IKHLAS

Ikhlas

Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa

Ramli mengempaskan tubuhnya di atas pembaringan, tepat di samping istrinya yang tengah membaca buku. Dipandanginya lekat-lekat wajah istrinya itu.


“Ramli, kapan kamu akan mengambil keputusan untuk menikahi Aisyah?”

“Astaghfirullahal’adziim Ibu. Kenapa Ibu masih saja berpikiran seperti itu? Aku tidak mungkin melakukannya Bu. Aku teramat mencintai Nada,”

“Ibu hanya mau cucu, Ramli. Itu saja, tidak lebih. Setidaknya sebelum Ibu meninggal,”

“Apa yang bisa Ramli perbuat, Bu? Bermacam ikhtiar serta do’a sudah kami lakukan. Namun, agaknya Allah belum berkehendak,”

“Jalankan saran Ibu. Menikahlah lagi dengan Aisyah. Nada adalah wanita yang sholehah. Ibu yakin dia mau mengerti. Jika kamu tidak berani mengatakannya, biar Ibu yang meminta restu Nada,”

Perdebatan dengan Ibunya siang tadi masih terngiang di telinganya. Bermacam gejolak memenuhi ruang imajinya. Ramli tidak mungkin melukai perasaan Nada, istrinya yang teramat ia cintai. Bagaimana pun juga, Ramli paham betul bagaimana perasaannya jika ia berada di posisi Nada.

“Mas Ramli kenapa? Agaknya ada yang sedang Mas pikirkan. Ada yang bisa Nada bantu?” Ah, tiba-tiba saja suara nan menyejukkan itu membuyarkan lamunan Ramli. Betapa jemari istrinya kini telah memagut jemari tangannya dan menggenggamnya erat, penuh kehangatan.

“Tidak apa-apa, Dinda. Mas hanya kecapekan dan butuh senyuman manismu,” Jawaban Ramli seolah mengandung kepalsuan. Senyuman yang tersungging sepertinya tidak benar-benar sepenuh hati. Sebagai istri yang telah mengarungi hidup bersama lebih dari tujuh tahun, Nada menyadari hal tersebut.

“Namun firasatku berkata lain, Mas. Sepertinya Mas tengah menyembunyikan sesuatu dariku,” Masih dengan suara lembutnya, Nada berkata penuh sahaja.

“Tidak, sayang. Percayalah,” Kali ini senyuman Ramli membuat Nada merasakan kedamaian yang luar biasa.

“Kalau begitu, biar Nada yang ngomong sesuatu. Boleh?”

“Tentu istriku sayang. Silakan,” Ramli kembali tersenyum.

“Begini Mas. Agaknya, aku ini memang tidak bisa memberikan keturunan buatmu. Dan aku, telah siap menerima kenyataan terpahit sekali pun,”

“Maksud dinda?” Kebingungan kini tergurat dari wajah Ramli.

“Mas, menikahlah lagi. Aku ikhlas meski sakit. Biar Mas bisa memiliki keturunan,” Nada tersenyum puas dengan kalimat yang barusan berhasil ia rangkai dan terlontar dari mulutnya.

“Siapa yang telah menghasutmu sehingga kamu berkata seperti itu, Dinda?”

“Tidak ada Mas. Demi Allah, ini atas keinginanku sendiri,”

“Tidak sayang. Aku tahu, poligami tidak dilarang agama. Namun, aku juga tidak mau dan tidak akan pernah menduakan cintamu. Karena, aku yakin kamu adalah bidadari surga yang Allah ciptakan untukku. Hanya kamu wanita yang ada dalam hatiku, dan tidak seorang pun mampu menggantikan posisimu, apa pun dan bagaimana pun keadaannya,” jawab Ramli sebelum akhirnya mereka terlelap dalam pelukan malam.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011