Pendar Senyum Keikhlasan

Pendar Senyum Keikhlasan

Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa
Pucuk-pucuk pepohonan masih basah akibat hujan yang baru saja mengguyur kota Purwokerto. Genangan air tampak menghiasi beberapa jalanan yang mulai berlubang. Nayla, seorang gadis berkerudung biru muda, terlihat berdiri di depan gerbang kampus STAIN Purwokerto. Agaknya ia tengah menunggu seseorang. Oh bukan, ternyata ia tengah menunggu angkutan kota berlabel B2. Hal itu terbukti beberapa saat kemudian, setelah angkot berwarna orange itu berhenti tepat di depan Nayla berdiri. Begitu angkutan kota itu berhenti, Nayla langsung menghambur masuk ke dalamnya.


Selama Nayla menunggu angkutan kota tadi, ternyata tanpa sepengetahuan Nayla ada sepasang mata yang mengawasi gerak-geriknya. Sepasang mata milik seorang pemuda yang juga merupakan mahasiswa STAIN Purwokerto. Pemuda itu bernama Rifa’i. Lengkapnya Muhammad Rifa’i. Beberapa hari belakangan, pemuda yang mengambil kuliah jurusan dakwah, dan menginjak semester lima ini memang terlihat sering mengamati Nayla, mahasiswi jurusan Tarbiyah yang kini baru semester satu. Entah apa yang membuatnya seperti itu, ia sendiri memilih diam ketika ditanya oleh Akbar, sahabatnya yang selalu setia menemani di segala situasi.

Ya, Rifa’i dan Akbar memang selalu terlihat bersama-sama. Awalnya, mereka tidak saling kenal satu sama lain. Rifa’i sendiri berasal dari Purbalingga, sedangkan Akbar berasal dari Brebes. Keakraban mereka terjalin saat ruang dan waktu mempertemukan mereka dalam sebuah wadah, yaitu jurnalisme kampus. Mereka yang berasal dari jurusan berbeda bertemu saat sama-sama dilantik menjadi staff jurnalisme majalah Obsesi, majalah kampus yang dikelola dan dikembangkan di STAIN Purwokerto.

Kembali lagi kepada gadis bernama Nayla. Rifa’i mengenalnya tanpa sengaja, ketika ia membaca artikelnya yang masuk ke redaksi Obsesi. Kebetulan, ia memegang jabatan sebagai editor. Sehingga ia menangani langsung setiap tulisan yang masuk. Saat membaca artikel Nayla, Rifa’i langsung jatuh cinta, lantaran bahasanya yang mengalir dan objektif, mudah dipahami serta sarat makna. Dari situ Rifa’i mengetahui bahwa gadis yang memiliki nama lengkap Nayla Zakiyatun Fadillah adalah mahasiswi jurusan Tarbiyah, semester satu. Kekagumannya pada tulisan-tulisan Nayla membuat Rifa’i penasaran dengan pemilik nama itu. Alhasil, dengan bantuan adik sepupunya yang kebetulan kuliah di fakultas yang sama dengan Nayla, Rifa’i pun berhasil memperoleh keterangan mengenai Nayla.

“Mas Rifa’i, antar Lutfi ke Moro sebentar yuk... Lutfi mau belanja keperluan yang sudah menipis...” Lutfi, adik sepupu Rifa’i tiba-tiba muncul sambil menepuk pundak Rifa’i dari belakang. Spontan Rifa’i pun kaget karenanya.

“Ah kamu Fi, ngagetin mas saja...”

“Yee, lagian mas sih, habis hujan gini bukannya berteduh malah bengong di depan pintu gerbang...!!!”

“Lah kok kamu baru keluar Fi? Bukannya jam kuliahmu sudah selesai dari tadi?? Nayla saja sudah lama pergi tuh...”

“Ehem ehem... Jadi alasan mas di sini habis ngeliatin Nay ya??”

“Ah sok tau kamu Fi...!! Mas tadi cuma kebetulan saja lihat Nayla naik angkot...”
“Kebetulan apa disengaja?? Hayo ngaku??” ledek Lutfi. Sementara Rifa’i tampak tersipu malu dengan ucapan adik sepupunya itu.

“Sudah-sudah, ayo cepat! Jadi ke Moro nggak?? Soalnya, nanti sore mas ada kegiatan...” Sejurus kemudian Rifa’i mengalihkan pembicaraan Lutfi, demi menutupi rasa nervous yang menyelimuti hatinya.

***************************************

Senja mulai merekah. Nayla tampak bergegas menjejakkan langkah, meninggalkan pelataran pesantren Al-Hidayah. Hari ini hari Sabtu, Nayla baru saja selesai mengikuti kajian di pesantren Al-Hidayah, yang dilaksanakan secara rutin setiap akhir pekan. Sebagai gadis yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai islam, Nayla memang senantiasa memanfaatkan waktu luangnya untuk mengikuti kajian-kajian yang ada, di samping ia juga menyibukkan diri dengan hobby menulisnya. Hal itu dilakukan oleh Nayla dengan maksud agar dirinya tidak mudah terjerumus arus yang menyesatkan. Karena dalam pandangannya, banyak generasi muda sekarang berperilaku menyimpang dari ajaran agama. Contohnya saja pacaran, memakai kerudung tetapi baju yang dikenakannya ketat dan kelihatan lekuk tubuhnya, serta masih banyak lagi perilaku-perilaku lainnya yang bertentangan dengan hukum syara’. Dan ia pun tidak mau hal tersebut menimpa dirinya.

Bukan Nayla namanya kalau ia hanya mementingkan diri sendiri. Demi menyalurkan dakwah, Nayla mencetuskan kegiatan mentoring keislaman di fakultasnya, dengan dirinya sendiri sebagai koordinator. Selain itu, ia juga selalu menulis dengan tema yang mengandung nilai-nilai islam untuk dikirimkan ke redaksi Obsesi. Baik dalam bentuk artikel, cerpen, essai bahkan puisi. Tujuannya tak lain adalah untuk berbagi kepada seluruh pembaca Obesi, khusunya para mahasiswa STAIN Purwokerto. Melalui tulisannya, dengan cepat Nayla dikenal oleh seluruh warga kampus, meskipun keberadaannya di kampus tersebut belum terlalu lama.

“Assalamu’alaikum...” Telinga Nayla menangkap suara asing yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Sejenak lalu Nayla menjawab salam tersebut, setelah mengetahui arah datangnya suara.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah...”

“Subhanallah, betapa indahnya suaramu Nayla...”

“Afwan, mas ini siapa? Tahu namaku dari mana? Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” Dengan nada heran, Nayla melontarkan tanya.

“Oh iya, perkenalkan, namaku Rifa’i. Aku anak dakwah semester lima. Aku tahu namamu dari tulisanmu yang rutin mengisi meja redaksi Obsesi. Kebetulan aku memegang jabatan sebagai editor atas semua tulisan yang masuk...” Senyuman dari wajah laki-laki yang baru dilihatnya menggetarkan hati Nayla. Ah, sebenarnya Nayla sudah sering bertemu dengan Rifa’i. Hanya saja Nayla tidak begitu memperhatikannya.
“Oh, begitu.. Pantas saja aku tidak kenal.”

“Kalau boleh aku tahu, Nayla dari mana apa hendak ke mana??”

“Biasa mas, habis mengikuti kajian, iseng saja cari kesibukan dari pada boring. Mas Rifa’i sendiri?”

“Kalau aku sih habis jalan-jalan menikmati suasana senja. Habis kalau di kosan terus ya itu tadi, sama seperti kamu, lama-lama boring.... Oh iya Nay, aku kagum dengan tullisan-tulisanmu. Sungguh, indah sekali bahasa penyampaiannya...”
“Syukurlah jika tulisanku bisa bermanfaat buat para pembaca mas. Karena sungguh pun aku tidak mengharap apa pun kecuali mengharap ridho Illah... Aku menulis untuk dakwah, aku menulis untuk orang lain...” Sesungging senyum dari bibir Nayla memberikan kesejukkan yang tiada terlukis dengan untaian kata. Bibirnya yang merah, merekah, bagai kuncup-kuncup melati yang mulai bermekaran, mampu sejenak menghipnotis alam bawah sadar Rifa’i.

“Subhnallah, mulianya hatimu Nay...!!”

“Jangan berlebihan begitu mas! Aku takut itu menjadi riya...” Ucapan Nayla yang lemah lembut membuat Rifa’i semakin kagum.

“Subhanallah... Aku benar-benar kagum terhadapmu Nay... Ternyata di tengah kehidupan remaja masa kini yang sangat memprihatinkan, masih ada wanita soleha sepertimu. Seandainya saja dalam satu kelas di setiap fakultasnya ada sepuluh saja wanita sepertimu, pastilah akan membawa dampak positif yang signifikan...” Tiada henti Rifa’i berdecak kagum melihat gadis yang kini berdiri di depannya. Sementara Nayla hanya menanggapinya dengan sesungging senyum.

“Oh iya, boleh tahu rumahmu Nayla? Barangkali kapan-kapan aku bisa silaturahim.”

“Rumahku jauh mas, di Pekalongan. Di sini aku ngekos...!!!”

“Ooh, kirain asli sini. Habis logat bicaramu nggak seperti orang pekalongan...”

“Itu karena aku sudah hampir tujuh tahun hidup di Purwokerto mas... Dulu waktu SMP aku di Al-Irsyad, dan SMA di MAN 1 Purwokerto...”

“Cukup lama juga ya di sini?”

“Ya begitulah mas... Aku juga sampai merasa kalau Purwokerto seperti kota tempat tinggalku sendiri, saking lamanya tinggal di sini sih...” Dengan bijak Nayla menjawab pertanyaan Rifa’i.

“Maaf mas, sudah menjelang maghrib nih... Nggak enak juga dilihat orang... Aku permisi pulang dulu...!!”

“Oh iya, maaf-maaf... Aku sampai nggak nyadar keasyikan ngobrol sama wanita luar biasa sepertimu...”

“Baiklah, sampai ketemu lain waktu ya mas...!!” Nayla kembali menyuguhkan senyum sebelum akhirnya ia pergi, berlalu dari pandangan Rifa’i.

“Ya, silakan! Hati-hati di jalan...”

Sejenak kemudian, Nayla pun mempercepat langkahnya agar cepat sampai ke kosan. Hari sudah mulai petang. Maghrib sebentar lagi menjelang. Dengan tergesa Nayla melepas kerudung yang melekat di kepalanya. Rambut panjang yang tidak pernah dibiarkannya terbuka saat keluar kamar ia ikat. Kemudian Nayla menyambar handuk yang menggantung di dinding kamar. Dengan khusuknya Nayla bercumbu dengan kecipak air, membersihkan tubuhnya dari kotoran-kotoran yang menempel.

***************************************

“Nay, kamu mau nggak ikut aku ke Gramedia??” Celetuk Lutfi di tengah bisingnya suasana kampus seusai kuliah.

“Boleh... Aku juga mau nyari buku tentang fiqih islam yang mau aku jadikan referensi buat tulisanku...”

Beberapa puluh menit kemudian, Nayla dan Lutfi telah sampai di halaman Gramedia, salah satu toko buku terbesar yang ada di kota Purwokerto. Mereka masuk dan langsung memilah-milah buku mana saja yang hendak dibeli. Nayla dan Lutfi memang sama-sama penggila buku. Jika Lutfi lebih senang terhadap buku-buku bergenre komedi atau fiksi, maka lain halnya dengan Nayla. Rak bukunya dipenuhi dengan buku-buku bernuansa islam. Mulai dari majalah, kumpulan hadist, hingga novel dan masih banyak lagi yang lainnya.

Saat matanya mencari-cari, tiba-tiba mata Nayla terrtuju pada sebuah buku berjudul ‘Agar Allah Selalu Memberi Jalan Keluar’. Tanpa pikir panjang, tangannya langsung meraih buku itu. Akan tetapi sebelum Nayla berhasil mengambilnya, sebuah tangan memegang buku itu bersamaan dengan saat ia meraihnya.

“Mas Rifa’i?”

“Nayla?” Keduanya tertegun sambil terus memegangi buku pada deretan rak itu. Sementara Lutfi yang baru datang kaget mendapati kakak sepupunya dan sahabatnya saling tertegun.

“Mas Rifa’i? Nay? Kalian kenapa?”

“Eh Fi, ngapain kamu di sini?”

“Ya beli buku lah, masak beli paku?? Lah mas sendiri ngapain di sini? Nggak biasa-biasanya mas ke toko buku? Mas kan paling malas kalau diajak ke toko buku? Biasanya juga kalau butuh buku nyuruh Lutfi yang beliin...”

“Idih idih, terserah mas dong mau ke toko buku atau mau ke game area... Kok jadi kamu yang ribet sih? Dengerin ya Lutfi cantik, mas tuh ke sini ngantar Akbar nyari buku. Noh lihat di sana ada siapa...?” Rifa’i menyahut sambil mengacungkan telunjuknya ke arah laki-laki bertubuh tinggi tegap, yang tak lain adalah Akbar.

“Fi, mas Rifa’i, aku permisi dulu ya?? Itu bukunya buat mas saja...!!” Nayla merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Entah kenapa Nayla merasa kurang suka melihat kedekatan Lutfi dengan Rifa’i. Menyadari ketidakenakan hatinya, Nayla pun memilih untuk pergi meninggalkan mereka berdua.

“Astaghfirullahal’adziim... Mungkinkah aku cemburu sama mas Rifa’i?? Ah tidak-tidak, ini nggak boleh terjadi... Bagaimana mungkin aku cemburu terhadapnya? Dia kan bukan siapa-siapa? Aku juga baru mengenalnya beberapa hari yang lalu...??” Nayla bergumam dalam hati. Mencoba menepis perasaan aneh yang dengan lancangnya menelusup ke dalam relung hatinya.

“Nay, tunggu... Jangan pergi!!” Lutfi yang menyadari gelagat aneh pada sahabatnya, langsung mencegah agar Nayla tidak berlalu. Sementara Rifa’i dan Akbar mengikuti dari belakang.

“Sudahlah Fi, lanjutkan saja!! Aku nggak mau ganggu kamu dengan masmu...!!”
“Kamu cemburu Nay?”

“Hah? Cemburu sama siapa? Enggak ah...!!” Nayla mencoba meredam gejolak rasa yang terus menyelubungi hatinya.

“Kamu jangan mengelak Nay!! Aku tahu siapa kamu... Kamu tenang saja, mas Rifa’i itu kakak sepupuku. Jadi kamu jangan anggap aku sebagai penghalang..!!”

Demi mendengar keterangan dari mulut Lutfi, wajah Nayla membiaskan secercah sinar kebahagiaan. Entah apa penyebabnya, Nayla sendiri tidak mampu mendefinisikannya.
“Mas ternyata sudah mengenal Nayla ya??” Tanya Lutfi ketika Rifa’i dan Akbar menghampirinya. Rifa’i menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia mengiyakan pertanyaan Lutfi.

“Bagus dong kalau begitu. Jadi aku nggak perlu memperkenalkan kalian...!!”
“Mas juga baru bertemu dengan Nayla sekali Fi. Kalau nggak salah hari sabtu kemarin, saat mas lagi jalan-jalan sore. Itu pun secara tidak sengaja... Bukan begitu Nayla??” Kali ini pertanyaan Rifa’i tertuju kepada gadis yang senantiasa mengenakan kerudung panjang itu.

“I i iya mas...” Ucapnya terbata-bata.

“Oya Nay, kenalkan, ini temanku, namanya Akbar...”

“Nayla...” Sambil menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.

“Akbar...” Mengikuti gerakan Nayla.

Beberapa saat kemudian, acara berburu buku dilanjutkan dengan makan siang bersama di sebuah restaurant. Tentu saja mereka berempat bersikap wajar dengan tetap memperhatikan etika dan norma yang ada dalam agama yang mereka percayai. Meskipun mereka makan dalam satu meja, mereka duduk secara berrjauhan.
***************************************

Bulir waktu terus menggelinding. Kedekatan Nayla dan Rifa’i semakin terlihat setelah Nayla bergabung menjadi staff jurnalisme kampus atas usulan Rifa’i. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Rifa’i begitu saja. Rifa’i memanfaatkan waktunya bersama Nayla untuk bisa lebih mengenalnya secara mendalam.
Saat ibu Rifa’i mulai bertanya mengenai jodoh, hati Rifa’i pun cenderung kepada Nayla. Akan tetapi ia masih belum yakin akan pilihannya. Selain tidak mau mengecewakan ibunya yang kini single parent, Rifa’i pun masih harus berpikir seribu kali untuk serius menjalani hubungannya dengan gadis yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Bukan lantaran Nayla belum memenuhi kriteria sebagai wanita soleha seperti keinginan ibunya, melainkan ia ragu mungkinkah Nayla bersedia ikut dengannya jika kelak mereka menikah? Sedangkan Nayla merupakan anak bungsu. Dalam tradisi jawa, biasanya ketika anak bungsu menikah, maka ia harus tinggal bersama orang tuanya. Hal lain yang ia ragukan, mungkinkah Nayla mempunyai rasa yang sama seperti rasa yang ia miliki untuknya? Mungkin jugakah orang tua Nayla merestui jika Rifa’i meminangnya? Rifa’i berasal dari keluarga serba pas-pasan, sedangkan Nayla anak seorang pengusaha kaya di Pekalongan. Berjuta tanya dan keraguan yang memenuhi ruang otaknya membuat Rifa’i masih belum berani mengungkapkan maksudnya kepada Nayla. Sementara tanpa sepengetahuan Rifa’i, jauh di lubuk hatinya Nayla sangat mengharapkan Rifa’i menjadi calon suaminya. Dalam setiap do’a, Nayla senantiasa memohon agar Allah mendekatkannya dengan Rifa’i jika dia memang ditakdirkan menjadi jodohnya. Dan ternyata tanda-tanda yang ada membuat Nayla yakin kalau Rifa’i memang berjodoh dengannya.
***************************************

Hampir tiga tahun sudah Nayla kuliah di STAIN Purwokerto. Sedangkan Rifa’i sudah menyelesaikan kuliahnya. Setelah Rifa’i lulus, Rifa’i masih kerapkali mengunjungi Nayla meski kata cinta tidak pernah terucap dari mulutnya. Akan tetapi, lima bulan terakhir Nayla tidak lagi menerima kabar mengenai dirinya. Nomor handphonenya tidak lagi aktif seperti dulu. Sedangkan Lutfi sebagai satu-satunya harapan Nayla, untuk mengetahui keberadaan Rifa’i pun ikut menghilang setelah setengah tahun yang lalu Lutfi ikut pindah bersama orang tuanya ke Bekasi. Sedangkan alamat lengkapnya, Nayla sama sekali tidak pernah kepikiran untuk menanyakannya. Yang ia tahu Rifa’i tinggal di kota Purbalingga.

Hingga Nayla menyelesaikan S1nya, Nayla belum juga berhasil mendapatkan kabar mengenai keberadaan Rifa’i.

“Nayla sayang, mana laki-laki yang kamu bilang sama mama membuatmu tidak bisa menerima laki-laki lain? Kapan kamu mau mengenalkannya sama mama papa?”
“Kalau nggak salah kamu pernah bilang dia tinggal di Purbalingga ya Nay?” Tambah papanya membuat hati Nayla semakin teriris.

“Iya pap, cuma Nay nggak tahu sekarang dia ada di mana...”

“Kamu gimana sih Nay? Usiamu sekarang sudah dua puluh lima tahun, sementara sudah ada dua pemuda yang datang melamarmu selalu kamu tolak... Sampai kapan kamu akan menunggu laki-laki yang kepastiannya nggak jelas Nay??”

“Mam, pap, bukan maksud Nay ingin membuat papa mama kecewa atau malu. Tapi kan papa mama tahu sendiri bagaimana perilaku dari dua laki-laki yang datang melamar Nay... Mas Lucky sangat kasar dan over protektif. Bang Dony, mama tahu sendiri dia non muslim. Dan saat Nay mengajukan syarat supaya dia menjadi muallaf, dia menolaknya mentah-mentah...”

“Baiklah Nay, kalau begitu papa akan mengenalkanmu dengan anak kenalan papa dari luar kota. Konon dulu dia juga lulusan STAIN Purwokerto. Dia dua tahun di atasmu. Kemungkinan besar kalian pernah bertemu. Agamanya sangat bagus, dan sekarang dia telah memiliki pekerjaan yang bagus juga... Insya Allah dia adalah sosok yang baik dan bisa ngertiin kamu...”

“Nay sekarang pasrah saja pap. Sementara dia adalah yang terbaik buat Nay, maka Nay akan menerimanya dengan lapang dada. Toh, Nay nggak mau mementingkan hawa nafsu. Nay cuma ingin mencari ridha Allah...” Nayla menjawab dengan wajah tertunduk.
***************************************

Pagi semakin meninggi. Sinar mentari perlahan naik ke peraduannya. Di kamarnya, Nayla telah mengenakan pakaian muslim bernuansa biru, yang merupakan warna favoritnya.

“Nay sayang, kamu sudah siap kan menemui calon suamimu dan keluarganya? Mereka sudah menunggu di depan...”

“Iya mam, Nay siap...” Senyumnya mengembang, cerah secerah sinar sang mentari yang mengintip dari balik jeruji jendela kamar Nayla. Bersama mamanya, Nayla keluar menuju ruang tamu.

“Pak Aldy, ini putri kami...”

“Nayla?? Subhanallah...” Laki-laki yang akan dijodohkan dengan Nayla langsung menyahut saat mata mereka bertemu pandang.

“Loh? Ternyata tebakan papa bahwa kalian pasti pernah bertemu tidak keliru? Dan ternyata kalian malah sudah saling mengenal?” Mendengar pertanyaan papanya, Nayla membisu. Laki-laki itu juga membisu.

“Kamu kenapa sayang? Apa kamu tidak suka dengan perjodohan ini?”

“Bu..bukan mam... Nay senang kok.. Cuma, cuma Nay bingung harus ngomong apa...”

“Kenapa lagi sayang? Kenpa mesti bingung? Bukannya malah justru bagus kalau kalian sudah saling kenal???”

“Masalahnya mas Akbar ini adalah sahabat dekat mas Rifa’i, laki-laki yang pernah Nay ceritakan sama mama papa...”

“Benar begitu nak Akbar?” Dengan sigap papa Nayla menanyakan kepada Akbar.

“Benar om... Dulu kami bersahabat sangat dekat... Tapi, sekarang Akbar tidak tahu di mana dia berada. Karena, semenjak beberapa bulan terakhir Akbar tidak pernah berhasil menghubunginya...”

“Lantas bagaimana keputusanmu sekarang nak???”

“Akbar serahkan semuanya sama Nayla yah... Karena Akbar tahu kalau mereka saling mencintai, walau Akbar sendiri tidak pernah melihat mereka pacaran...”

“Bagaimana Nay sayang?”

“Rasanya tidak ada alasan yang membuat Nay menolak mas Akbar mam... Toh sekarang, kita tidak ada yang tahu mas Rifa’i ada di mana.” Nayla menyuguhkan senyuman yang masih seperti dulu, selalu memberikan kedamaian bagi setiap mata yang memandang.
***************************************

Nayla tampak anggun dengan gaun pengantin yang dikenakannya. Senyumnya mengembang. Tinggal menunggu menit, Nayla akan segera melepas masa lajangnya bersama Akbar, laki-laki pilihan papanya yang ia harap adalah terbaik untuknya menurut Allah.

“Saya nikahkan Saudara Restu Akbar Pambudi, dengan Nayla Zakiyatun Fadillah binti Sugeng Waluyo dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai...” Acara ijab kabul yang ditunggu-tunggu akhirnya dimulai.

“Saya terima nikahnya..................”

“Stop!!!” Suara lantang laki-laki dari luar ruangan membuat suasana lengang seketika. Betapa terkejutnya Akbar dan Nayla ketika menyadari bahwa yang datang adalah Rifa’i.

“Akbar, aku benar-benar tidak menduga kalau kamu tega melakukan semua ini...!!”
“Rifa’i, dengar dulu penjelasanku...!! Apa yang kamu lihat tidak seperti apa yang kamu pikirkan...”

“Sudahlah, aku tak perlu mendengar penjelasan dari mulut munafikmu... Ternyata diam-diam kamu juga mencintai Nayla kan?? Dasar sahabat tidak tahu diri kamu...!!”

“Cukup mas Rifa’i..!! Ini bukan salah mas Akbar... Aku yang memutuskan untuk menikah dengan mas Akbar setelah sekian lama mas menghilang tanpa kabar. Tanpa sepengetahuan kami sebelumnya, ternyata kami dijodohkan oleh orang tua kami. Toh selama ini mas Rifa’i juga tidak pernah mengatakan bahwa mas mencintaiku... Mas nggak pernah mengerti, dari dulu aku sangat mengharapkan kata cinta terlontar dari mulut mas. Tapi nyatanya? Mana?”

“Akbar, Nayla, maafin aku. Ini memang salahku. Kalian lanjutkan saja acara ini... Akbar lebih pantas mendampingimu Nayla...”

“Tunggu Rif! Aku tahu kau sangat mencintai Nayla. Sebagai sahabat, aku tidak mungkin merenggut kebahagiaanmu. Dan aku yakin, Nayla juga sangat mencintaimu... Maka sekarang, gantikanlah aku di sini. Kamu yang lebih pantas menikah dengan Nayla...”

“Tapi mas Akbar? Bagaimana mungkin?”

“Nay, dengar aku! Aku mau kamu menikah dengan Rifa’i...”

“Bagaimana denganmu mas?”

“Nayla, sekali lagi dengarin aku baik-baik! Jujur, dari dulu, jauh sebelum aku mengenal Rifa’i, aku memang sudah terlebih dahulu mengagumimu. Tapi berhubung setelah aku bersahabat dengan Rifa’i ternyata dia juga mengagumimu, maka aku pun memutuskan untuk mengubur dalam-dalam rasa cintaku. Aku ingin melihat sahabatku bahagia. Dan yang paling penting, aku juga ingin melihat orang yang aku cintai bahagia bersama dengan laki-laki yang dicintainya. Maka menikahlah dengan Rifa’i. Insya Allah aku mampu mengikhlaskan semuanya. Aku akui, aku memang sempat bahagia saat mengetahui bahwa ternyata wanita yang dijodohkan oleh ayahku adalah kamu. Tapi sekarang, tidak ada kebahagiaan lain yang melebihi kebahagiaanku karena melihat kalian bersatu.”

“Subhanallah mas Akbar, betapa mulianya budimu. Sungguh tak kudapati cacat sedikit pun dalam jiwamu. Aku tahu tak ada manusia yang sempurna. Tapi dalam pandanganku, kau adalah sosok yang sangat sempurna.”

“Nayla benar Bar, kamu sangat sempurna. Kamulah yang lebih pantas mendampinginya ketimbang aku... Sekarang aku sudah sangat ikhlas melepas Nayla.” Sahut Rifa’i dengan nada tenang.

“Demi Allah Rif, demi persahabatan kita, nikahi Nayla...!!” Dengan sangat bijak, Akbar meminta agar Rifa’i bersedia menikah dengan Nayla.

Dengan seizin Allah, akhirnya Rifa’i menikah dengan Nayla. Akbar tersenyum bahagia melihat kedua insan yang sama-sama telah menghiasi hidupnya dapat bersatu, meskipun ia harus kehilangan cinta Nayla. Karena Akbar mempunyai prinsip bahwa cinta tidak harus memiliki.

Pada hari itu, senyuman pun membias, berpendar menghiasi dinding hati setiap insan, yang menjadi saksi bersatunya dua hati yang saling mencinta karena Tuhannya, atas pengorbanan agung seorang sahabat yang juga mengatasnamakan cinta karena Allah. Subhanallah, sungguh hanya Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

****************** TAMAT******************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011