DIAM


"Diam.....!!! Ibu tahu apa tentang kebahagiaan? Selama ini yang ibu suguhkan selalu saja kesengsaraan, kesengsaraan, dan kesengsaraan....."


"Ibu hanya nggak ingin nantinya kamu kecewa nak... Nak Pram itu kan bukan pemuda baik-baik.. Dia adalah seorang buaya darat....."


"Arghhh..... Diam..... Diam.....!! Ibu nggak usah ikut campur..... Mas Pram itu udah berubah..... Dia bener-bener mencintai aku dan hanya mencintai aku..... Bukan yang lain. Dia juga selalu memberikan apa yang aku mau. Nggak kayak ibu yang nggak pernah bisa menuhin keinginanku....."


"Jika saja ibu mampu nak, pasti akan ibu kasih....."


"Halah..... Udah deh ibu diam...!! Aku bosen denger celotehan ibu yang nggak penting dan nggak bermutu itu....."


Isna termenung. Matanya sembab. Perdebatan hebat dengan ibunya dua tahun silam sebelum ia meninggalkan rumah kembali terngiang. Betapa ia sangat menyesal telah mengabaikan nasihat ibunya. Mas Pram yang sangat Isna banggakan tak ubahnya seperti srigala berbulu domba. Isna dicampakkan dalam kondisi hamil di luar nikah. Selama ini Isna berjuang seorang diri, demi merawat Savina yang kini berumur satu tahun. Buah hati dari hubungannya dengan seorang pemuda brengsek bernama Pramono. Terkadang Isna teringat kebejadan Pramono bila menatap wajah Savina. Tak jarang pula terselipkan rasa benci saat mengingat laki-laki tak bertanggung jawab itu. Tapi sungguhpun Isna sangat menyayangi buah hatinya tersebut.


Rasa sesalnya semakin mendera. Kerinduan pada sosok ibu yang dulu tak pernah ia anggap kini membuncah. Seandainya dulu Isna mau mendengarkan ibunya pasti tak akan seperti ini kejadiannya. Dengan kekuatan penuh Isna berniat untuk mendatangi ibunya dan meminta maaf. Meski ia sadar bahwa ia harus siap menerima penolakan jika mengingat perlakuan terhadap ibunya selama ini. Tapi kali ini ia yakin dengan keputusannya. "Tak ada salahnya mencoba....." Batin Isna.


Mendapati rumah ibunya cukup ramai, Isna langsung menerobos masuk setelah mengucap salam. Isna mendapati ibunya tengah terbaring lemah di atas sebuah dipan bambu dengan ditunggui beberapa orang tetangganya.


"Ibu....." Jeritnya.


"Isna, anakku..... Dari mana aja kamu selama ini nak? Ibu sangat merindukanmu....." Ibunya berusaha mengeja kata walau dengan susah payah.


"Ibu... Maafin Isna....." Isna menangis sesenggukan. Ia sudah tak tahan lagi menahan sesak di dadanya.


"Kamu nggak salah nak..... Ibu yang minta maaf terlalu ikut campur urusanmu... Tapi sekarang tenanglah, ibu nggak akan lagi ikut campur..... Ibu akan diam seperti pintamu. Untuk selamanya..! Ibu senang masih sempat melihat wajahmu sebelum ibu pergi... Jaga dirimu baik-baik nak..!! Ibu sangat menyayangimu..." Dengan terbata-bata dan berlinang air mata ibu Isna mengucapkan kalimat terakhirnya.


" Ibu.....!! Ku mohon jangan pergi.....!" Tangis Isna meledak. Bagaimanapun tangisannya takkan mampu mengembalikan ibunya. Sungguh kini hanya sesal yang ia rasa. Tak akan ada lagi nasehat yang ia dengar. Tak akan ada lagi larangan yang keluar dari mulutnya. Tak akan ada lagi senyuman yang mampu menentramkan. Kini beliau telah berpulang ke Rabbnya. Membisu. Terdiam tiada kata. Untuk selamanya.



Dedicated to my mom *...Penyesalan selalu terjadi belakangan. Sayangi ibumu. Karna ibumu sangat menyayangimu. Janganlah pernah menyia-nyiakan seorang ibu. Karna surgamu ada di telapak kaki ibu. Ingatlah, ridho ibu adalah ridho Tuhanmu. Jangan biarkan penyesalan menyapamu. Karna penyesalan takkan lagi bermakna jika semua sudah menjadi bubur...*


Purwokerto,

Senin, 6 Desember 2010

Komentar

Posting Komentar

Coment please...

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011