Kamu Lebih Dari Cantik, Kawan (Cerdak Juni 2013)
Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa
Silvi tergesa menaiki tangga menuju lantai empat gedung kampusnya. Tadi ia terburu-buru pergi dari Rumah Singgah yang ia kelola setahun belakangan, saat seorang adik asuhnya yang dekil datang menyodorkan selembar kertas lusuh.
“Nami, lo harus lihat ini,” begitu membuka pintu perpustakaan dan mendapati Nami tengah berkutat dengan ensiklopedi di sudut ruangan, Silvi langsung berseru. Membuat beberapa pasang mata menoleh, merasa terganggu.
“Apaan sih? Berisik tauk,” Nami menurunkan ensiklopedinya.
“Aduh maaf. Tapi lo harus lihat ini, Na,”
“Hmm. Lomba nulis. Maksud lo apa ya?” Nami menggumam pelan setelah membolak-balik kertas yang disodorkan Silvi.
“Aduh Namiii, lo lugu apa pura-pura lugu sih?”
“Lo dari tadi aduh-aduh mulu. Emangnya gue cubit?”
“Iih, Namiii. Sejak kapan lo gak antusias dengan lomba nulis? Biasanya, yang hadiahnya pulsa ceban aja lo semangat ikut. Lah ini, ini hadiahnya jutaan, Na,” Silvi makin gemas. “Bukannya lo lagi butuh duit buat beli laptop baru?”
“Udahlah, Vi. Nulis itu bukan jalan hidup gue. Iya sih, itu hadiahnya gede. Tapi coba lo pikir. Udah puluhan kali gue ikut lomba nulis. Tapi satu pun gak pernah ada yang lolos. Lo bisa simpulin sendiri. Yang lomba nulis level amatir aja gue gak lolos, apalagi lomba nulis dari sponsor besar gitu?” Nami menghela nafas.
“Lo jangan nyerah gitu dong. Ingat, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Pokoknya, kali ini lo harus ikut. Ayolah, Na. Demi gue yang selalu ngedukung kesuksesan lo. Pliiis, mau ya?”
“Enggak,” Nami mengambil ensiklopedi yang tadi direbut Silvi.
“Namiii,” Silvi sebal dengan sikap Nami. Direbutnya lagi ensiklopedi di tangan Nami.
“Iyaaa. Kenapa, Silvi?”
“Huh. Susah bener sih lo diajak ngomong,” Silvi mendengus. “Nih ya dengerin. Untuk kali ini, gue mohon lo harus nyoba. Gue janji gak bakal lagi buat ngebujuk lo ikut lomba nulis kalau kali ini lo gagal. Ini hadiahnya gede banget, Na. Lo bisa beli laptop keluaran terbaru buat gantiin laptop yang kata lo udah jadul. Lo juga bisa beliin adik lo sepeda. Bukannya, bertepatan dengan hari anak nasional adik lo ulang tahun? Itu bakal bisa jadi kado istimewa buat dia. Terus, sisanya juga masih bisa lo beliin apa gitu. Setuju gak, Na?”
“Gitu ya, Vi?” ucap Nami akhirnya setelah lama terdiam, berusaha mencerna kalimat Silvi. “Oke deh gue coba. Tapi janji ya, lo gak bakal ngerayu-ngerayu gue lagi?”
“Oke, sista. Semangat,” Silvi merangkul tubuh Nami, yang justru langsung ditepis oleh Nami. Diperlakukan begitu, Silvi hanya nyengir kuda.
***
“Silviii, lo harus liat ini,” Nami tergesa menghampiri Silvi yang tengah membuka-buka buku dongeng.
“Kok, lo tahu gue di sini?” Silvi menurunkan bukunya, menatap kaget ke arah Nami.
“Lo kali ini wajib dengerin gue dulu. Tentang gimana gue tahu lo di sini bisa entar-entar,” Nami menarik tangan Silvi. “Nih lo liat. Gue dapet juara 2. Ya ampuun, ini sih hadiahnya lebih dari cukup buat beli laptop baru sama beliin adik gue sepeda bagus. Rasanya seperti mimpi, Vi. Mulai detik ini, lo harus rajin cariin gue info lomba nulis. Pokoknya, gue bakal sering-sering traktir lo deh,”
“Tuuh kan, Nami. Apa gue bilang. Lo pasti bisa,” kali ini Silvi tersenyum bangga pada sahabatnya.
“Kak Silvi, ini beneran yang namanya Kak Nami?” seorang gadis berusia delapan tahunan menghampiri mereka dengan tongkat di ketiak kanannya. “Boleh gak Arum kenalan?”
“Eh, iya boleh. Namaku Nami,” Nami mengulurkan tangannya.
“Arum suka banget loh sama tulisan Kakak. Semua tulisan Kakak yang dijilid sama Kak Silvi membuatku berani bermimpi, bahwa hidup itu harus selalu disyukuri, apapun keadaan kita,” Nami tercengang. Bukan karena berpikir dari mana Silvi mendapatkan tulisannya. Yang paling penting, justru baru kali ini ucapan seorang anak kecil menggetarkan hatinya. Ia tersadar, banyak hal yang belum ia syukuri. Ia melihat sekeliling, seorang anak yang hanya bisa melihat sebelah mata, ada yang hanya memiliki satu tangan, dan banyak lagi anak-anak ‘tidak normal’ di situ dengan wajah penuh penerimaan. Untuk kali pertama ia menyesal teramat sangat. Mengapa tidak sejak lama ia tahu sahabatnya memiliki rumah singgah, mengabdikan hidup sepenuhnya untuk anak-anak kurang beruntung. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengambil keputusan.
“Silvi, duit hadiah gue buat bikin perpustakaan kecil di rumah singgah lo, ya?”
“Tapi, Na,” Silvi kaget bukan main.
“Gak ada tapi-tapian. Gue gak perlu beli laptop baru. Laptop gue yang lama kan masih bisa dipakai. Lagian, mereka layak mendapatkan semua ini. Mereka layak memperoleh masa depan yang baik. Gue juga bakal jadi sukarelawan untuk jadi guru di rumah singgah lo ini,”
“Nami, kamu cantik sekali,” Silvi sempurna berlinangan air mata. “Kamu bahkan lebih dari cantik, kawan. Itulah yang membuat gue bertahan menjadi sahabat lo, meski lo sering gak suka kalo gue bawel,” keduanya saling tatap, lalu saling tersenyum, bicara dengan isyarat bahwa keduanya berjanji untuk saling bahu membahu menghadapi apapun yang akan terjadi ke depannya.[ ]
Komentar
Posting Komentar
Coment please...