Aku Tak Ingin Menyerah (Sebuah Catatan Hati)
Andaikan waktu
dapat berputar ke belakang, mungkin aku akan menemanimu berpetualang di
sepanjang jalan. Aku akan tertawa, merajut dan melukis persahabatan kita. Aah
bodohnya aku. Berharap waktu mundur. Ingatlah, waktu begitu bersahabat
denganmu. Waktu selalu memberikan kesempatan-kesempatan emas untukmu. Bila
kesempatan emas itu adalah bertemu denganmu, aku akan melukis di atas langit.
Biar seluruh dunia tahu akan bahagianya aku memiliki sahabat sepertimu. [
Esla ]
My Lovely People's |
Ya Allah. Setiap kali kumengulang membaca pesan
singkat dari sahabat lamaku, Esla, dadaku terasa sesak. Aku tahu, Esla mungkin
menjadi salah satu sahabat tak terganti, yang tak pernah lelah memberikan do’a
tulusnya untukku. Dia adalah sahabatku saat kami bersama-sama menempuh
pendidikan D1 di kota Satria, Purwokerto, tahun 2010 hingga 2011 lalu. Ya, kebersamaanku dengannya hanya berbilang setahun, terlalu singkat jika dipikir. Namun, persahabatan kami nyatanya masih terus terjalin hingga sekarang, semakin erat. Namun Ya Allah, aku tak selalu mampu untuk selalu ada di saat ia membutuhkanku. Padahal kutahu, ia selalu ada di setiap waktuku, meski sekarang kehidupan kami sungguh berbeda dan terpisah jarak. Maafkan aku, sahabatku. Selamanya kamu adalah saudara tak tergantikan bagiku.
pendidikan D1 di kota Satria, Purwokerto, tahun 2010 hingga 2011 lalu. Ya, kebersamaanku dengannya hanya berbilang setahun, terlalu singkat jika dipikir. Namun, persahabatan kami nyatanya masih terus terjalin hingga sekarang, semakin erat. Namun Ya Allah, aku tak selalu mampu untuk selalu ada di saat ia membutuhkanku. Padahal kutahu, ia selalu ada di setiap waktuku, meski sekarang kehidupan kami sungguh berbeda dan terpisah jarak. Maafkan aku, sahabatku. Selamanya kamu adalah saudara tak tergantikan bagiku.
Ya Allah, aku
lelah. Pikiran itu seringkali terbersit dalam pikiranku.
Bagaimana tidak, sudah setengah tahun lebih aku menderita sakit tidak wajar.
Kepalaku gatal-gatal, keluar nanah dan bau amis. Rambut panjangku yang semula
sepinggang, kini terpangkas sangat pendek. Bahkan rambutku kian menipis, sebab
setiap hari kulit kepalaku mengelupas hingga rambutnya ikut tercerabut. Sungguh
aku sangat menderita. Dalam keseharian bathinku menangis menahan sakit, dan
senyum di bibirku hanyalah kepalsuan untuk menutupi segala rasa sakit yang
mendera. Namun nyatanya, betapa pun aku berusaha untuk selalu berpura-pura di
hadapan teman kerja, berpura-pura di hadapan teman-teman kampus, nyatanya jika
tengah menyendiri airmataku tak pernah berhenti mengalir. Aku pun merasa
kasihan terhadap suamiku, yang setiap malam terpaksa tidak tidur untuk
menjagaku yang tidak bisa tidur karena menahan sakit.
Terkadang aku berpikir untuk menyerah saja. Percuma
berobat secara medis hingga ke pengobatan alternatif, namun tidak juga
membuahkan hasil. Hanya akan membuang-buang uang. Bahkan tabungan kami pun
sudah terkuras habis. Namun setiap kali pikiran itu hinggap, aku teringat
senyum tulus dari orang-orang di sekitarku. Aku tak ingin mereka bersedih, aku
tak ingin membuat mereka kehilanganku. Dan jika aku merasa lelah dengan rasa
sakitku, maka aku mencoba berkaca pada orang-orang di luar sana yang tidak
seberuntung diriku. Mungkin ini ujian dari-Nya, untuk membuatku menjadi kuat.
Aku masih sangat-sangat beruntung memiliki orang-orang yang mendukungku,
sahabat yang tulus mendo’akan kesembuhanku, suami yang teramat mencintaiku.
Mereka yang selalu ada buatku, merupakan pemantik semangatku untuk tetap
bertahan. Ya Allah, aku tak ingin menyerah. Aku masih ingin mengukir prestasi,
aku masih ingin mengejar cita-citaku, untuk membuktikan bahwa aku mampu
melewati semuanya.
Tahukah kalian, kawan? Bagaimana rasanya menahan
rasa gatal di kepala, bercampur sakit seperti tersayat-sayat, serta panas
seperti terbakar? Ditambah lagi dengan nanah yang tiada henti mengalir,
menimbulkan bau amis yang menyengat. Semua itu rasanya teramat menyiksa. Dan
jika aku keluar rumah, maka aku sengaja menebalkan jilbabku, agar baunya tidak
tercium orang-orang. Yang tentu saja, dengan tebalnya jilbab tersebut membuat
rasa sakitnya terasa berkali lipat hebatnya. Dan ketika kubuka jilbabku, maka
rambutku lembab, penuh dengan nanah yang akhirnya akan mengering, membuat
rambutku yang masih tersisa menjadi kaku seperti kawat. Terlebih lagi, akibat
dari rasa sakit tersebut membuat sekujur tubuhku terasa pegal untuk digerakkan.
Tahukah kalian, jika sudah seperti itu di tempat umum, maka aku hanya sanggup
menangis dalam hati. Dan ketika kutemukan kesempatan untuk menyendiri, maka
tangisku langsung pecah. Menjadi satu-satunya cara untuk melampiaskan rasa
sakit yang teramat dahsyat.
Dek. Ya Allah,
Kakak lelah. Kakak nggak kuat. Suatu hari, karena
tidak tahu hendak pada siapa mencurahkan rasa, aku pun mengirim pesan singkat
pada Adikku, Yogi, yang merupakan adikku di dunia maya. Meski kami belum pernah
bersua dalam dunia nyata, namun aku sangat menyayanginya. Mungkin karena aku
yang ditakdirkan menjadi anak bungsu dalam keluarga, dan keinginan untuk
mempunyai adik dulu yang tidak tercapai, membuat kehadirannya dalam hidupku
terasa istimewa.
Ya Allah Kakak.
Kakak harus kuat. Adek yakin, Kakak pasti sembuh. Adek selalu berdo’a untuk
kesembuhan Kakak. Adek sayang sama Kakak. Airmataku makin
menderas saja membaca balasan dari Yogi. Merasa terharu, mendadak merasa kuat. Ya,
orang-orang di sekitarku adalah sumber kekuatan yang membuatku bertahan hingga
saat ini. Meski menyiksa, meski rasa sakit ini melelahkan, namun aku masih
ingin bertahan. Aku tak ingin menyerah ya Allah. Aku yakin, segala sesuatunya
selalu ada hikmahnya. Dan aku yakin, Allah masih menyayangiku dengan semua
ujian yang tengah diberikan padaku kini.
"Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (Ar-Rahman : 42)
Dan setiap kali mengingat firman-Nya yang satu ini,
maka hatiku rasanya ingin beribu kali mengucap syukur. Aku melihat ke belakang,
melihat masalaluku yang juga tidak berjalan mulus. Bagaimana aku yang hampir
putus sekolah ketika masih duduk di bangku Madrasah, karena Bapakku yang
berprofesi sebagai pedagang ayam mengalami kebangkrutan. Dulu, untuk sekolah
hingga ke jenjang SMP saja rasanya aku tak pernah berani bermimpi. Namun
nyatanya, Allah selalu memberikan jalan. Nilai ujian Matematikaku ketika SMP
yang menembus angka sepuluh merupakan pembuka jalan untukku melanjutkan ke
jenjang SMA.
Dan kini, meskipun kebanyakan teman seperjuanganku
sudah memperoleh gelar sarjana, sementara aku baru memasuki semester dua, namun
aku tak pernah menyesal. Aku bersyukur bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi
mahasiswa, meski terbilang terlambat. Sebab aku juga harus membagi waktu untuk
bekerja guna membiayai kuliahku. Namun ya Allah, aku sungguh bersyukur mendapat
semua kesempatan ini. Dan rasa sakit ini tidak akan pernah kubiarkan membuatku
lemah dan terpuruk, karena kuyakin Engkau memiliki rencana yang indah untukku.
Ya Allah, aku sungguh tak ingin menyerah. Dan hanya
kepada-Mu, kuserahkan seluruh hidupku. Aku yakin, segala keputusan-Mu untukku
merupakan ketentuan yang terbaik. Terimakasih telah menganugerahkan orang-orang
yang tulus menyayangiku, yang tiada lelah memberikan semangat serta do’anya.[ ]
Jakarta,
11 Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar
Coment please...