Kartini dan Kartono (Cerdak April yang "toeng-toeng" lagi-lagi cuma berhasil masuk 10 besar, dan ujungnya gak lolos... )

Tini mendengus sebal. Baru saja ia mengetik naskah sebaris, hapenya kembali berdering. Dilihatnya nama Tono tertera di layar hapenya. Ingin rasanya ia mengacak-acak muka Tono yang selalu mengganggu hidupnya. Bagaimana tidak, cowok gemulai itu doyan sekali ngomong. Kerjaannya cerita ini itu. Sialnya lagi, Tini tidak bisa jauh dari Tono. Tini masih kerap membutuhkan kepintaran Tono untuk mengajarinya jika ada pelajaran yang susah.


“Ciiiiiin, gue dapet tiket nonton konser Anyes Monikah nih. Itu loh, yang bulan lalu gue ikut undian. Dapetnya dua. Mau gak lo nonton sama gue?” Tini meneguk ludah. Amarah yang tadi menggelegak di ubun-ubun sirna sudah demi mendengar nama penyanyi kesayangannya. Berbulan-bulan ia menabung untuk membeli tiket konser tersebut nyatanya tak juga cukup. Makanya, tadi sore Tini menutup mimpinya untuk nonton konser akbar Anyes Monikah yang akan digelar malam ini. Maka, selepas maghrib Tini memutuskan untuk fokus meneruskan menulis cerpen yang sudah seminggu dibiarkan terbengkalai.

“Bener nih ye lo gak mau? Kalau gitu, gue mau langsung capcus ngajak Siska. Pokoknya, jangan nyesel ye lo nolak ajakan gue,” belum sempat Tini menjawab, Tono sudah mau menutup telepon.

“Kartonooo, tunggu. Lo niat gak sih ngajak gue? Belum juga gue jawab, main nyimpulin sepihak aja lo,”

“Hahaha maaf jeng, gue emang sengaja,” di ujung sana, sambil ngupil Tono tersenyum senang karena berhasil membuat Tini sewot. “Ya udah sekarang lo dandan yang rapi, ntar gue jemput lo ke rumah, Non Kartini,” selanjutnya, Tini sudah tidak peduli lagi dengan ucapan Tono. Ia sudah lari mencari baju yang pantas untuk dikenakan.

Sambil menunggu jemputan datang, Tini kembali berjibaku di depan laptop. Ia berprinsip tidak boleh menyia-nyiakan waktu. Maka, jemarinya mulai asyik menulis lagi. Baginya, menulis adalah terapi jiwa paling mujarab yang mampu mengabulkan segala keinginan. Dengan menulis, seseroang bisa keliling dunia tanpa harus menjejakkan langkah di tempat tersebut. Ia ingin seperti R.A. Kartini yang pantang menyerah dalam memperjuangkan kaum perempuan. Perempuan masa kini yang modern harus memperjuangkan emansipasi agar tak selamanya menjadi kaum terjajah. Bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dengan derajat dan hak yang sama dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka, Tini tidak mau kalah pintar dengan kaum laki-laki. Suara hatinya bergerilya, ‘perempuan juga bisa menjadi hebat’.

“Tiniii, kenapa kamu belum mengerjakan tugas?” Tini melonjak dari tempatnya duduk. Ia teringat kalau dirinya belum menjalankan rutinitas wajibnya, membuat sambel yang menjadi menu wajib buat bapaknya. Sebentar lagi bapaknya pulang kerja.

“Eh anu mak, maaf. Tini lupa,” Tini segera lari ke dapur. Sebentar ia menyiapkan cabai, bawang, garam dan kawan seperjuangannya. Sebentar lagi ia fokus pada hape di tangan kirinya. Setelah semua bahan terkumpul, tangan kanannya mafhum mengulek sementara matanya jalang menatap ke kanan dan ke kiri. Ke kiri menatap layar hape sambil sesekali mencatatnya dalam notes setiap ide menulis muncul di kepalanya, dan ke kanan menatap cobek agar bahan-bahan sambel tidak berceceran. Sebab kata emak harga sembako beserta bumbu dapur kini melonjak naik, jadi tidak boleh ada secuil pun cabai atau sekedar bijinya saja sampai terjatuh.

“Mbak Tini, kenapa gak sekalian aja itu hape buat ngulek sambel?” Petra, sang adik entah kapan datangnya tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Tini. Tini mendelik sebal ke arah Petra. Namun, Petra bukannya menghentikan ulahnya malah justru semakin gencar meledek Tini.

“Nah sini-sini, gue yang ngulek, pasti bakal lebih maknyos deh. Bakal menjadi rekor tak terkalahkan. ‘Hape multifungsi, bisa buat ngulek sambel’. Hahaha,” Petra berhasil merebut hape dari tangan Tini.
***

Tini mondar-mandir di kamar. Sudah lewat pukul Sembilan, Tono belum juga menjemputnya. Apa iya Tono sengaja mengerjai dirinya? Ah, sepertinya tidak mungkin. Biar pun celoteh cowok gemulai itu sering membuat Tini sebal, tapi Tono tidak pernah sejahat itu. Tini gelisah dan tidak fokus lagi terhadap cerpennya. Layar laptop tampak berkedip-kedip tanpa disentuh. Beberapa kali Tini menelepon Tono tidak diangkat. Bahkan puluhan sms-nya pun belum berbalas. Tini hampir saja membanting hapenya ketika sebuah sms masuk. Dari Tono.

“Tini, lo gimana sih? Tadi lo bilang mendadak gak bisa ikut nonton karena ada sesuatu yang gak bisa ditinggalin. Eeeh, sekarang lo sms sampai bejibun gini nagih kenapa gue gak jemput-jemput. Sebenarnya gue tadi juga sebel banget. Gue bela-belain ikut undian buat dapetin tiket ini demi lo. Karena gue tau lo ngefans banget sama Anyes. Tapi giliran gue jemput bilang udah di depan rumah lo main membatalkan gitu aja. Gue kan beteee,” tuing-tuing. Kepala Tini mendadak berisi sesuatu. Dilihatnya satu per satu pesan terkirim di hapenya. Lalu, Tini lemas seketika. Sejenak kemudian Tini sudah jalan tergesa menuju kamar Petra. [ ]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011