkan kecacatannya tersebut untuk memohon belas kasihan orang dengan cara menengadahkan tangan di jalanan. Meski tak mempunyai kaki, sepertinya tak sedikit pun terlintas di pikirannya untuk menyerah kepada takdir. Digunakannya kedua tangan untuk menopang tubuh agar bisa berpindah tempat dan bisa terus melanjutkan hidupnya.

Tanpa terasa, kristal-kristal air mata mulai mengembun di pelupukku, hampir tak tertahan untuk keluar. Dengan refleks kuambil uang sepuluh ribuan di saku jaketku lalu kuberikan kepada kakek itu. Hatiku begitu lega melihat kakek itu tersenyum bahagia sambil tak henti mengucap syukur. Subhanallah, uang sepuluh ribu yang mungkin bagi orang lain tidak seberapa, tapi bagi sang kakek itu merupakan jumlah yang sangat besar.
*

Mentari bersinar menghangatkan pagiku. Dengan langkah penuh semangat, aku berangkat menuju kantor Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi di kotaku untuk kembali menjalani sisa praktik yang ada. Melewati gubug tempat tinggal sang kakek. Dan seperti biasa, beliau menyuguhkan senyuman serta sapaan hangatnya. Aku merasa sangat bahagia lantaran kemarin telah sanggup memberinya sedikit bantuan meski dengan keadaan uang sakuku yang bisa dibilang kurang dari cukup. Entah kenapa meski uangku menjadi berkurang, tetapi perasaan bahagia tak terkira menyusup ke lubuk hati. Aku merasakan betapa nikmatnya ketika mampu membantu orang lain, membagi sedikit rejeki yang kumiliki. Ternyata, dengan saling berbagi, kebahagiaan yang tak mungkin ditemukan di tempat lain justru akan kita temukan dan rasakan ketika kita mampu membagi sebagian rejeki yang diberikan oleh Allah. Sehingga rejeki yang kita miliki menjadi lebih berkah.

“Chom, ini uang yang kemarin aku pinjam. Terima kasih banyak, ya,” tiba-tiba Cuzr, sahabatku yang juga menjalani praktik di tempat yang sama mengagetkanku ketika aku baru saja tiba di lokasi praktik. Ia menyodorkan uang lima puluh ribuan sebagai ganti karena beberapa hari yang lalu aku telah meminjaminya.
Subhanallah, sungguh benar-benar tidak pernah kuduga sebelumnya. Inilah salah satu bukti ke-Mahaan Allah yang menunjukkan bahwa dengan berbagi, kita tidak lekas menjadi miskin, tetapi justru sebaliknya. Jadi, dari kejadian di atas kusimpulkan bahwa betapa indahnya ketika kepedulian menghuni hati, betapa nikmatnya tatkala berbagi dijadikan sebagai penghias dalam hidup ini. Apa yang sebelumnya hanya kudengar dari ucapan orang lain bahwa betapa indah rasanya ketika kita bisa berbagi dengan orang lain, akhirnya kini aku pun merasakannya. Benar-benar merasakannya, sendiri. [ ]

Jakarta, 22/01/2012 @09:32 pm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011