Maafkan Aku, Ibu (Dalam Buku "Perempuan Berselendang Biru" : Pustaka Nusantara, Oktober 2013)

Judul Buku     : Perempuan Berselendang Biru
Penulis            : Titi Harun Syafii, dkk
Penerbit          : Pustaka Nusantara
Tahun terbit    : Oktober 2013
Tebal               : 161 Halaman
ISBN              : 978-602-7645-11-0
Harga             : Rp. 45.000,-




 Maafkan Aku, Ibu (halaman 122)

Matahari sempurna tenggelam setelah beberapa saat cahaya keemasannya berpendar indah di ufuk barat. Hamparan luas sawah, pepohonan tinggi yang menjulang, pun seluruh semesta mulai meremang. Tak ada lagi petani yang bekerja di sawah, tak ada  anak-anak berlarian di pematang
bermain layang-layang, ataupun hanya sekedar berebut berburu belalang, lalu berlomba siapa yang paling banyak mendapat tangkapan belalang. Malam yang menjemput seutuhnya menggantikan siang. Bulan menyabit yang menyembul di angkasa memberikan nuansa damai, memberikan ketenangan yang tentu berbeda jika dibandingkan dengan waktu-waktu lainnya.

“Hhhh… aku, aku sangat merindukan masa lalu itu,” seseorang menghela nafas berat. Tubuhnya berdiri di salah satu pematang dari ribuan hektar sawah yang membentang. Mata elangnya menatap hamparan sawah yang kini meremang. Sudah semenjak sejam lalu, saat para petani mulai bergegas pulang, pemuda itu hanya mematung menyaksikan semua aktifitas di areal pesawahan tersebut. Ia menyengajakan diri datang menjelang senja, agar tak ada yang melihat kehadirannya, atau barangkali salah seorang petani yang mengenalinya memergoki. Ia sungguh belum siap jika harus mengalaminya. Potongan masa lalu itu sungguh mengungkungnya dalam perasaan yang tak mudah untuk ia definisikan.

“Anton buruan, Mamak wis teriak-teriak awit mau. Nek telat mulih, bisa-bisa awakmu digitik karo sapu ijuk,” Anton buruan, Ibu sudah teriak-teriak dari tadi. Kalau telat pulang, bisa-bisa kamu dipukul sama sapu ijuk. Salah seorang anak berumur belasan tahun yang meneriaki adiknya tadi membuat Gilang, nama pemuda itu menggigit bibir. Hal tersebut serupa dengan masa kanak-kanaknya dulu. Setiap sore diteriaki ibu karena berlama-lama mandi di sungai, padahal hari sudah mulai gelap. Ah, mengenang semua itu terlalu menyakitkan baginya.

“Gilang, Ibu percaya kamu bisa menjadi contoh yang baik buat dua adikmu. Jangan pernah mengecewakan Ibu ya, Nak,” kalimat itu kembali menggaung dalam kepalanya. Bagaimana mungkin ia mengecewakan wajah bersahaja yang selalu tampak meneduhkan itu? Sebelas tahun terakhir Gilang bukan hanya mengecewakan, namun juga telah menghancurkan seluruh harapan itu, seluruh masa-masa indah itu. Setidaknya hal tersebutlah yang menghantui setiap jengkal pikirannya semenjak kejadian dua tahun lalu.

“Maksud ibu apa?” itulah jawaban spontan darinya pada malam itu.

“Ibu minta maaf,” helaan nafas pelan terdengar dari wanita yang wajahnya mulai mengeriput. “Ibu sungguh minta maaf tak dapat memenuhi permintaanmu untuk saat ini. Bagaimanalah mungkin Ibu bisa membelikanmu motor, sementara dua adik kembarmu bulan depan hendak ujian. Dan itu artinya akan banyak biaya yang harus disiapkan untuk mereka masuk SMP. Ibu harap kamu mengerti, Anakku. Mungkin untuk saat ini belum, tapi ibu janji, nanti jika ada rejeki, Ibu belikan,”

“Tapi bu, Gilang malu sama temen-temen. Mereka ke sekolah naik motor. Masa Gilang cuma naik angkot? Apalagi kalau pulang nunggunya suka lama sampai kepanasan. Gilang malu Bu, malu,” giginya bergemeretuk. Rahangnya mengeras. Gilang sempurna dikuasai amarah.
“Itu untuk sementara saja, Gilang. Nanti kalau ada rejeki…”

“Ah sudahlah. Oke. Ibu sama Bapak tak perlu membelikan Gilang motor. Ibu lihat saja, suatu saat Gilang bisa membelinya sendiri. Gilang bisa, Bu,” darr. Gilang membanting pintu keras-keras. Di dalam kamar ia menangis. Peduli amat pepatah yang mengatakan bahwa seorang pria tidak boleh cengeng.
***

“Yang haus yang haus cukup dua ribu saja,” tanpa berpikir panjang, Gilang mengambil satu botol air mineral setelah menyerahkan dua lembar uang seribuan. Ia menenggaknya hingga tandas dalam sekejap. Kerongkongannya memang terasa kering setelah menempuh perjalanan tujuh jam naik kereta dari stasiun keberangkatan. Usai perdebatan dengan ibunya, malam harinya Gilang terpaksa membongkar celengannya yang sejak kelas satu SD hingga sekarang ia kelas dua SMA tidak pernah ia buka. Dan hasilnya lumayan untuk membeli tiket kereta dari Semarang ke Jakarta. Maka, pagi-pagi buta Gilang memutuskan pergi dari kampung halamannya. Bersiap menjemput janji kehidupan baru di ibukota.

Untuk ukuran pemuda tanggung berusia enambelas tahun yang baru pertama kalinya hijrah ke ibukota, juga tanpa kerabat dan kenalan, Gilang tergolong sangat beruntung. Seminggu lamanya Gilang terlunta-lunta di jalanan karena uangnya habis. Lalu memutuskan menjadi pengamen di bis kota yang hanya bertahan tiga hari, karena menurutnya uang yang didapat tidak setimpal dengan cucuran keringat yang ia keluarkan. Maka Gilang menjadi pembelajar yang baik. Kehidupan jalanannya yang terpaksa ia jalani membuatnya berpikir keras – mencari setiap peluang untuk menjadi lebih baik. Keputusannya pergi tidak sepantasnya menghasilkan sesuatu yang sia-sia.

“Permisi, Pak. Saya butuh pekerjaan. Saya bisa cuci piring atau ngepel,” Gilang mencoba cari kesempatan. Yang ia pikirkan, yang penting bisa bertahan hidup.

“Maaf, Nak. Tapi di sini tidak butuh karyawan baru,” puluhan kali, Gilang mendapat penolakan. Baik yang menolak dengan halus, maupun yang terang-terangan mencaci maki. Namun Gilang tetap berusaha. Ia sama sekali tidak menyerah. Hingga salah seorang lelaki pemilik restoran menerimanya sebagai waitress. Gilang beruntung, selain karena setiap hari bisa makan gratis, laki-laki itu juga mengijinkannya untuk tinggal di salah satu kamar kecil kosong yang kebetulan terletak di sudut belakang restorannya.

“Ini gaji pertama kamu. Makin rajin lagi ya kerjanya,” laki-laki itu menyodorkan amplop sebulan setelah Gilang resmi menjadi waitress-nya. Maka, berbinar-binarlah mata Gilang menerimanya. Gaji pertamanya cukup untuk membeli beberapa potong pakaian baru dan keperluan lainnya, sementara sisanya ia tabung. Bulan-bulan berikutnya Gilang memutuskan untuk menyimpan seluruh gajinya. Ia pun semakin rajin dalam bekerja, membuat majikannya berdecak kagum. Dan pada tahun keempat, dengan tabungan yang dimilikinya, Gilang memutuskan membuka usaha rumah makan sendiri.

Empat tahun lamanya Gilang belajar banyak dari majikannya untuk menjalankan usaha restoran. Maka, lengkap sudah kekaguman majikannya pada Gilang. Bahkan, sang majikan memberikan tambahan modal secara cuma-cuma. Usaha Gilang bukan main kemajuannya, meroket pesat hanya dalam jangka tiga bulan. Di bulan berikutnya Gilang bahkan memutuskan untuk membuka dua cabang di tempat yang berbeda. Karir Gilang melesat bukan main hebatnya, membuat dirinya dielu-elukan sebagai pengusaha muda sukses yang bahkan tak memiliki ijazah SMA.

Gilang bukan hanya mampu membeli motor, seperti keinginannya sebelum ia pergi dari kampung halamannya. Rumah dan mobil pun dengan segera mampu ia beli dari hasil jerih payahnya. Namun celaka, dengan gelimang harta yang dimilikinya, Gilang lalai dengan masa lalunya. Ia bahkan memutuskan untuk mengubur masa lalu itu, melupakan orangtua dan adiknya yang tanpa ia tahu keadaannya justru bertolak belakang dengan dirinya. Gilang merasa dendam dengan masa lalunya yang miskin, dendam karena ibunya tak mampu membelikan motor untuknya.
***

“Mas Gilang gawat. Semuanya kacau balau,” suara Sansan, pegawainya di ujung telepon terdengar bergetar. “Mas Gilang buruan segera kemari, banyak sekali polisi di sini,” Gilang tercekat. Tanpa membuang banyak waktu, Gilang langsung bergegas meninggalkan laptopnya yang masih menyala di meja belakang rumah. Gilang benar-benar tidak mampu menyimpulkan penjelasan. Ia sepenuhnya tidak tahu mengapa di restorannya ada polisi, bingung dengan kalimat pegawainya barusan di telepon. Yang ia tahu, restoran tempat Sansan bekerja yang terletak di bilangan Jakarta Selatan hari ini sedang disewa oleh salah satu perusahaan ternama untuk mengadakan acara. Maka solusi terbaiknya Gilang harus segera tiba di lokasi, mencari tahu sendiri permasalahan yang sedang terjadi.

Setiba di lokasi, Gilang menerabas masuk diantara kerumunan orang yang menyemut. Garis polisi terpasang mengitari restorannya.

“Ada apa ini?” Gilang melempar pertanyaan saat tubuhnya berhasil menjangkau tempat di mana beberapa petugas polisi berkumpul, terlihat sedang menginterogasi seluruh pegawai restoran.

“Anda dengan Saudara Gilang?” salah seorang polisi justru balik bertanya. Abai terhadap pertanyaan yang dilontarkan Gilang.

“Iya pak, saya Gilang. Maaf, ini ada apa ya?” Gilang mengulang pertanyaannya.

“Sadarkah anda jika kelalaian anda hari ini menelan puluhan korban? Bagaimana mungkin restoran ellite seperti ini membuat seluruh pengunjung keracunan?” deg. Dadanya terasa menggemuruh. Keracunan? Bagaimana mungkin? Selama ini Gilang selalu membeli bahan makanan dan bumbu berkualitas dari pihak terpercaya untuk menu restorannya. Lantas, bagaimana mungkin semua ini terjadi?

Lepas dari itu semua, Gilang tidak pernah tahu jika ada orang yang tidak senang atas kesuksesannya. Semenjak restoran Gilang berdiri, salah seorang yang juga pengusaha rumah makan merasa tempatnya tersaingi. Ia menganggap restoran Gilang yang menyebabkan pelanggannya berkurang. Dan sebulan lalu, ia merencanakan kejahatannya untuk menjebak Gilang. Orang tersebut mengutus seseorang untuk melamar pekerjaan di tempat Gilang. Mengingat bagaimana dulu susahnya ia mencari pekerjaan, maka dengan tangan terbuka Gilang memutuskan menerima orang itu untuk bekerja di restorannya. Apalagi, pegawai barunya tersebut bukan main rajinnya, serupa dengan dirinya dulu. Dan hari ini, semua rencana itu dijalankan. Saat pegawai lain sedang lengah, pegawai bernama Dika itu memasukkan racun ke dalam sop yang sedang dijerang. Maka, sempurnalah kekacauan itu terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Dika piawai menjalankan tugasnya tanpa meninggalkan jejak. Dan akibat kejadian tersebut, Gilang harus menanggung semuanya. Usahanya yang ia rintis selama lima tahun hancur. Ketiga restorannya ditutup, disita polisi. Seluruh tabungannya habis untuk mengganti rugi para korban, juga termasuk rumah dan mobilnya. Harta berlimpah yang ia dapatkan dalam lima tahun habis dalam sekejap. Dan lebih menyedihkan lagi selepas semua kejadian itu Gilang harus mendekam di balik jeruji besi.

“Mas Gilang,” Gilang yang baru usai mengerjakan shalat dzuhur membalik badan, kaget mendapati Dika datang. “Mas Gilang, saya, saya mau minta maaf. Saya mau membuat pengakuan,” mendengar ucapan Dika disertai isak tangis, Gilang mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang selanjutnya akan terjadi. Sejauh ini Gilang banyak introspeki diri, menyadari kesalahannya selama dalam penjara. Bahwa semua ini pasti terjadi karena dia kualat sudah mengabaikan orangtuanya.

“Saya sangat menyesal dua tahun lalu telah melakukannya, Mas. Teramat menyesal. Waktu itu, saya yang mencampurkan racun ke dalam sop yang akan dihidangkan untuk tamu-tamu restoran dari PT Semesta Gemilang yang menyewa restoran Mas Gilang. Saya teramat bodoh menuruti perintah Pak Santoso, pemilik restoran sebelah Mas Gilang yang iri terhadap kesuksesan Mas Gilang. Dia ingin menghancurkan Mas Gilang. Dan semua rencana itu sudah direncanakan dengan matang semenjak saya melamar pekerjaan. Maafkan saya, Mas. Mas Gilang terlalu baik untuk mendekam di sini. Sekarang biar saya yang mempertanggungjawabkan, biar saya yang menggantikan Mas Gilang,” Dika semakin terisak, sementara Gilang menggenggam erat jemari Dika untuk menenangkan.

“Tidak Dika. Kamu tidak perlu menggantikan saya di sini. Kamu hanya perlu berkata jujur,”
“Tidak Mas. Saya takut kalau saya bilang disuruh Pak Santoso. Lebih baik saya mengakui kalau itu perbuatan saya, biar saya saja yang dipenjara,” Dika menunduk, sementara Gilang menggeleng tegas. Memberikan jawaban lewat sorot mata bahwa ia tak perlu takut.
***

“Aku kangen Ibu, Bapak, kangen Aninda dan Ananda,” Gilang tergugu, terduduk di pematang saat malam mulai meninggi. “Tapi, apakah mereka juga merindukanku yang dengan tega meninggalkan mereka? Apakah masih ada ruang maaf untukku?” saking lelahnya menangis, tanpa sadar Gilang tertidur saat memutuskan pindah duduk di sebuah gubug yang berdiri di tengah sawah. Ia baru terbangun saat matahari mulai muncul di balik bukit. Dan terkejut saat matanya terbuka, mendapati beberapa orang berkerumun di sekitarnya, saling berbisik satu sama lain. Gilang tidak lantas membuka wajahnya yang menelungkup. Ia berhitung dengan situasi, menunggu seluruh nyawanya terkumpul untuk menyiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi. Dadanya berdegup kencang, menderu-deru. Bagaimanalah mungkin ia yang datang ke desa ini dengan sembunyi-sembunyi sekarang malah kepergok tertidur di sebuah gubug?

“Iku sopo yo? Penampilane gagah ngono kok turu ning sawah. Ora mungkin nek wong edan kesasar,” itu siapa ya? Penampilannya gagah begitu masa tidur di sawah. Nggak mungkin kalau orang gila yang nyasar. Suara seorang perempuan berbisik pada teman di sebelahnya.

“Mas Gilang?” dua orang perempuan berusia dua puluhan  tahun berkata secara bersamaan, saat Gilang mengangkat wajah.

“Nanda? Ninda? Ibu?” lihatlah, dua adiknya yang dulu masih berkepang dua saat ia pergi, kini tumbuh menjadi gadis-gadis cantik yang menawan, sama seperti dirinya yang tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan, mewarisi gurat wajah kedua orangtuanya. Sementara sang Ibu yang juga ada di hadapannya sudah tampak renta, tapi tubuhnya masih terlihat sehat. Wajah keriputnya menggambarkan kesabaran di setiap jengkal kehidupan yang dilalui. Wajah yang selalu menyejukkan, dulu hingga kini. Tanpa menunggu waktu lama, keempatnya sudah berpelukan erat, sama-sama terisak melepas kerinduan. Gilang tercekat. Tak sepantasnya ia yang dengan tega menodai masa lalu itu mendapat penyambutan yang begitu hebat, seolah tak pernah ada masalah itu.

“Ibu, maafkan Gilang. Adikku, maafkan Masmu ini,” di sela isaknya Gilang memaksakan diri berucap.

“Sudahlah, Nak. Tak perlu ada ucapan maaf. Yang sudah terjadi lupakanlah. Sudah saatnya kau kembali ke sini, ke tempat di mana kamu semestinya berada. Dan jika takdir mengharuskanmu pergi keluar kota, maka kepergianmu tentu sepantasnya beriring do’a, beriring kebahagiaan. Kami sempat sakit hati, saat melihatmu diwawancarai berkata bahwa dirimu yatim piatu, tidak memiliki siapa-siapa, beberapa tahun silam saat kau merintis usaha restoran yang hebat itu. Tapi tak mengapa, Ibu bangga dengan semua kesuksesanmu. Setidaknya Ibu tak perlu mencemaskanmu berada di luar sana. Bagi kami, kau selalu hebat, Nak. Saat pertama kali melihatmu di tivi, Ibu sungguh teramat bahagia. Amat sangat bahagia, Nak. Walau agak menyesakkan saat kau tidak mengakui keberadaan kami,”

“Maafkan Gilang, Bu,” Gilang merasa dadanya sesak mengingat potongan masa lalu itu. Usianya kini dua puluh tujuh. Sepantasnya di usia sekarang ia sudah membahagiakan kedua orangtuanya. Tapi apa yang dia perbuat dengan kesukesannya dulu? Ia malah berniat mengubur semua kenangannya di kampung ini. Sekarang ia benar-benar menyesal, bahwa karma itu masih berlaku di muka bumi, dan akan selamanya berlaku. Bahwa siapa saja yang berbuat, pasti akan menuai hasil yang setimpal.

“Sudah-sudah. Ibu sudah bilang tak perlu meminta maaf. Kami selalu memaafkanmu. Ayo sekarang pulang. Bapakmu pasti juga merindukanmu. Kamu istirahat dulu, baru nanti boleh cerita semuanya,” dan saat itu, dalam hati Gilang bersumpah untuk mengabdikan diri pada kampung halamannya. Ia ingin membuat kampung halamannya lepas dari segala ketertinggalan. Saat itu juga ia memutuskan untuk menetap di kampung halamannya, memulai dari nol untuk memulai usaha. Setidaknya selama ini ia banyak belajar untuk menjalankan sebuah usaha. Tentang usaha apa yang nanti ia jalankan, semua menjadi urusan belakangan. Yang terpenting ia ingin berdamai dengan masa-masa menyakitkannya di ibukota.

Dan lihatlah, semua penduduk yang menyaksikan kejadian itu bagai sudah dikomando tidak banyak bertanya, tidak sibuk berbisik-bisik, semuanya menangis terharu menyaksikan. Dan andai kalian tahu, bukan cuma orang-orang itu yang menangis terharu sambil menyerukan tasbih, tapi juga rumput yang tumbuh di sawah, batang padi yang mulai menguning, hewan dan serangga, langit yang mengungkung bumi juga malaikat yang menyaksikan, seluruhnya bertasbih menyebut kebesaran-Nya. Semua seperti disadarkan bahwa setiap dari kita pasti memiliki kesalahan, dan setiap dari kita pula memiliki kesempatan yang sama untuk memperbaiki semuanya. [ ]

Jakarta, 13 April 2013 @11.07

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011