Ikhlas

Sepasang mataku kubiarkan memandangi setiap sudut padang ilalang tempatku kini berpijak. Dandelion-dandelion yang tumbuh diantara ilalang sedang bermekaran. Sedikit saja tersenggol, bunga-bunganya yang serupa kapas beterbangan ke udara. Apalagi jika angin bertiup. Sungguh menakjubkan. Kupejamkan mataku erat-erat, mengingat masalalu indah bersamamu yang justru membuat hati tersayat saat mengingatnya.

"Lihat, Efriana. Ini padang ilalang dan dandelion yang pernah aku ceritakan padamu. Indah sekali, bukan?" kamu begitu semangat menunjukkannya padaku. Bahkan binar matamu terlihat begitu bahagia. Itulah pertama kalinya aku menyadari ada perasaan lain di hatiku dari sekedar persahabatan.


"Kamu tahu, kamu adalah orang pertama yang aku tunjukkan tempat ini. Dan mungkin akan menjadi satu-satunya orang yang berhak aku tunjukkan. Sebab tujuh tahun lalu saat tak sengaja aku ke sini karena terpisah dari rombongan dalam kegiatan jelajah alam, aku pernah bersumpah suatu saat akan menunjukkannya pada satu-satunya orang istimewa dalam hidupku. Dan dua tahun lalu setelah mengenalmu, aku ingin sekali menunjukkannya padamu. Melalui perenungan panjang, akhirnya aku memutuskan inilah saatnya kutunjukkan padamu. Aku mencintaimu, Efriana. Maukah kamu membersamaiku hingga tua nanti? Takkan pernah kubiarkan orang lain menyinggahi hatiku. Sebab namamu sudah erat bersemayam dalam hatiku." Aku meleleh mendengar kalimatmu. Aku pun tak memiliki jawaban lain selain mengiyakan ucapanmu. Aku juga mencintaimu, Mas Ilham. 

 ***

"Ilham kecelakaan, Na. Ayo kita ke rumah sakit." Ucapan Mawar, sahabat sekaligus tetanggaku yang tiba-tiba muncul di pintu yang kubiarkan terbuka membuatku menjatuhkan gelas yang tengah kupegang. Dengan hanya mengenakan daster aku mengekor dan membonceng Mawar. Mawar mengemudikan motor dengan cepat, namun tetap hati-hati sebab tahu bahwa aku tengah hamil muda, lima minggu. Sesampai di rumah sakit, aku langsung menanyakan pasien korban kecelakaan bernama Ilham.

"Pasien tersebut baru saja dibawa ke ruang jenazah, Mbak. Akibat kehabisan banyak darah, nyawanya tidak bisa tertolong." Aku merasakan persendianku melemas. Bagaimana mungkin ini terjadi ya Allah. Usia pernikahan kami belum juga genap tiga bulan. Dan kami sedang bahagia karena kehamilanku. Tapi mengapa kebahagiaan ini harus diselimuti tangis dengan kenyataan ini? Aku menangis sesenggukan.

***

"Sayang tolong jaga calon anak kita, ya. Aku ingin, kelak anak kita tumbuh menjadi sosok yang bermanfaat buat orang lain. Aku titipkan semuanya sama kamu, sayang. Sebab aku percaya kamu adalah calon ibu yang hebat buat anak kita. Maaf jika pada akhirnya aku tidak bisa menemanimu lebih lama. " Aku kembali teringat dengan ucapan Mas Ilham seminggu sebelum ia kecelakaan. Ini seperti sebuah tanda salam perpisahan yang baru sekarang kusadari. Jika ditanya, sebenarnya aku sakit. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi kehendak-Nya. Aku harus mencoba mengikhlaskan. Kini tinggal bagaimana aku nanti merawat anak kami. Sebab kini, kehamilanku sudah memasuki delapan bulan. Dan aku ingin tetap tegar. Karena anak kami.merupakan bukti cinta kami dan peninggalan paling berharga dari Mas Ilham. [] Jakarta, 10 April 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011