AIR MATA CINTA



Naskah ini pernah diikutkan lomba dan lolos pada Maret 2011 lalu. Namun berhubung PJ-nya entah ke mana, dan tidak ada kepastian atas kelanjutan naskah ini, maka dengan ini saya menarik naskah saya. Pihak mana pun tidak berhak untuk mempublikasikannya dalam bentuk apa pun tanpa ijin.

“Livia, aku mohon maaf sekali, sepertinya hubungan kita tak mungkin berlanjut,” di ujung taman SMA Negeri 1 Tegal, yang terletak di jalan Menteri Supeno, tiba-tiba ucapan Pandu membuat gadis yang tengah duduk di sampingnya tersentak.


“Apa maksud kamu berkata demikian, Pandu? Apakah kamu berniat menyakitiku?”

“Bukan Livia, bukan itu. Aku sama sekali nggak punya niat demikian. Sungguh pun kamu adalah anugerah terindah yang Allah karuniakan untukku. Melaluimu aku bisa lepas dari jeratan narkoba. Melaluimu pula aku merasakan cinta kasih-Nya yang teramat agung,”

“Lantas apa alasanmu, Pandu?”

“Bukankah kamu lihat sendiri perbedaan yang melekat di antara kita berdua?” Ucap Pandu dengan kepala tertunduk.

“Perbedaan mana lagi yang kamu maksud Pandu? Tak mengertikah kau bahwa aku mencintaimu tulus dari hati, aku mencintaimu apa adanya,”

“Sudahlah Livia, kita masih terlalu dini untuk bicara soal cinta. Kita ini baru saja mau lulus SMA. Anggap saja cinta yang tumbuh di antara kita hanyalah cinta monyet yang sudah sangat lazim terjadi pada masa pubertas. Lebih baik kamu persiapkan diri untuk mengikuti test masuk perguruan tinggi yang hanya tinggal beberapa hari lagi,”

“Pandu, apakah kamu tidak mau kita kuliah bareng di universitas yang sama? Aku yakin kamu mempunyai potensi untuk memperoleh beasiswa,”

“Livia, kamu dan aku berbeda. Tiga adikku masih kecil-kecil, dan ibuku hanyalah seorang janda yang mempunyai penghasilan tak seberapa. Jadi, aku tidak mungkin melanjutkan kuliah dan mengabaikan tanggung jawabku sebagai anak sulung. Aku mohon kamu mengerti itu,”

“Oke oke, aku mengerti keputusanmu. Tapi semua ini tak harus berimbas pada hubungan kita, kan? Kita masih bisa menjalin hubungan long distance jika akhirnya kita memang harus tinggal berjauhan,”

“Livia, sudahlah, kamu bisa mencari laki-laki lain yang jauh lebih baik dariku, yang mungkin bisa menuruti semua keinginanmu,”

“Tapi Pandu, aku hanya mencintaimu,”

“Tapi aku tidak mencintaimu Livia. Selama ini aku mendekatimu hanya karena kekayaanmu. Jadi mulai sekarang jangan pernah mengingat-ingat aku lagi,” lengkingan suara Pandu yang mengalahkan gemuruh halilintar membuat butiran bening dari kelopak mata Livia berloncatan.

“Woy, ngelamunin apa kamu Liv? Udah siang nih, yuk kita berangkat. Nanti malah telat kuliahnya,” Livia tersentak. Tania, teman satu kuliahnya tiba-tiba datang membuyarkan lamunannya mengenai peristiwa tiga setengah tahun silam. Lamunan tentang Pandu, laki-laki yang hingga kini masih ia cintai meski ruang dan waktu tak lagi menyatukan mereka.

“Livia sayang, kamu kenapa menangis? Siapa yang membuatmu begini?” demi menyadari rona wajah sahabatnya tergurat kesedihan, Tania pun langsung mengintrogasinya.

“Hah? Siapa yang nangis? Aku cuma kelilipan debu aja. Jadi perih deh. Yuk ah buruan kita cabut,”

“Udah deh Liv, kamu nggak usah bohongin aku. Kamu kira aku anak kecil apa, yang bisa dengan mudah dibohongi?”

“Aku nggak bohong kok. Coba aja tanya pada rumput dan ilalang, pasti mereka pun mengatakan kalau aku hanya kelilipan. Haha...” Livia mencoba berdamai dengan hatinya, meredam segala perih yang bersemayam dalam dada.

Meski hatinya ragu dengan ucapan Livia, toh akhirnya Tania terkalahkan oleh sikap Livia yang pandai menyembunyikan masalah seolah-olah tidak ada apa-apa. Dua bersahabat itu kemudian menaiki angkutan umum yang melewati jalan Halmahera, tempat di mana kampus tempatnya kuliah terletak. Sebuah universitas swasta yang ada di Tegal, yaitu Universitas Panca Sakti atau lebih dikenal dengan sebutan UPS.
*******************

Jarum pendek jam tangan Livia telah menunjuk pada antara angka tiga dan empat. Itu berarti ia harus segera bergegas menuju TPQ tempat ia mengajar mengaji, untuk mengenalkan huruf hijaiyah, mulai dari alif sampai ya kepada para santri kecil yang senantiasa menghiasi harinya. Sebuah kegiatan rutin yang ia jalani untuk mengisi kekosongan waktunya. Pula untuk mencari ridho dari sang Maha Pencipta yang telah memberinya kesempatan menghirup udara segar hingga detik ini.

Seusai menjalankan tugasnya sebagai guru ngaji, Livia pun kembali ke rumah dengan hati gembira. Namun di tengah perjalanan, ia dikejutkan oleh anak laki-laki yang menurut perkiraannya berusia sebelas atau dua belas tahun.

“Permisi kak, kakak ini yang bernama kak Livia bukan?”

“Iya benar, adik ini siapa? Kok tahu nama kakak?” Livia bertanya dengan nada heran.

“Aku Syaque kak, adiknya Mas Pandu, aku disuruh mengantarkan surat ini sama Mas Pandu,” Anak laki-laki yang mengaku bernama Syaque itu menyodorkan amplop berwarna biru muda yang merupakan warna kesukaan Livia.

Belum sempat Livia bertanya banyak hal, Syaque telah menghilang menggunakan sepedanya. Segala macam rasa pun berkecamuk dalam relung hatinya. Betapa orang yang sangat ia cintai, yang telah sekian lama menghilang tanpa kabar, kini mengirimkan surat yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

“Ya Allah, mungkinkah ini pertanda baik bahwa Pandu akan kembali padaku? Aku memang telah berdosa mengatasnamakan cintaku padanya karena-Mu. Tapi maafkan aku ya Allah. Sungguhpun aku tak sanggup melupakannya. Aku tak sanggup ya Allah. Aku ingin cintaku segera terbawa ke ikatan yang suci agar tak ada lagi dosa yang tercipta. Namun mungkinkah itu terjadi, ya Allah??” Livia larut dalam imajinya. Gejolak rasa yang ia pendam bertahun lamanya semakin membuncah.

Karena penasaran dengan isi surat yang baru saja ia terima, Livia pun mempercepat langkahnya untuk pulang ke rumah. Namun malang nasib Livia, tas yang ia bawa direbut oleh dua pria pengendara sepeda motor tak dikenal. Bukan lantaran handphone atau uang yang ada di dalamnya yang ia sesalkan, namun surat dari Pandu yang belum sempat ia baca.

Kejadian kecopetan yang menimpa Livia membuat Livia bersedih. Ya, walaupun ia selalu mampu menetralisir sikapnya di hadapan orang lain, namun jauh di lubuk hatinya sungguh tersimpan luka yang menganga. Di saat harapan akan kembalinya cinta yang telah lama hilang dari hidupnya muncul, musibah dan cobaan masih harus kembali ia hadapi. Sedangkan di mana Pandu dan keluarganya sekarang tinggal, ia pun tidak tahu. Rumahnya yang dulu Pandu tempati bersama ibu dan ketiga adiknya saat ia masih SMA telah lama dijual. Satu pun tetangganya tak ada yang bisa memberikan keterangan mengenai keberadaan Pandu. Syaque, yang sempat ia temui ketika mengantarkan surat tidak sempat pula memberinya kepastian mengenai Pandu. Dengan hanya berserah diri kepada Allah, Livia senantiasa berusaha tegar untuk tetap berdiri tegak menjalani hidupnya.
*******************

“Tania, malam ini kamu menginap di rumah aku aja ya? Nanti biar aku yang minta ijin sama ibumu,” Sela Livia di tengah perjalanan pulang dari Pasific Mall, sebuah mall yang sangat terkenal di kota Tegal. Livia dan Tania pulang naik elep, sebutan angkutan umum di kota Tegal berupa bus kecil dengan satu pintu. Meskipun Livia anak seorang pengusaha kaya, Livia memang tidak senang hidup bermewah-mewah. Dia lebih suka hidup dengan kesederhanaan. Sikapnya yang sangat bersahaja, membuat setiap orang yang mengenalnya merasa senang jika berada di dekatnya.

Turun dari elep, Livia dan Tania harus jalan kaki menuju rumah Tania yang letaknya masuk ke gang di daerah Pekauman.
“Apa ini Liv? Sepertinya surat...” Langkah Tania tiba-tiba terhenti sambil memungut kertas biru muda yang sudah terkotori tanah.

“Dan itu, itu bukannya dompet kamu yang katanya hilang bersama tas yang direbut orang ya?” Livia langsung terperanjat melihat dompet yang sama seperti miliknya tergeletak di tepi selokan. Tanpa mempedulikan dompet yang ditunjukkan oleh Tania, Livia langsung merebut kertas di tangan Tania.

“Ini... ini surat dari Pandu...” Livia meneliti sebentuk surat bersampul biru yang rupanya sudah tidak menentu.

“Iya benar, ini surat yang pernah dikasihkan oleh Syaque dua bulan yang lalu,” Tambahnya lagi.

“Wah, benarkah? Kalau gitu, buruan ayo cepat buka. Bukankah ini kabar baik buatmu, Liv?” Tania yang memang sudah sangat tahu mengenai Pandu dari cerita Livia, langsung antusias menyemangati Livia, sahabat yang ia kenal semenjak ruang dan waktu menyatukan mereka dalam kegiatan OSPEK dulu.

“Teruntuk Livia, gadis yang telah membuatku melupa pada dunia, menyadarkanku dari dosa yang menghiba.” Livia mulai membaca isi surat dari Pandu. Nyata jelas di matanya bahwa itu adalah tulisan tangan Pandu yang sangat khas, yang masih dengan jelas terbayang dalam memori ingatannya, meski tiga setengah tahun lamanya telah membuatnya tak pernah lagi melihatnya menulis atau sekedar bersua lewat suara. Namun segala hal mengenai Pandu masih sangat jelas terekam dalam memori ingatannya, dan takkan pernah terhapuskan begitu saja.

Kamu masih ingat bukan tiga setengah tahun lalu saat suatu siang kita duduk berdua di taman sekolah? Melihat air matamu mengalir, betapa menyisakan luka yang mendalam di sudut hatiku. Ingin rasanya aku menghapusnya, namun sungguh saat itu tak mungkin aku lakukan. Karena maaf, ayahmu memintaku untuk menjauhimu. Katanya ini semua demi masa depanmu.

Kau tak perlu menyalahkan ayahmu atau siapa pun. Karena apa yang dilakukan beliau adalah benar adanya. Orang tua mana yang ingin anaknya hidup menderita? Mohon maaf kala itu aku tak sanggup mengatakan alasan yang sebenarnya. Bukan karena aku menghendaki perpisahan itu, namun karena aku takut kamu menjadi durhaka terhadap orang tuamu. Apalagi aku tahu saat itu jiwamu masih sangat labil dan mudah emosi. Aku tak mau sikap santun dan sahajamu terkalahkan oleh egomu. Maka dengan kebulatan tekad, aku pun memutuskan untuk sejenak melepas ikatan denganmu.

Dan sekarang, seperti pinta ayahmu, aku datang kembali untukmu setelah aku sukses dan memiliki pekerjaan yang menurut ayahmu mungkin cukup untuk membahagiakanmu. Namun sebelum aku mengambil keputusan untuk melamarmu langsung di hadapan orang tuamu, sepantasnya aku memohon persetujuanmu dulu. Karena mungkin saja kamu telah menemukan pengganti selepas kepergianku. Jadi, aku tak ingin merusak semuanya jika dugaanku benar-benar terjadi. Karena jikapun kamu memang telah menemukan pengganti, maka aku takkan mungkin melanjutkan niatku untuk melamarmu. Sekarang segala keputusan penuh ada di tanganmu. Kalau kamu memang masih mengharapkanku, maka datanglah lusa ke alun-alun kota tepat pukul empat sore, bertepatan dengan tanggal dan waktu pertama kali kita saling mengucap janji. Karena jika tidak, maka dengan terpaksa, minggu depan aku harus menuruti permintaan ibu untuk menikahi Vera, gadis pilihan ibu yang ibu kenal saat kami tinggal di Bandung. Dia memang gadis yang baik, namun karena rasaku untukmu tak pernah berubah, maka aku hanya ingin menikah denganmu. Dan jika pun tidak, maka setidaknya aku mendapat restumu. Alhamdulillah, Vera sangat mengerti perasaanku. Karena sejatinya, aku memang telah menganggapnya sebagai adikku.

Salam,


Pandu Anggani Putra

Yang senantiasa merindukanmu

Tubuhnya melunglai tatkala Livia selesai membaca bait demi bait aksara yang terangkai oleh tulisan tangan Pandu. Dengan segenap kekuatan yang masih tersisa, akhirnya Livia jalan tergesa berniat menyambangi rumah Pandu. Kebetulan, Pandu menyertakan kartu nama serta alamat lengkap bersama surat yang ia kirimkan. Dalam kartu nama tersebut, tertera jelas bahwa sekarang ia tinggal di jalan Gajah Mada, Tegal. Di dalamnya juga terdapat nomor handphone yang menurutnya akan sangat membantu.

Melihat keadaan itu, tentunya Tania tidak hanya diam. Tania langsung menawarkan bantuan untuk mengantarkan Livia menggunakan sepeda motor yang kemudian ia pinjam dari pamannya. Sementara Tania mengemudikan motor, dalam boncengan Livia sibuk menghubungi nomor handphone Pandu. Akan tetapi usaha Livia tak membuahkan hasil. Berulangkali ia telepon, tak sekali pun terdengar jawaban dari nomor yang dituju.

“Ya Allah, mungkinkah Pandu telah menikah dengan Vera? Sehingga mungkin sekarang mereka sedang berdua dan Pandu telah melupakanku karena aku tidak memenuhi permintaannya untuk datang ke alun-alun kota dua bulan yang lalu?” Bermacam pertanyaan terlontar menggambarkan kegelisahan Livia.

“Sudahlah Liv, berdo’a saja semoga itu tidak terjadi. Pandu masih sangat mencintaimu. Bisa jadi dia masih menunggumu hingga kini. Kamu percaya takdir, kan? Kalau Allah menakdirkan Pandu menjadi jodohmu, niscaya kalian pasti akan bersatu,”

“Aku tahu dan percaya semua itu, Tan. Tapi bukankah kamu tahu sendiri apa isi suratnya tadi? Dia akan menikah seminggu setelah pengiriman surat itu. Dan sekarang, surat itu sudah dua bulan lamanya ia kirim. Rasanya sangat mustahil jika dia masih menungguku. Ini semua gara-gara ayahku,” Nyata sekali kesedihan terpancar dari raut wajahnya.

“Livi, sejak kapan kamu jadi suudzan sama Allah? Kamu juga tidak boleh menyalahkan ayahmu. Toh jika memang demikian adanya, berarti Pandu bukan jodohmu. Allah pasti telah menyiapkan laki-laki lain yang lebih baik untukmu. Dan kamu harus ikhlas menerima takdir-Nya,”

“Baiklah Tan, aku akan ikhlas jika dugaanku benar. Setidaknya aku merasa cukup bahagia mengetahui dia masih mencintaiku,” Livia menghela nafas pelan. Terasa berat, menyesakki kerongkongan.

“Liv, sepertinya ini alamat yang kita car,” tiba-tiba Tania menghentikan sepeda motornya. Dengan segera, Livia lebih dulu turun menghampiri rumah yang di depannya tumbuh pohon mangga yang rindang. Rumah minimalis dengan tembok bercat biru dan taman bunga yang tertata asri. Belum sempat Livia mengetuk pintu, seorang gadis dengan jilbab orange, berwajah nan ayu keluar dari rumah itu.
“Assalamu’alaikum, permisi mbak, apa benar ini rumahnya Pandu?”

“Wa’alaikumsalam, iya benar. Mbak ini? Mbak Livia bukan?” Livia terperanjat karena gadis yang baru kali ini ia lihat ternyata tahu namanya.

“Kenalin mbak, aku Vera,” deg. Hati Livia terasa hancur berkeping-keping mendengar gadis itu menyebutkan namanya. Mungkinkah dugaannya benar? Tapi ah, jika pun benar bukankah dia telah berjanji untuk mengikhlaskannya?

“Mbak Livia, mas Pandu... mas Pandu...” Vera terbata mengeja kata. Jelas sekali ia ingin menyampaikan suatu maksud.

“Ada apa dengan Pandu,Vera?”

“Mas Pandu koma, Mbak. Satu bulan lebih dia tidak sadarkan diri,”
“Masya Allah. Apa yang terjadi dengannya?”
“Dua bulan yang lalu dia mengirimkan surat buat mbak Livia melalui Syaque. Akan tetapi mbak yang dia kira akan datang ke alun-alun kota sore itu tak kunjung datang. Seminggu lamanya mas Pandu selalu menunggu mbak di alun-alun kota setiap sore hingga hari menjelang senja. Namun ternyata harapannya sia-sia. Hingga kejadian naas itu pun terjadi,” Sejenak Vera menghentikan ucapannya dan menghembuskan nafas panjang.

“Di sore itu, seperti biasanya mas Pandu berpamitan untuk pergi ke alun-alun kota. Namun celakanya, saat dalam perjalanan pulang, sebuah truk pengangkut material bangunan menabrak sepeda motor yang dikendarai mas Pandu. Dalam keadaan tak sadarkan diri, mas Pandu langsung dilarikan ke rumah sakit oleh beberapa orang yang melihat kejadian tersebut.”

“Di rumah sakit mana Pandu dirawat sekarang?”

“Di rumah sakit Harapan Anda,” dengan gegas Livia dan Tania langsung meluncur menuju rumah sakit. Mereka mengikuti Vera memasuki ruang ICU kelas VIP di mana Pandu dirawat. Melihat keadaan Pandu, Livia hanya bisa menangis dalam hati. Perlahan, Livia mendekati tubuh yang terbaring lemah tak berdaya. Dan tanpa disangka, setelah beberapa saat lamanya Livia memegangi tangan Pandu, tiba-tiba tangan Pandu bergerak. Sebuah keajaiban yang menakjubkan. Lebih dari sebulan tubuh Pandu tidak menunjukkan reaksi apapun, namun kini, tiba-tiba tubuh malang ini menunjukkan sedikit keajaiban.

“Livia...” Erangan suara dari mulut Pandu membuat semua orang yang berada di situ kaget, terharu, sekaligus bahagia bercampur menjadi satu. Stimulan dari kedatangan Livia ternyata sangat mujarab untuk mampu menyadarkan Pandu.

“Subanallah, Pandu...”

“Li.. Livia, aku... aku... aku mencintai kamu...”

“Aku juga mencintaimu, Pandu. Selama ini aku bertahan hanya untukmu. Karena aku percaya cintamu akan kembali kudapatkan. Dari keyakinan itulah akhirnya aku benar-benar mendapatkan bukti bahwa kau memang masih mencintaiku,” isak tangis sempurna menguasai Livia.

“Aku bahagia mengetahui ternyata kamu juga masih mempertahankan cintamu untukku, Livia. Aku mencintaimu karena Allah. Aku mau, kamu menerima Vera sebagai adikmu. Dan untuk dik Vera, mas nitip mbak Livia sama kamu. Jaga dia baik-baik. Jadilah kalian sebagai mutiara hatiku. Laa ilaa ha ilallah...” Pandu memejamkan mata untuk selama-lamanya. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di depan orang yang sangat dicintainya.

Berbalut kesediahan dan air mata, akhirnya Livia pun mengikhlaskan kepergian Pandu. Dia pikir, mungkin ini adalah yang terbaik baginya menurut ketentuan Allah. Karena sejatinya, manusia hidup karena-Nya, dan kepada-Nyalah manusia akan kembali. Meskipun keinginan untuk bersanding dengan orang yang dicintainya tidak terlaksana, namun setidaknya Livia telah mendengar kenyataan bahwa Pandu masih sangat mencintainya.

*******THE END*******

Purwokerto, 2 Februari 2011 on 02:15 am

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011