KOPERKU SAYANG

Koperku Sayang

Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa

“Jakartaaa, I’m coming...” batin Nayla ketika hendak meninggalkan kota kelahirannya, Yogyakarta. Hati Nayla senang bukan kepalang menyambut kesempatan emas untuk mengisi liburan kenaikan kelas ini di kota Jakarta untuk pertama kalinya. Kesempatan ini juga merupakan pengalaman pertamanya bepergian seorang diri tanpa dikawal sang Papa.


“Siapkan segala sesuatunya dengan teliti, sayang,” mamanya yang senantiasa memperlakukan Nayla layaknya anak kecil memperingatkan. Ya, sebagai anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara, dan pula sebagai anak bungsu, Nayla memang diperlakukan dengan manja. Hal tersebut sebenarnya membuat Nayla tidak nyaman. Ejekan teman-teman di sekolahnya yang seringkali mendarat di telinga membuat Nayla jengah.

“Nay, tidakkah kamu mau merubah niatmu untuk pergi berlibur ke Jakarta? Mama belum tega sepenuhnya melepasmu sendirian. Jakarta itu kejam sayang,”

“Ah Mama. Nay bukan anak kecil lagi, Ma. Nay udah lulus SMP, udah dewasa. Nay bisa jaga diri. Lagipula, di Jakarta kan ada Mbak Lita, keponakan mama sendiri yang udah lama menetap di sana. Nanti kan Mbak Lita juga jemput Nay di terminal jika udah sampai,” Nay semakin jengkel dengan sikap mamanya. “Mama sama Papa kan udah janji, kalau Nay berhasil menjadi lulusan terbaik, Mama Papa bakal ngabulin permintaan Nay untuk berlibur di Jakarta sendirian,”

Setelah melalui perundingan yang cukup alot, akhirnya Nayla berhasil meyakinkan orang tua dan kakak-kakakknya bahwa dirinya akan aman pergi sendirian.

Senyum manis tersungging di bibirnya yang merekah. Nayla, seorang gadis yang baru menginjak usia remaja dengan penuh kemenangan menjejakkan langkahnya di Terminal Giwangan, Yogyakarta, dengan koper hitam berukuran sedang. Ya, untuk sampai di Jakarta guna mengisi liburan, ia memilih untuk naik bus umum ketimbang naik pesawat seperti tawaran yang diajukan mamanya. Sebenarnya, ada rasa was-was yang menyinggahi hatinya ketika bus yang ditumpanginya hendak melaju. Tapi, tekadnya sudah bulat. Kali ini ia yakin untuk bepergian seorang diri, tanpa bayang-bayang orang tuanya.
*@@@*

Semburat warna jingga mulai naik ke peraduan senja. Nayla menatap takjub pemandangan yang dilihatnya di sepanjang perjalanan. Jarak yang harus ia tempuh untuk sampai di tempat tujuan entah masih berapa lama lagi, ia tak mengerti. Riuh gaduh para penumpang yang mengeluh karena bus macet di jalur pantura yang rusak tidak lantas membuat Nayla menyesal atas keputusannya. Ia malah gembira. Karena, itu artinya ia masih bisa dengan leluasa memanjakan matanya dengan pemandangan yang baru kali ini dilihatnya.
*@@@*

Adzan ‘isya telah berkumandang sekitar limabelas menit yang lalu sebelum Nayla menginjakkan kaki di terminal Blok M, Jakarta Selatan. Tempat di mana Mbak Lita berjanji untuk menjemputnya. Seraya menunggu Mbak Lita yang tak kunjung datang setelah pesan singkat dikirimkannya, Nayla memutuskan untuk sejenak melepas lelah di Mushola terdekat sekalian menjamak shalat maghrib dan ‘isyanya.

Sesaat kemudian, Nayla telah usai shalat. Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati bahwa koper serta tas yang berisi ponsel, uang cash dan beberapa barang berharga lainnya raib dari pandangan. Seingatnya, ketika hendak shalat tadi, Nayla menaruh barang bawaannya tersebut tepat di belakang ia menunaikan shalat. Ia tidak tahu hendak kemana melangkahkan kaki. Sementara, nomor telepon Mbak Lita pun tak ia hafal. Mau naik taxi, Nayla juga tidak tahu ke mana alamat yang hendak dituju. Nomor yang ia hafal dengan jelas adalah nomor orang tuanya yang berada di Jogja. Mau menghubungi mereka jelas tidak mungkin. Nayla tidak mau membuat orang serumah khawatir dan panik karenanya. Belum lagi, sudah barang pasti Mama Papanya yang terlalu protected akan menyalahkan tindakan bodohnya memilih liburan di Jakarta seorang diri tanpa mau diantar.

“Ya Allah, kenapa jadi begini? Kenapa aku begitu bodoh sehingga lupa menanyakan alamat lengkap Mbak Lita sebelumnya?” ia masih tergugu dalam lamunannya. Jarum jam telah menunjukkan pukul sembilan malam. Udara malam menyapu tubuh Nayla yang hanya mengenakan t-shirt putih dengan sweater biru muda. Buliran bening mulai meleleh dari sudut matanya yang jelita. Nayla kini sadar, bahwa perjalanannya tak seindah yang ia bayangkan. Ada rasa sesal karena tak mau mendengarkan pendapat Mamanya. Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar terminal Blok M tak satu pun mau menegurnya. Sekarang ia tahu. Bahwa apa yang dikatakan Mamanya benar adanya. Jakarta memang kejam.

Malam semakin larut. Pekat merayap membuat malam terasa mencekam. Tetes-tetes hujan mulai menghujam dari kubah langit. Hati Nayla pilu bagai tersayat sembilu. Air matanya yang kian menderas seiring hujan yang juga menderas membuat matanya sembab. Ia kini seorang diri di tempat asing yang baru saja dijamahnya. Tanpa terasa, saat malam semakin meninggi, Nayla terlelap dengan bersandar di tiang Mushola yang ia jadikan tempat singgah sementara waktu.
*@@@*

“Hey...” mata Nayla membelalak demi mendapati sesosok tubuh tegap di hadapannya. Cukup lama ia terdiam tanpa menjawab teguran si empunya suara. Matanya lekat memandang wajah tampan nan menawan tanpa sedikit pun berkedip.

“Hey, Nona. Adakah yang bisa aku bantu? Tampaknya kau mengalami sedikit masalah?”
tanya pemuda gagah yang kini mengangsurkan tubuhnya untuk ikut duduk di samping Nayla.

“Hey juga. Ehmm.. aku nggak papa kok. Cuma kelelahan...” sahut Nayla dengan nada santai.

“Nggak papa gimana? Kok matanya sembab gitu kayak habis nangis semalaman?” cowok berwajah inocent itu tampak mengakrabkan diri. Ucapannya begitu enak didengar di telinga.

“Oh, ehm... aku.. aku nggak papa kok. Beneran,” Nayla berusaha menutupi kejadian yang semalam menimpanya. Tangan kanannya menyibakkan sebagian rambut yang menutupi wajahnya.

“Beneran nggak papa?” cowok itu kembali mengulang pertanyaannya. Sementara Nayla hanya menjawab dengan anggukan kepala. Ada rasa gengsi menyelimuti hati Nayla untuk mengakui kejadian yang sebenarnya. Belum lagi, ucapan Mamanya tentang kejamnya Jakarta juga masih terngiang dalam ingatannya. Takut kalau-kalau cowok di hadapannya bukan cowok baik-baik.

“Jadi, nggak papa nih kalo aku tinggal?” cowok bertubuh jangkung itu kembali bertanya meyakinkan Nayla. Dalam hati, sebenarnya cowok itu berharap bahwa Nayla akan meminta tolong kepadanya dan menghayal bahwa cewek dengan tubuh semampai di hadapannya ini akan jatuh ke pelukannya. Di mata cowok ini, Nayla layaknya bidadari yang turun di kala gerimis. Jika ditanya siapa gerangan anak manusia yang memiliki kesempurnaan bentuk tubuh, maka dengan yakin ia akan menjawab bahwa gadis itu adalah salah satunya. “Astaghfirullah, mikir apa aku ini?” sadar bahwa pikirannya mula ngelantur, cowok itu malah senyam-senyum sendiri.

“Hello Kak? Kakak nggak papa?” tegur Nayla seraya mengibas-ngibaskan telapak tangannya di muka cowok itu.

“Emm.. emm.. aku nggak papa kok... Oh iya sampai lupa. Kenalin, aku Dika.”

“Nayla,” seraya menyambut uluran tangan cowok yang ternyata bernama Dika. Akhirnya, Nayla mau membagi kisahnya. Ia mulai bercerita awal mula ia berangkat ke Jakarta. Sementara, Dika yang baru dikenalnya mendengarkan dengan seksama.

“Oooh, begitu ceritanya? Tunggu sebentar ya? Jangan ke mana-mana,” Dika
meninggalkan Nayla seorang diri. Beberapa menit kemudian, Dika kembali dengan senyumnya yang mengembang.

“Loh? Itu kan koper dan tasku?” Nayla tampak marah dan langsung merebut tas di tangan Dika. “Jadi, kamu yang ambil barang-barangku semalem? Jadi cowok tega bener sih? Ternyata anggapanku tentang kamu salah besar. Kamu udah membuatku hampir mati ketakutan dengan ulahmu,” Nayla kembali menangis sesenggukan.

“Nay, tunggu dulu. Apa maksud kamu berkata demikian?”

“Apa? Kamu masih tanya apa maksudku?” Nayla emosi setengah mati. Dipencetnya keypad handphone untuk menghubungi Mbak Lita yang pasti mengkhawatirkan dirinya. Dari list history, ada sekitar 50 lebih missed call dari Mbak Lita masuk ke ponselnya.

“Hallo, Mbak Lita. Kirimkan alamat lengkap Mbak lewat sms sekarang juga. Biar Nay ke sana naik taxi. Jangan telepon balik. baterai Nay udah mau lowbat,” ucap Nayla setelah ia yakin bahwa suara di seberang sana adalah suara Mbak Lita. Seperti permintaannya, beberapa saat setelahnya, pesan singkat dari Mbak Lita segera diterimanya.

“Sini, biar aku yang anterin kamu,” tanpa diduga Dika merebut ponsel dari tangan Nayla. “Wah, ini mah deket rumahku. Bahkan, sepertinya aku mengenal beliau. Kalau tidak salah, Mbak Lita adalah seorang desainer cukup terkenal yang membuka butik di kawasan Blok M Square,”

“Eh, nggak sopan banget. Nggak usah S-K-S-D deh. Aku bisa pergi sendiri kali,”

“Jutek amat jadi cewek? Hati-hati loh. Jakarta itu kejam,” mendengar ucapan Dika, tubuh Nayla bergidik juga. Tapi, emosinya terlanjur memuncak dengan cowok di depannya ini, “Nay, koper ini tuh ditemukan penjaga Mushola semalem di depan pintu kamar mandi umum. Mungkin kamu lupa membawanya setelah ke kamar mandi. Sebenarnya, menurut penuturan beliau semalam udah diumumkan sekitar jam sepuluh malem. Hanya saja, mungkin kamu tidak mendengar atau telah tertidur,”

Demi mendengar pengakuan Dika, Nayla tersenyum malu dan minta maaf.

“Maafin Nay Kak Dika. Nay pikir.....”

“Sudahlah, nggak usah dipikir lagi. Yang penting, sekarang kamu harus segera tiba di rumah Mbak Lita. Dia pasti sudah lama menunggumu,”

“Iya, sayang,”

“Apa? Sayang? Benarkah?” Dika terkejut.

“Emm.. enggak, maksudku koperku sayang. Iya, sayang banget jika koper itu sampai nggak ketemu. Soalnya, itu hadiah dari Papa di hari ulang tahunku,”
*@@@*

Selama di Jakarta, Nayla lebih memilih menghabiskan waktunya bersama anak-anak jalanan. Beberapa daerah pinggiran kota Jakarta yang kumuh ia kunjungi. Ia ingin berbagi dan ingin menyaksikan dengan matanya mengenai kehidupan kaum pinggiran yang selama ini hanya ia saksikan melalui layar kaca. Tentu saja, Nayla menjalaninya bersama Dika. Sebab, semenjak insiden lupanya ia menaruh koper di Mushola, ada getaran aneh yang menyusup relung hatinya. Cinta.

Waktu terus menjalari masa liburan Nayla. Tinggal dua hari lagi masa liburannya akan segera berakhir. Ada sebongkah rasa berat meninggalkan kota Jakarta. Ada kenangan mengesankan yang tak sanggup ia hapus begitu saja. Baginya, Dika adalah sahabat sekaligus cinta pertamanya yang ia temui di kunjungan pertamanya ke Jakarta. Ya, kopernya yang dikira hilang karena kelalaian dirinya telah mempertemukan Nayla dengan sosok Dika yang mampu membuatnya terpesona. Baru kali ini ia merasakan indahnya mencintai dan dicintai.

Selama ini, memang banyak cowok yang mengaguminya. Bukan hanya satu dua dari teman atau kakak kelasnya menyatakan cinta. Namun, di mata Nayla, tak ada sesuatu yang menarik hati sehingga Nayla menerima cinta mereka. Ia memilih menjadi jomblowati sejati. Berbeda dengan ketika ia bertemu dengan Dika. Aura yang terpancar dari dalam diri Dika membuat Nayla jatuh hati begitu menatap sorot matanya.

“Gayung bersambut, kata berjawab.” Mungkin ini adalah peribahasa yang pantas buat Nayla. Ternyata, Dika pun merasakan hal yang sama. Ia jatuh cinta kepada gadis berambut lurus sepinggang yang senantiasa dibiarkannya tergerai. Dika kagum terhadap gadis yang begitu peduli dengan anak jalanan ini. Secara tidak langsung, Nayla telah menyadarkan Dika yang selama ini terlalu angkuh. Dika memang hidup bergelimang harta. Namun, hal tersebut tak lantas membuatnya mau berbagi dengan orang miskin. Melalui Nayla-lah Dika sadar akan pentingnya sebuah kepedulian dan arti berbagi dengan sesama.
*@@@*

“Hei Nay. Sendirian aja kamu?” sapa seorang sahabatnya, Fafah, ketika Nayla tengah asyik membaca buku sambil duduk di bangku taman SMA Negeri 3 Yogyakarta. Sebuah sekolah ellite yang dipilihnya sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikannya setelah lulus SMP enam bulan lalu. “Dari tadi aku nyari kamu ke perpustakaan, tapi ternyata kamu malah di sini,”

“Nyari aku? Ada apa emang Fah?” Nayla tampak penasaran dengan ucapan sahabatnya itu.

“Nggak ada apa-apa sih Nay. Cuma kangen aja sama kamu. Hehe..”

“Jiah, dasar kamu Fah. Ada-ada aja,”

“Eh Nay, kamu tahu nggak kalo di kelas 11 IPA 1 ada siswa baru? Dia ganteng loh. Pandai main basket pula. Pokoknya perfect deh,”

“Hemm,,, ceritamu menarik Fah. Tapi hatiku nggak bakal bergeming. Aku udah punya Kak Dika. Cintaku hanya untuknya,” tukasnya yakin. Dalam hati Nayla telah berikrar akan menjaga cintanya sampai mati. Apa pun yang terjadi. Sebagai sahabat, Fafah berusaha mengerti. Ya, meski ia tak yakin dengan sikap Nayla. Sebab, dari cerita Nayla, ia baru sekali bertemu Dika ketika berlibur ke Jakarta. Tapi, setidaknya sebagai sahabat yang baik tentu Fafah menginginkan yang terbaik buat sahabatnya.

“Nay sayang, Papaku ditugaskan di Yogyakarta. Sehingga aku pun ikut pindah sekolah ke Yogyakarta. Tepatnya di SMA Negeri 3. Maaf, aku juga tahu mendadak sehingga nggak sempat ngabarin kamu. Yang jelas, kita akan semakin mudah untuk bertemu. Kasih tahu alamat rumah atau alamat sekolah kamu. Nanti biar aku samperin kamu siang ini juga sepulang sekolah. Hari ini adalah hari ke-tiga aku di sekolah baruku. Aku baru saja ikut latihan basket, karena kemarin, guru olahraga memintaku untuk masuk tim basket.” Sebuah pesan singkat dari Dika tiba-tiba masuk ketika Nayla tengah asyik berbincang dengan Fafah.

Tanpa berkata apa-apa, Nayla langsung pergi meninggalkan sahabatnya di taman dan berlari ke arah bascamp basket. Fafah yang tak mengerti dengan apa yang menimpa sahabatnya hanya bengong. Dan spontan, ia mengikuti Nayla dengan langkah tergesa.

“Kak Dika...” suara Nayla tercekat di tenggorokan.

“Nayla? Ini beneran kamu?” sosok cowok yang masih mengenakan seragam basket berdiri menghampiri Nayla. Sementara, beberapa anggota tim basket dan juga Fafah tertegun melihat adegan mereka.

Nayla bahagia. Kisah cintanya semakin subur. Penyesalan yang sempat singgah ketika ia merasa terasing seorang diri justru dianggapnya sebagai anugerah yang telah mempertemukannya dengan sang arjuna. [ ]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011