Kemerdekaan Mel (Cerdak Juli 2013)
Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa
Matahari sedang terik-teriknya. Dengan tergesa Mel berjalan melintasi jalanan berdebu. Di sana sini sudah tampak pernak-pernik bernuansa merah putih. Seperti biasa, peringatan sakral tujuhbelasan memang selalu disambut antusias oleh warga, meski agustus masih lebih dari sebulan lagi.
“Aku harus segera menyelesaikannya sebelum deadline,” Mel bergumam sambil mengelap keringat di dahi. Info lomba menulis yang ia baca di Koran di perpustakaan sekolah mengingatkannya pada ucapan almarhumah Ibunya dulu sebelum meninggal.
“Ibu ingin melihat namamu di atas karyamu,”
***
“Mel, ikut aku,” baru saja Mel duduk, hendak bercerita pada Shandy bahwa ia sudah mengirimkan tulisannya yang diikutkan lomba, saat sebuah tangan menariknya.
“Kemana, Ben?”
“Udah ikut aja, gak usah ngelawan. Kamu itu pacarku, jadi kudu nurut,” dari sorot mata dan nada bicaranya, jelas Ben sedang marah.
“Kamu kenapa sih, Ben?” Mel bertanya setelah mereka berhenti, dan Ben mengempaskan tangan Mel dengan kasar.
“Mestinya aku yang nanya kamu kenapa. Dari kemarin dicari gak ada. Apa jangan-jangan, seperti dugaanku kamu ada apa-apa ya sama Shandy? Apa sih yang kamu banggakan dari Shandy yang kuper dan gak gaul itu?” Ben mulai ceramah, tanpa memberi sedikit pun celah pada Mel untuk menyanggahnya.
“Udah deh, Ben. Aku sama Shandy itu cuma sebatas temen. Gak usah cemburu gitu. Dan lagi, gak perlu juga menghina temenku sebegitunya. Shandy gak seburuk yang kamu kira,”
“Nah tuh kan. Kamu aja malah ngebelain dia. Sebenarnya kamu cinta sama aku gak sih, Mel?” ya ampun. Mel gak nyangka Ben akan bertanya seperti itu.
“Tentu Ben. Aku mencintaimu,” Mel hanya bisa menjawab singkat, berharap amarah Ben segera mereda. “Oh ya Ben. Aku ikut lomba nulis dalam rangka memperingati hari kemerdekaan. Kamu doain aku ya supaya aku menang?”
“Lomba macam apa itu? Aku gak suka kamu ikut lomba begituan. Aku lebih suka kamu ikut lomba modeling. Lebih keren dan lebih berkelas,” bukannya senang, Ben malah tampak tidak suka.
“Tapi Ben,”
“Kalau kamu mencintaiku, kamu harus mau. Titik.”
“Aku mencintaimu, tapi…” belum selesai Mel berucap, Ben sudah berlalu pergi, meninggalkan Mel sendirian.
***
“Ben, aku punya kabar gembira,” Mel menghampiri Ben yang sedang duduk di bangku taman.
“Kabar baik apa, my angel?” Mel selalu saja tersipu setiap kali Ben memanggilnya dengan panggilan sayang andalannya.
“Aku berhasil jadi juara satu di lomba nulis yang bulan lalu aku ikutin. Dan bersamaan dengan upacara hari kemerdekaan, aku mendapat undangan untuk menerima penghargaan kemenanganku yang akan diumumkan secara langsung di kota provinsi. Malahan, katanya acara ini akan diliput oleh sebuah stasiun televisi swasta. Ya ampun Ben. Aku seneng banget,” Namun, reaksi Ben jauh dari yang Mel sangka.
“Aku gak mau kamu datang di acara tersebut,” nada Ben terdengar ketus.
“Loh kenapa?”
“Kamu kan tahu, bertepatan dengan hari kemerdekaan juga aku bakal manggung di pesta musik tahunan yang akan diadakan di alun-alun kota. Bagaimana mungkin kamu gak hadir?”
“Tapi Ben, ini acara penting yang mungkin hanya terjadi sekali dalam hidupku. Kita bisa…”
“Berapa sih hadiah yang kamu dapat dari lomba itu? Biar aku ganti tiga kali lipat. Pokoknya aku gak mau kamu datang. Titik. Kalau kamu sampai nekat, lebih baik kita putus,” demi mendengar perkataan Ben barusan, hati Mel sakit bukan main.
***
“Udahlah, Mel. Jangan nangis terus. Nanti cantiknya hilang,” sebagai sahabat, Shandy memang selalu setia di samping Mel dalam segala situasi.
“Lalu, aku harus gimana? Menuruti Benkah?”
“Kamu hanya harus menuruti satu hal, Mel. Di mana tak seorang pun dapat mencegahnya. Ikuti kata hatimu. Apa yang hatimu katakan, itulah yang harus kamu turuti,” Shandy berkata tulus, seraya menyunggingkan senyum.
Ben, maaf. Sepertinya aku akan tetap hadir di acara penyerahan penghargaan kemenanganku tujuhbelas agustus nanti. Kesempatan ini belum tentu bisa aku dapatkan lagi. Klik. Mel mengirim sebuah pesan singkat ke nomor Ben. Sesak di dadanya terasa lepas. Ia sudah menentukan keputusan penting dalam hidupnya.
Kalau begitu, berarti kamu memang sudah tak lagi mencintaiku. Kamu menginginkan kita putus. Iya, kan? Itu jawawan Ben. Tapi Mel diam, tak membalasnya. Mungkin putus dari Ben adalah keputusan terbaik. Semoga saja.
Mel menunduk dalam. Menyembunyikan airmatanya yang tiba-tiba tumpah. Dia tidak tahu untuk apa air matanya itu. Untuk naskahnya yang lolos sebagai juara? Untuk Ben yang tiba-tiba memutuskan hubungan karena pilihannya ini? Atau untuk mendiang ibunya yang menanti kemenangannya ini? Ini adalah kemerdekaannya dari segala egoisme Ben, tapi juga kesedihannya di detik-detik penobatan gelar kemenangannya. Jelang Ramadhan, jelang Hari Kemerdekaan, juga jelang ulang tahunnya. Dia harus kehilangan...
"Sudah, sudah! Kita lomba balap karung aja yuk," Shandy mencoba menghiburnya.
Mel mengangkat wajah dan segera menghapus air matanya. "Aku mau panjat pinang aja!" [ ]
Jakarta, 12 Mei 2013
Komentar
Posting Komentar
Coment please...