RUMAH IMPIAN

Rumah Impian
Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa

Semilir angin membelai dedaunan. Menyibak fenomena di balik lembar kehidupan umat manusia. Rintik hujan yang membersit dari langit seakan memberikan kesejukan bagi semesta, bagi tanah yang telah lama kerontang, gersang, tandus karena kemarau panjang yang menerjang. Bias pelangi di senja itu menggambarkan keagungan Tuhan yang Maha Dahsyat. Menambah indahnya senja, menyulam kata menjadi bait-bait syair nan mempesona. Sebuah senja yang indah bagi jiwa-jiwa yang merindu surga. Seraya mendengar syair Tuhan melalui senandung nyanyian alam yang mengudara bersama nirwana.


Namun tak seperti itu yang tengah dirasakan oleh Nurul. Hatinya terasa gersang. Raut wajahnya pias membiaskan rasa yang tak termaknai. Sepertinya gairah hidup tak lagi menyertai. Auranya yang menawan dan senantiasa penuh keceriaan kini menghilang, tersembunyi di balik wajah ayunya yang tampak sendu. Meski ia selalu tampak tegar di depan orang lain, sungguh pun dalam hati kecilnya sebenarnya tersimpan kesedihan, tentang kisah yang pernah singgah di hidupnya. Kisah manis yang harus berakhir kesedihan. Kisah indah yang akhirnya berujung kesendirian. Ya, seperti itulah gambaran kecil yang tengah dirasakan gadis berjilbab yang kini berdiri di balik jendela kamarnya.

Dua tahun belakangan setelah peristiwa itu Nurul sering terlihat murung, senang menyendiri dalam kamarnya. Ia hanya akan tampak ceria saat berada di tengah orang lain. Sebab ia tidak ingin orang lain ikut terbebani oleh masalah yang seharusnya ia tanggung sendiri. Pun andaikan orang lain tahu ia pikir mereka tidak akan mampu memberi solusi. Kesedihannya akan memuncak saat Nurul berhadapan dengan rabb-Nya, dengan Tuhan yang telah memberikan hidup dan menciptakan bumi sebagai tempat persinggahannya. Sering kali Nurul terisak dalam do'anya hingga berjam-jam lamanya. Mungkin cara itulah yang mampu menentramkan hati yang tengah dilanda gundah.
Senja semakin memerah. Rintik hujan mulai mereda. Jalanan kini lengang. Binatang-binatang yang berkeliaran telah kembali ke peraduannya. Dalam kesendiriannya Nurul semakin tenggelam dalam kisah masa lalunya saat pertama kali bertemu dengan pemuda bernama Fransisco Agustinus, yang biasa ia panggil dengan sebutan Mas Frans. Seseorang yang pernah meluluhkan hatinya. Seseorang yang pernah mengajarkan makna sebuah cinta. Cinta yang sampai kini masih ia genggam erat-erat meski raga tak lagi bersama.

─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄

“Permisi mbak, ada yang bisa saya bantu? Kelihatannya motor mbak mogok ya??". Nurul tengah menuntun sepeda motornya di tengah jalanan sepi. Di kanan kiri jalan terbentang sawah yang luas. Nurul terpaksa harus menuntun sepeda motornya karena sepanjang jalan ia tidak menjumpai bengkel. Di bawah keremangan cahaya rembulan Nurul menuntun motornya menelusuri gulita malam.

"Iya mas..... Rantai motor saya putus..... Bengkel masih jauh nggak ya??" Nurul yang tampak kelelahan menuntun sepeda motornya segera menjawab sapaan pemuda yang tiba-tiba turun dari mobil menghampirinya.

"Di sekitar sini nggak ada bengkel mbak... Lagian udah malem gini... Kalau pun ada pasti udah pada tutup... Kalau tidak keberatan, biar motor mbak nanti dibawa teman saya ke bengkel... Dan mbak saya anterin pulang naik mobil saya... Dijamin aman kok... Gimana mbak??" Si pemuda tadi dengan ramah menawarkan bantuan kepada Nurul. Mengingat dirinya sudah sangat kelelahan dan di situ pun tak ada angkutan umum yang lewat, Nurul menerima tawaran pemuda tadi dengan tetap khusnudzan terhadap rencana Allah. Ia berpikir mungkin pemuda ini adalah orang yang dikirim Allah untuk menolongnya.

"Boleh saja mas... Cuma rumah saya jauh. Apa mas nggak papa? Nanti biar saya bayar jasa mas berapa pun yang mas minta..."

"Tidak usah mbak... Saya nggak minta bayaran... Saya cuma niat untuk menolong mbak. Kasihan cewek malam-malam sendirian di tempat seperti ini... Itu bisa membahyakan diri mbak Loh..."

"Baiklah kalau memang mas nggak keberatan..."

"Tentu saja tidak... Saya senang bisa membantu. Oh iya perkenalkan, saya Fransisco, Panggil saja Frans..." Si pemuda mengulurkan tangannya.

"Saya Nurul..." Nurul mengangkat kedua tangannya dan menelungkupkan di depan dada.

"Oh Nurul... Maaf ya. Ternyata kamu sangat taat kepada agamamu. Kalau begitu tunggu sebentar, saya hubungi teman saya dulu agar ke sini mengambil motormu..."

"Hallo guys... Bisa ke jalan kenanga dekat tugu sekarang juga?? Gue butuh bantuan loe... Motor temen gue mogok... Tolong loe bawa ke bengkel dan loe benerin. Besok gue ambil..." Sesaat kemudian Frans berbicara dengan orang di seberang telephon.

"Beres bro... Gue segera kesana....." Sepuluh menit kemudian seorang laki-laki berperut buncit datang mengendarai mobil open cup. Motor Nurul dinaikkan ke dalam mobil. Setelah mobil open cup tersebut lenyap dari pandangan, Frans baru menghidupkan mobilnya dan meluncur. Nurul duduk di depan, bersebelahan dengan Frans. Frans mengantarkan Nurul pulang ke rumahnya yang beralamat di Jalan Sutejo, Purwokerto.

"Ehmmm, dik Nurul... Boleh kan saya panggil adik? Biar kelihatan lebih akrab gitu..." Frans membuka kebisuan di antara mereka.
"Oh iya Mas Frans, dengan senang hati..." Sesungging senyum manis menghiasi bibir tipis Nurul.

"Kalau boleh tahu, dik Nurul ini dari mana tho? Kok malam-malam gini ada di sini?"
"Dari Baturraden mas, dari tempat temen lama saya ketika di SMP dulu..."
"Oh gitu... Kalau boleh, tanya sekali lagi nih dik... Dik Nurul ini kuliah atau kerja??"

"Saya kuliah di UNSOED jurusan Sastra Inggris semester lima... Mas Frans sendiri?? Dari performancenya Nurul tebak Mas Frans ini pengusaha sukses ya?"
"Ah kamu bisa saja... Saya ini seorang pengacara, pengangguran banyak acara... Hahaa....."

"Stop stop mas... Ini rumah saya udah nyampe... Terima kasih banyak ya pertolongannya?? Saya nggak tahu bakal gimana jadinya kalau nggak ada Mas Frans... Mari mas mampir dulu, biar saya buatkan minuman hangat....." Nurul menghentikan Frans tepat di depan rumah minimalis dengan paduan cat berwarna coklat dan krem.

"Nggak usah repot-repot dik. Saya langsung pulang aja. Oh iya, ada nomor yang bisa dihubungi? Mungkin besok saya anterin motornya agak sorean... Soalnya pagi-pagi sekali saya harus ke Semarang.. Ini kartu nama saya. Kalau ada apa-apa hubungi saya aja..."

"Sebentar mas..." Nurul menerima kartu nama yang disodorkan oleh Frans. Kemudian ia mengambil blocknote dari tas dan mencatat nomor handphonenya untuk diberikan kepada Frans.

"Ini Mas Frans. Sekali lagi makasih ya... Kalau mas nggak mau mampir ya udah, mas ati-ati di jalan..." Senyuman yang selalu terlihat menyejukkan kembali tersungging dari bibir Nurul.

Seiring waktu berjalan. Frans merasa jatuh hati terhadap gadis dengan jilbab panjang bernama lengkap Atiefah Nurul Azkia yang pernah ia tolong pada suatu malam. Jarak bukan menjadi halangan. Frans yang tinggal di Baturraden rela jauh-jauh datang ke Purwokerto setiap akhir pekan hanya untuk menemui Nurul. Perhatian Frans terhadap Nurul bersambut baik. Diam-diam hati Nurul luluh dengan perhatian yang diberikan oleh Frans. Mereka adalah dua insan berbeda agama. Frans yang memiliki nama lengkap Fransisco Agustinus adalah seorang protestan yang taat. Sedangkan Nurul sendiri seorang muslimah yang juga taat pada agamanya. Meskipun begitu adanya, keyakinan tidaklah menjadi penghalang ketulusan cinta mereka. Frans sangat menghargai Nurul sebagai seorang muslim. Frans pun tahu mengenai batasan hubungan antar lawan jenis.
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄

Suatu hari di sebuah danau, dua insan tersebut saling mengucap janji setianya.

"Dik Nurul... Aku ingin sekali membina rumah tangga bersamamu... Membangun sebuah rumah impian yang kelak akan dihiasi oleh tangis dan gelak tawa anak-anak kita. Aku berjanji akan setia menunggumu hingga kamu siap. Hanya dirimu yang mampu mengisi ruang kosong dalam hatiku dik..."

"Rumah impian??" Nurul bertanya dengan tatapan berbinar. Mata indahnya memancarkan kebahagiaan yang tiada dapat terlukis dengan untaian kata.

"Iya dik, rumah impian... Rumah dimana kita bisa menghabiskan hari-hari kita bersama di sana... Rumah yang akan menjadi tempat bernaung kita hingga akhir menutup mata..."

"Ya mas, aku pun berharap demikian... Tapi..."

"Tapi kenapa dik? Apakah kamu tidak mencintai aku?"

"Bukan begitu Mas Frans... Aku sangat mencintaimu. Tapi rumah impian yang aku inginkan lebih cenderung ke tempat persinggahan di kehidupan ke-dua setelah kehidupan dunia. Yaitu surga sebagai rumah impianku kelak di akhirat... Yang sering disebut-sebut dalam kitabku. Dan aku ingin kita bisa bersama-sama memasukinya..." Mendengar ucapan Nurul, Frans terdiam sejenak.

"Iya dik, aku menghargai keinginanmu..."

"Tapi mas juga perlu tahu, aku pun ingin mewujudkan impian mas untuk membangun rumah impian kita yang kelak akan jadi tempat bernaung kita bersama anak-anak..." Senyum Nurul mengembang.
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄

Dua setengah tahun lamanya Nurul menjalani cintanya dengan Frans. Namun nasib baik tak berpihak pada hubungan mereka. Kenyataan pahit pun harus ia terima dengan lapang setelah orang tuanya mengetahui adanya perbedaan keyakinan di antara mereka.

"Pokoknya Abi nggak sudi kamu menikah dengan laki-laki itu... Kecuali kalau dia mau masuk islam..." Ucapan bapaknya bagai halilintar yang menyambar, membuat hati Nurul hancur berkeping-keping. Di samping itu, Nurul juga harus mendengar kenyataan yang diucapkan oleh Frans.

"Dik, sepertinya cinta kita tidak mungkin dilanjutkan... Orang tuamu tidak merestui hubungan kita selama aku beda keyakinan denganmu... Sementara orang tuaku pun mengajukan persyaratan yang sama..." Nurul hanya mengangis demi mendengar pernyataan yang terlontar dari mulut Frans. Nurul sadar betul bahwa cinta yang selama ini dijalaninya adalah cinta yang terlarang, cinta yang tidak pantas dan bukan merupakan hubungan yang baik di mata Allah. Dengan perasaan berkecamuk Nurul mencoba berdamai dengan hatinya.

"Dan alangkah baiknya kita jangan saling bertemu dulu... Biar kurenungkan kesalahanku dan kaurenungkan kekeliruanmu... Yakinlah, jika Tuhanmu juga Tuhanku menakdirkan kita berjodoh, niscaya suatu saat pasti kita akan bersatu kembali..."

"Allahuakbar Allahuakbar..." Adzan maghrib telah berkumandang. Tanda bahwa Allah telah memanggil untuk segera menghentikan segala aktifitas kita dan berpaling untuk menghadap-Nya. Spontan Nurul terhenyak dari lamunannya. Bayangan Mas Frans yang hanya tinggal kenangan masih bergelayut di kelopak matanya.

Nurul bergegas mengambil air wudhu dan sholat berjamaah bersama ibu dan kedua adik kembarnya yang baru berusia tujuh tahun. Nazril dan Nuril. Kembar identik laki-laki dan perempuan. Dengan diimami oleh bapaknya.

Seusai sholat, Nurul tidak langsung beranjak dari tempat sholat meski orang tua dan adik-adiknya telah lama meninggalkan dirinya menuju ruang keluarga. Dalam kesendiriannya, tiba-tiba suara lembut yang sangat familiar membuyarkan segalanya.
"Nurul, kemari nak, ada tamu untukmu..."

"Tamu? Untuk Nurul umi?" Nurul heran karena tidak biasa-biasanya ada tamu datang malam-malam begini. Terlebih untuk dirinya.

"Iya nak, untukmu... Cepatlah kemari...!! Kasihan mereka menunggu lama..."

"Mereka? Siapa gerangan yang umi maksud?" Pertanyaanya hanya sampai ujung lidah tanpa ia ucapkan.

"Subhanallah... Mas Frans? Om? Tante?" Nurul tertegun memandangi wajah-wajah di hadapannya secara bergantian. Awalnya Nurul mengira ini semua hanya mimpi. Tapi ternyata apa yang ia lihat bukanlah mimpi melainkan kenyataan. Mas Frans yang selama dua tahun menghilang kini muncul kembali di depan matanya. Yang tidak kalah membuatnya terkejut adalah penampilan Frans dan kedua orang tuanya. Frans mengenakan baju koko dan peci berwarna orange, yang membuatnya terlihat lebih tampan dan gagah. Sungguh penampilannya kini berbeda jauh dengan penampilannya dua tahun yang lalu. Dulu ia memang terkesan rapi, selalu mengenakan kemeja, dan perawakannya yang tinggi tegap ditambah dengan ketampanan yang melekat pada wajahnya membuatnya terkesan ramah dan berwibawa. Tetapi kini sungguh luar biasa, penampilannya begitu islami. Sedangkan kedua orang tuanya pun juga terlihat islami. Ini semua membuat Nurul terkagum-kagum. Apa lagi apa yang sekarang ia lihat sama sekali tak pernah terlintas dalam pikirannya.

"Dik Nurul, aku bukan lagi Frans.. Sekarang namaku Tofik Firdaus... Maksudku datang kesini adalah guna menepati janjiku untuk melamarmu. Janji untuk membangun rumah impian kita... Melalui perenungan selama bertahun-tahun aku mendapat kesimpulan bahwa hanya dalam islamlah aku dapat menemukan cinta sejati. Cinta yang semoga akan mengantarkan kita menuju rumah impian yang pernah kau ceritakan dulu... Karena di rumah impian berupa surga tersebutlah kita akan menjumpai kebahagiaan nyata yang abadi..."

"Subhanallah... Allahuakbar..." Pujian atas Allah terlantun dari bibir kedua orang tua Nurul serta Nurul sendiri yang masih tetap menyuguhkan senyuman manis menyejukkan seperti dulu.

"Subhanallah... Senyummu masih tetap menyejukkan seperti dulu, Dik... Alhamdulillah, hidayah Allah membawaku kembali bertemu denganmu. Aku sangat butuh dukunganmu dalam menjalani hariku Dik... Aku masih butuh bimbingan untuk memperkuat imanku... Sudikah kau menerimaku, Dik??"


Dengan senyumnya Nurul menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Mereka menganggukan kepala pertanda setuju. Tanpa berpikir panjang dan tanpa banyak pertimbangan Nurul pun menerima lamaran Frans yang kini telah menjadi muallaf dengan nama Tofik Firdaus. Subhanallah... Keagungan Allah memang luar biasa. Apapun akan terjadi jika Dia menghendakinya. Bahkan di saat sesuatu itu jauh dari nalar kita atau terasa mustahil. Tapi bagi Allah tidak ada kata mustahil, semua bisa saja terjadi jika Dia telah berkehendak. Subhanallah... Allahuakbar...[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011