Bias Senyum Ilena

Bias Senyum Ilena
Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa

Rona jingga menggelayut manja di ujung senja. Sementara Ilena masih terdiam di sudut taman seorang diri. Nyata terlihat di wajahnya ada segumpal resah yang memenuhi ruang otaknya. Keceriaan yang senantiasa menghiasi wajah ayunya kini memudar tergantikan oleh raut mendung. Semangat hidup tak lagi melekat dalam dirinya.


“Ilena, apa yang sedang kamu lakukan di sini? Bukankah seharusnya sekarang kamu bertunangan dengan Tian?” suara pelan namun tegas tiba-tiba datang membuyarkan lamunan Ilena.

“Tian bukan untukku Rob... Dia tidak mencintaiku,” Ilena menjawab tanpa menoleh ke arah datangnya suara.

“Lho lho, bagaimana mungkin? Bukankah kalian sudah dekat semenjak masih SMA hingga sekarang kalian hampir menyelesaikan S1 di fakultas yang sama? Bukankah cinta kalian sangat luar biasa? Sehingga seluruh warga kampus pun mengenal kalian sebagai pasangan paling romantis yang tak ada duanya?” laki-laki yang kini telah duduk tepat di samping Ilena langsung menjawab penuh keterkejutan.

“Anggapan itu salah besar Rob. Mungkin dulu benar. Tapi, sekarang anggapan itu tak lebih dari sejarah yang telah termakan zaman,” suara Ilena masih tetap tidak berubah. Terdengar pilu dan penuh aroma kesedihan. Sementara wajahnya semakin muram layaknya bunga layu.

“Aku masih belum mengerti dengan ucapanmu Len,” laki-laki bernama Robby semakin penasaran dibuatnya.

“Biar aku jelasin Rob. Seperti rencana semula Tian dan keluarganya akan datang ke rumahku hari ini. Dan ternyata mereka menepatinya. Mereka datang tepat waktu. Tapi... Tapi... Ahh, aku tak sanggup meneruskannya Rob. Ini terlalu menyakitkan buatku,”

Ilena tak kuasa menahan derai air yang berloncatan dari matanya. Wajahnya tertunduk lesu. Sebagai sahabat yang sebenarnya telah lama menaruh hati pada Ilena, Robby merasa tidak tega melihat gadis yang kini tengah duduk di sampingnya itu bersedih. Dengan penuh kasih Robby membiarkan Ilena bersandar di dada bidangnya.

“Ya sudah, tenangkan hatimu dulu... Nanti kalau kamu bersedia, kamu bisa cerita lain waktu,” suasana di taman itu berubah lengang. Tak ada lagi sepatah kata yang keluar dari mulut mereka. Yang terdengar hanya riak air yang mengalir di sungai kecil yang mengitari taman serta isak tangis Ilena yang masih menggema jelas di telinga Robby.


“Robby, kamu tahu apa yang terjadi?" sambil mengangkat kepalanya, sesaat kemudian Ilena bertanya memelas. Sementara Robby hanya menjawab dengan gelengan kepala.

“Ternyata, kedatangan Tian dan keluarganya tidak lain adalah untuk membatalkan rencana pertunangan kami... Dan yang paling mengejutkanku, alasan mereka adalah.....” air mata Ilena kembali menderas. Pandangannya tertunduk. Robby semakin iba melihat kondisi Ilena.

“Ternyata Tian telah menghamili Hilda. Sahabatku sendiri. Aku nggak habis pikir mereka tega ngelakuin semua ini,” suara Ilena masih terisak.

“Astaghfirullahal'adziim. Kamu yang sabar ya Len? Allah pasti punya rencana lain di balik semua ini,” antara iba dan bahagia, Robby merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk mengambil simpati Ilena. Tapi bukan kali ini. Mungkin lain waktu di saat yang tepat. Bagaimana pun juga Ilena butuh waktu untuk menenangkan diri. Robby pikir tidak etis menyatakan cinta di kala hati si cewek tengah dilanda nestapa.

“Mudah-mudahan saja ucapanmu benar Rob. Semoga Allah telah menyiapkan laki-laki terbaik buatku.” kali ini Ilena berusaha tersenyum meski masih terlihat kaku.
***

Detik waktu kian berlalu. Ilena sudah mulai bisa melupakan kesedihannya dikhianati sahabat dan kekasih yang dulu ia puja. Sementara Robby pun mulai menunjukkan perhatiannya. Setiap hari ia tak henti memotivasi Ilena agar tetap tegar dan semangat dalam mengarungi hidup. Sikap Robby membuat Ilena kembali menumbuhkan rasa percaya dirinya. Betapa ia merasa nyaman dengan keberadaan Robby, dan menganggapnya sebagai pahlawan yang menghadirkan sebongkah salju di tengah kegersangan hatinya.
Selang beberapa bulan, Ilena berhasil menyelesaikan skripsinya. Dan Ilena pun kemudian diterima bekerja di sebuah instansi swasta. Selidik punya selidik, ternyata Hilda dan Tian bekerja di tempat yang sama. Parahnya lagi mereka merupakan atasan Ilena. Menahan tekanan batin karena setiap hari Ilena harus melihat dua pengkhianat itu seolah sengaja memamerkan kemesraan mereka di hadapannya, Ilena harus kembali dihadapkan dengan kenyataan bahwa ia tidak mungkin berhenti dari pekerjaannya. Selain karena susahnya mencari pekerjaan di jaman sekarang ini, ia pun harus membiayai ibunya yang sakit-sakitan dan ketiga adiknya yang masih sekolah. Sedangkan bapaknya telah lama dipanggil Allah, dalam sebuah kecelakaan saat adik bungsunya yang kini berusia sebelas tahun masih dalam kandungan.
Di tengah kemelutnya hidup, Ilena mencoba bertahan meski batinnya perih, hatinya terluka. Dengan tetap mendapat suport serta dukungan dari Robby, Ilena mampu menghadapi hari-harinya yang terasa menyesakkan dada.
Seminggu menjelang hari ulang tahunnya, Ilena dikejutkan oleh kedatangan om Beny, adik kandung almarhum ayahnya yang tinggal di luar kota. Om Beny memberitahukan bahwa tepat di hari ulang tahun Ilena, seorang kenalan Omnya itu akan datang melamar Ilena. Dan yang membuatnya penasaran, katanya orang yang akan melamar itu sudah mengenal Ilena dengan baik. Bahkan sejak SMA hingga lulus kuliah mereka bareng.

Akan tetapi, yang membuat Ilena penasaran, Omnya itu tidak mau memberitahukan siapa gerangan nama laki-laki itu. Sejuta tanya melingkupi ruang kepalanya. Ilena tak mampu menerka. Teman satu kampus dulu yang dari satu SMA bukan hanya dua atau tiga orang. Entah berapa ia sendiri tidak mampu mengingatnya dengan sempurna. Ada Ricky, Ega, Rafa, Fathan, Jodhy, Lewis, Wildan, Rio dan beberapa yang lainnya. Termasuk Tian dan Robby. Mereka semua adalah sahabat-sahabat yang cukup dekat dengannya.

“Lena, Om dan keluarga calon suamimu sudah menyiapkan semuanya. Kamu sudah siap kan jika minggu depan setelah tunangan sesegera mungkin kalian menikah? Om jamin kamu nggak akan kecewa,” dengan pasti Ilena hanya menganggukkan kepala untuk mengiyakan meski ia sendiri belum mengetahui siapa laki-laki itu. Ia pikir ini adalah jawaban atas do'a-do'anya selama ini. Do’a mengenai pengharapan atas laki-laki pengganti Tian, yang senantiasa ia pinta di setiap bait do’a yang ia lantunkan.
***

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ilena dibantu Om dan Tantenya menyiapkan jamuan makan untuk tamu istimewa yang hendak bertandang ke rumahnya. Pukul sebelas siang, keluarga laki-laki yang akan melamar Ilena datang. Jantung Ilena berdegup kencang. Nafasnya menggemuruh. Namun, sedapat mungkin Ilena mencoba bersikap wajar.
Ilena tampak anggun dengan baju kebaya modern berwarna biru muda dan rambutnya yang diatur minimalis. Dengan dituntun Tantenya, Ilena keluar dari kamar dengan mata tertutup kain. Entah apa maksudnya Ilena pun tak mengerti. Baru setelah ia duduk, tutup matanya itu dibuka. Demi mendapati laki-laki yang sangat ia kenal ada di hadapannya, ia terkejut bukan main. Entah ia harus bersedih atau bahagia dengan fakta yang ada.

“Ada apa ini? Hilda, mau apa kamu ke sini? Dan Tian, apa maksud semua ini? Kalian mau membuatku gila?” Ilena kehilangan kendali. Emosinya meledak seketika melihat sosok yang sekian bulan lalu telah merenggut keceriaannya. Air mata yang menggenang dan mulai mengalir di pipinya melunturkan make up yang menghiasi wajahnya.

“Ilena tenang dulu. Jangan emosi gitu. Biar kita jelaskan..!!” secepat kilat Hilda langsung melontarkan ucapan untuk meredam emosi Ilena.

“Nggak ada yang perlu dijelaskan Hilda. Kamu nggak lebih baik dari seorang sahabat yang begitu tega,” dengan suara lantangnya, Ilena terus memaki sambil sesekali menyeka air mata yang tak mau berhenti mengalir.

“Ilena sayang, kamu tenang dulu ya. Ini salahku.”

“Apa sayang sayang? Iya, ini memang salahmu Tian. Dan juga dia,” tangan Ilena menunjuk ke arah Hilda. Kebencian yang teramat sangat sepertinya telah mengakar dalam hati Ilena. Ya, penghianatan yang ia alami telah menghapus persahabatannya dengan Hilda. Ilena benar-benar telah menganggap Hilda bukan lagi sebagai sahabatnya, melainkan sebagai musuh dalam selimut yang dengan begitu tega menusuknya tanpa belas kasihan.

“Sabar Lena sayang, redam emosimu. Biar Tante jelaskan semuanya." Tantenya berusaha membujuk Ilena agar ia tak lagi marah.

“Tante tahu apa? Hati Lena sakit Tante. Sakit banget. Tante mau membenarkan tindakan kejam mereka terhadap keponakan tante ini?” air matanya kian menderas. Ilena kalut. Hatinya terasa bagai tertusuk duri tajam yang beracun.

“Maksud Tante bukan begitu sayang. Makanya kamu dengerin dulu. Mereka nggak salah. Mereka hanya......”

“Hanya apa tante? Hanya ingin membuatku hancur? Tante jahat. Tante sama saja dengan mereka,” belum juga Tantenya menyelesaikan kalimatnya, Ilena keburu memotongnya.

“Tenangkan hatimu sayang. Nak Tian sangat mencintaimu. Dia bersama Hilda hanya ingin memberikan kejutan untukmu.”`

“Iya Ilena, ini semua ideku. Aku ingin memberi kejutan di hari ulang tahunmu. Seperti janjiku dulu untuk melamarmu tepat di hari ulang tahunmu setelah kita lulus kuliah. Dan sekarang, aku tepati janjiku.”

“Bagaimana mungkin Tian? Gimana dengan Hilda istrimu?” raut wajahnya diliputi kebingungan. Ilena tidak bisa seutuhnya memahami kalimat yang terucap dari lelaki yang dulu pernah menempati istana hatinya.

“Istriku? Siapa yang bilang kita merit?” Tian tersenyum simpul.

“Aku memang nggak tahu kalian merit. Sebab, sejak saat itu aku nggak mau tahu tentang kalian. Aku nggak peduli mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kalian,” air matanya mulai mereda.

“Lantas, kalau kalian nggak merit, bagaimana nasib janin dalam kandungan Hilda?” kini, tangis itu benar-benar telah mereda dengan sempurna, meski sisa-sisa butiran beningnya masih menyisakan kepedihan.

"Ilena Ilena, kamu lihat nggak perutku membesar? Padahal peristiwa itu sudah lima bulan yang lalu bukan?" Ilena hanya terdiam. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sementara, semua yang hadir menertawakan Ilena seolah ada hal lucu dalam dirinya.

"Honey, jangan bingung gitu ahh... Kalau wajahmu bingung gitu, aku jadi semakin cinta sama kamu. Habis kamu lucu. Lucunya mengalahkan lucunya om Badut yang biasa mejeng di Dufan tau. Hahaha.....” Tian mendaratkan sentuhannya di pipi lembut Ilena. Penuh kasih ia mengusap bekas air mata yang masih menempel.

“Jadi gini. Ini semua ideku. Aku minta bantuan Hilda untuk pura-pura hamil. Karena dengan begitu aku bisa dengan mudah menyiapkan kejutan ini untukmu. Hilda yang membantuku mencarikan gaun pengantin untuk kita berdua.Undangan juga sudah disebar. Dan itu semua Hilda yang mendesainnya. Sampai konsep dan tempat pernikahan semua sudah diatur dengan baik. Ini semua tak lepas juga dari bantuan om Beny. Jadi sekarang gimana? Kamu mau kan menerima lamaranku?”

“Om Pandu? Tante Hanum?” Ilena menatap wajah kedua orang tua Tian.
“Mbak Ilena, selamat ulang tahun ya? Jangan pernah bersedih lagi. Karena sekarang, Mas Tian telah kembali.”

Liana, Deny dan Lukita, ketiga adik Ilena yang tadi pagi pamit hendak bermain tiba-tiba datang membawa kue tart ukuran besar dengan lilin angka dua puluh tiga di atasnya. Semua ini tak lain adalah salah satu kejutan yang juga sudah disiapkan oleh Tian dengan bantuan Talitha, kakak kandung Tian yang sudah berkeluarga. Menyaksikan semua itu Ilena kembali terisak. Kali ini, isak tangisnya adalah tangis haru yang menggambarkan kebahagiaan hatinya. Karena, pujaan hatinya kini telah kembali ke dalam dekapannya. Mimpi merajut impian bersama lelaki terkasih telah berada di ambang mata untuk merealisasikannya. Tian, dengan ketegasannya resmi melamar Ilena tepat di hari ulang tahun Ilena yang ke-23.
Semua yang hadir bersuka cita di tengah acara lamaran dari pihak keluarga Tian yang sudah dengan matang direncanakan sebelumnya. Selepas acara tunangan selesai, kemudian dilanjutkan dengan acara perayaan ulang tahun Ilena yang sempat tertunda karena kejadian tadi.

“Tian, maafkan aku. Aku telah berburuk sangka terhadapmu. Aku malu dengan sikapku yang seperti anak kecil tadi,” Ilena tersenyum malu.

“Nggak papa sayang. Aku harap kamu tidak lagi marah terhadapku. Maafkan jika kejutanku ini malah membuatmu sedih dan emosi. Maafkan jika kejutanku telah melukaimu.”

“Tian. Awalnya aku memang sangat terluka. Namun, sungguh ini adalah sebuah kejutan yang paling berkesan seumur hidupku. Aku sangat bersyukur bisa mencintai dan dicintai olehmu,” sesungging senyum manis disuguhkan oleh bibir tipis Ilena. Kini, tak ada lagi raut kecewa atau marah dalam rona wajahnya. Semua telah lenyap menjelma bahagia yang tak terkira.

“Hilda, maafkan aku yang telah membencimu. Terimakasih atas semua hadiah yang telah kauberikan di hari ulang tahunku. Sungguh, kau adalah sahabat tak tergantikan bagiku. Hadirmu adalah selaksa embun dalam dahagaku. Aku merasa sangat berdosa telah salah menilaimu,” Ilena memeluk tubuh Hilda. Cukup lama mereka saling berpelukan, menikmati indahnya menyatu dengan seorang sahabat.

“Sudahlah Ilena. Aku pun bangga memiliki sahabat sepertimu. Aku hanya sekedar membantu Tian, yang tak lain adalah demi kebahagiaanmu, kebahagiaan kita semua. Kebahagiaanmu kebahagiaanku juga,” demi mendengar ucapan Hilda, Ilena pun mempererat pelukannya.

Semesta raya turut serta bernyanyi riang, menghias tadabur alam menjadi pelengkap kebahagiaan yang tengah dirasakan oleh Ilena, Tian, beserta seluruh pihak yang hadir dalam acara itu. Raut sedih yang selama berbulan-bulan membayangi wajah Ilena kini berbias menjadi senyum bahagia, yang membahana bersama nirwana. Tak ada lagi kekecewaan. Tak ada lagi kesedihan. Tak ada lagi luka. Tak ada lagi air mata. Semua berpendar, berbaur bersama bias pelangi selepas gerimis. Terasa indah, terasa menenteramkan. [ ]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011