The Miracle Of Love
Ribuan
kilo, jalan yang kau tempuh
Lewati
rintang, untuk aku anakmu
Ibuku
sayang, masih terus berjalan
Walau
tapak kaki penuh darah penuh nanah
Seorang bocah perempuan berusia
belasan tahun menyanyikan sebuah lagu milik Iwan Fals dengan penuh penghayatan.
Sementara, seorang gadis berjilbab biru muda dengan motif bunga-bunga tengah
duduk di sudut sebuah kafe di bilangan Jakarta. Tatapan matanya nanar,
memandang rintik hujan dari balik kaca kafe. Bocah tadi menghampiri sang gadis,
sambil terus menyanyikan lagu berjudul “Ibu” tersebut. Tangan mungilnya
menyodorkan bungkus permen ke hadapan sang gadis. Berharap ada sedikit rejeki
yang dengan ikhlas disisihkannya.
Gadis itu bernama Airin. Mata sipit
serta lesung pipi yang dimilikinya membuat ia tampak sempurna dalam pandangan
sang hamba. Namun, kesempurnaan parasnya tampak ternoda oleh mendung yang
menggelayut. Bulir bening dari ujung kelopak matanya mulai menetes satu-satu.
Dan, lagu yang masih terus dinyanyikan seorang bocah bertampang lusuh itu
membuat bulir-bulir bening matanya menetes semakin deras.
“Maaf, Kak. Jika kehadiranku
mengganggu,” sang bocah menarik kembali bungkus permen yang disodorkannya. Ia
merasa tidak enak hati jika terus berdiri mematung di situ. “Permisi,” bocah
itu membalikkan badan, hendak pergi dari hadapan Airin. Namun, Airin langsung
mencegah.
“Tunggu. Jangan pergi dulu,”
ditariknya tangan kiri sang pengamen cilik. “Duduklah di sini, dekat Kakak,”
“Tapi, Kak,”
“Sudah. Menurut saja. Kakak ini
bukan orang jahat,” senyum terlihat mengembang dari bibir tipisnya. Tetes air
mata yang tadi membasahi pipi segera dihapus dengan tissue. “Lagu yang kamu bawakan mengingatkan Kakak sama Ibu kandung
Kakak di kampung. Bagus sekali. Kamu sangat piawai menyanyikannya,”
“Pasti Ibu Kakak adalah sosok yang
sangat hebat,” tukas sang pengamen.
“Ya. Bahkan sangat hebat,”
“Memang, sebagai seorang anak kita
takkan pernah bisa mendefinisikan betapa hebatnya sosok Ibu dalam hidup ini,”
wajah sang bocah nampak sendu.
“Oh iya. Kenalin, namaku Airin.
Nama Adik siapa?”
“Namaku Lintang,” jawabnya sambil
menundukkan kepala. Sementara Airin memanggil seorang pelayan kafe untuk
memesan makanan dan minuman untuk gadis kecil yang kini duduk di hadapannya.
“Lintang. Wah, nama yang sangat
bagus. Oh iya Dik Lintang, boleh Kakak bertanya?”
“Tentu saja boleh, Kak,”
“Maaf sebelumnya. Apakah Dik
Lintang tidak sekolah?” Airin bertanya dengan hati-hati, karena takut
menyinggung perasaan gadis pengamen di hadapannya. Entah mengapa, Airin merasa
sangat bahagia bertemu dengan Lintang. Dalam waktu singkat, perasaan Airin
luluh dan merasa takut kehilangan Lintang.
“Dulu pernah, Kak. Waktu Kak
Bintang masih bekerja pada sebuah perusahaan terkemuka sebagai seorang Sales Manager. Dulu, Ibu adalah seorang single parent. Ayah meninggal ketika aku
masih dalam kandungan. Sebelum Kak Bintang bekerja, Ibulah yang berjuang
menghidupi kami. Ibu berjuang mati-matian untuk dapat menguliahkan Kak Bintang.
Waktu itu aku masih kecil. Setelah lulus kuliah dan bekerja, Kak Bintang
menggantikan peran Ibu. Ibu dilarangnya bekerja, dan semua kebutuhan ditanggung
olehnya. Hingga akhirnya....” ucapan Lintang terhenti. Ada semacam sekat yang
membuat rongga dadanya terasa sesak.
“Akhirnya kenapa, Dik?” Airin bertanya
hati-hati. Ia terharu mendengar penuturan Lintang. Ingin sekali ia mendekap
erat tubuh Lintang dan menganggapnya sebagai adik. Sebab, Airin memang sejak
lama menginginkan seorang adik. Namun, karena Ibunya yang sudah menginjak usia monopause, keinginan Airin tidak
tercapai. Ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus menjadi anak bungsu
dari empat bersaudara.
“Akhirnya sebuah kecelakaan
terjadi. Waktu liburan sekolah, Kak Bintang mengajak aku dan Ibu berlibur. Dan
ketika melewati sebuah turunan, kondisi jalanan yang licin akibat air hujan
membuat mobil yang dikendarai Kak Bintang tergelincir. Kak Bintang mengalami kelumpuhan
dan sekarang hanya duduk di kursi roda. Sementara nyawa Ibu tidak berhasil
diselamatkan karena kehabisan banyak darah. Entah bagaimana, waktu kecelakaan
itu terjadi tidak terjadi apa-apa denganku. Aku hanya mengalami luka kecil di
siku lengan kanan,” wajah sang gadis tampak sayu. Wajahnya tertunduk. Sementara
Airin yang berhati perasa langsung tersentuh mendengar penuturan Lintang. Ia
seolah mampu merasakan kesedihan hati Lintang yang harus kehilangan orang yang
sangat disayanginya.
“Maafkan Kakak, sayang. Karena
pertanyaan Kakak kamu jadi sedih,” Airin berkata menyesal. Diusapnya kepala
sang gadis pengamen dengan lembut. “Boleh Kakak memeluk Adik?” lanjutnya lagi.
“Tentu saja boleh, Kak. Lintang
akan sangat senang dipeluk oleh Kakak. Tapi, apakah Kakak tidak malu?” seraya
mengangkat wajahnya yang sembab oleh air mata Lintang menjawab.
“Loh, malu kenapa?” tanya Airin
sedikit bingung.
“Ya secara penampilan Kakak sangat
bersih dan rapi. Masa Kakak tidak malu dilihat orang berpelukan dengan gadis
sepertiku yang dekil dan kotor? Mungkin sebagian besar orang beranggapan kalau
aku ini menjijikan. Jadi, sangat tidak serasi jika kita terlihat berpelukan,”
“Hemm,” Airin menarik nafas
dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. Ditatapnya wajah Lintang sambil
tersenyum. “Kenapa harus malu, Dik? Kenapa pula harus peduli ucapan orang?
Hidup ini kita sendiri yang menjalaninya masing-masing. Kita hanya pantas malu
terhadap Allah. Malu jika melanggar larangan-Nya dan meninggalkan
perintah-Nya,”
“Masya Allah, ternyata selain wajah
Kakak yang cantik, hati Kak Airin juga sangat mulia. Aku senang bisa bertemu
dengan Kakak. Andai saja aku memiliki seorang Kakak seperti Kak Airin,”
“Dik Lintang boleh kok menganggap
Kakak ini sebagai Kakak kamu. Sekarang mendekatlah, biar Kakak peluk kamu,”
entah mengapa, Airin merasakan kebahagiaan luar biasa yang selama ini belum
pernah dirasakannya. Dipeluknya erat gadis bernama Lintang itu. Dengan penuh
kasih sayang Airin membelai rambut Lintang yang acak-acakan. Hujan yang mulai
mereda menjadi saksi atas kebahagiaan yang menyelimuti dua hati manusia.
Semesta pun ikut bergembira menyaksikan pertunjukkan mengharukan antara dua
insan yang dipertemukan secara tidak sengaja. Pertemuan yang membawa mereka
pada persaudaraan abadi, yang semoga kekal hingga bertemu di surga.
***
Gemuruh riuh suara kendaraan
terdengar bersahutan. Pemandangan yang biasa menghiasi kota Jakarta masih tetap
saja tampak sama, macet. Teriknya matahari serta debu yang bertebaran di
jalanan tidak membuat Airin jera apalagi berniat meninggalkan tempat itu.
Sebelum ia menemukan sosok yang dicarinya, Airin masih terus menunggu. Tatapan
matanya tiada henti menjalari setiap sudut jalanan barangkali sosok yang tengah
dicarinya tiba-tiba muncul dari salah satu tempat. Namun, penantiannya sia-sia
belaka. Semenjak tengah hari hingga senja menjelang, sosok yang diharapkannya
akan datang tidak pula terlihat. Tiba-tiba saja persendiannya melunglai. Ia
kecewa. Dengan langkah gontai ditinggalkannya tempat tersebut.
Keesokan harinya Airin kembali ke
tempat biasanya untuk menunggu sosok yang sudah sebulan tidak ditemuinya,
Lintang. Gadis pengamen yang telah dianggapnya sebagai adik. Gadis pengamen
yang sudah dua bulan lamanya mengisi ruang hatinya dan menghiasi hari-hari
Airin menjadi lebih indah. Semenjak bertemu Lintang, ia menemukan kebahagiaan
baru yang selama ini belum pernah dirasakannya.
Seminggu lamanya Airin melakukan
hal yang sama, menunggu Lintang dari tengah hari hingga senja menjelang. Namun
semuanya tetap tidak berubah. Lintang belum muncul juga. Airin mulai putus asa.
Ia tidak tahu harus mencari Lintang ke mana. Sementara rindu yang membuncah
tidak dapat lagi ditahan.
“Lintang, kamu dimana? Kenapa kamu
tidak pernah lagi datang menemui Kakak? Apakah kamu marah pada Kakak? Maafkan
Kakak, adikku. Ketika Kakak pergi sebulan lalu bukan sebab Kakak tak lagi
menyayangimu. Tapi waktu itu Kakak pulang kampung sangat mendadak karena Ibu
sakit. Sebab itulah Kakak tidak sempat berpamitan padamu. Bukankah engkau
pernah berjanji, jika suatu saat Kakak tidak muncul, maka kamu akan tetap
menunggu di sini, tempat yang menjadi kesepakatan untuk kita bertemu setiap
harinya, dan juga tempat biasa kamu mengamen. Maafkan Kakak, Dik. Jika kamu
marah, maka tak apa. Ini adalah hari terakhir Kakak menunggumu. Kakak berharap,
suatu saat Allah akan kembali mempertemukan kita di lain kesempatan. Jika tidak
di dunia, maka surga semoga menjadi tempat kita bersua,” Airin berucap seorang
diri di tengah deru kota Jakarta. Ia berdiri dari duduknya hendak pergi
meninggalkan tempat itu. Air matanya berlinang membasahi pipinya yang lembut.
Ia sangat menyesal mengapa sebelumnya tak pernah berkunjung ke tempat tinggal
Lintang hanya karena Airin tak memiliki banyak waktu sebab pekerjaannya tidak
dapat ditinggalkan. Untuk bisa bertemu pun, Airin hanya memiliki waktu satu jam
setiap harinya. Tentu saja itu tidaklah cukup. Kini penyesalan hanya tinggal
penyesalan. Airin tak sanggup berbuat apa-apa.
“Kak Airin,” suara panggilan yang
terdengar samar-samar karena berpadu dengan suara kendaraan membuat Airin
berhenti melangkah. Diedarkannya pandang mencari sosok yang memanggilnya. Namun
tetap saja ia tidak menemukan sosok yang memanggil-manggil. Ia pun beranggapan
bahwa dirinya hanya berhalusinasi.
“Kak Airin. Tunggu,” suara itu
kembali terdengar. Untuk kedua kalinya langkah Airin terhenti. Ketika matanya
mencari, tiba-tiba sosok yang tengah dinantinya muncul dari kejauhan. Tanpa
mempedulikan kendaraan yang berlalu lalang, Airin langsung berlari menyeberangi
jalan. Begitu Airin tiba di tempat Lintang
berdiri, spontan ia langsung memeluknya. Dibelainya rambut Lintang
dengan lembut.
“Kakak pikir, kamu marah dan tidak
mau lagi bertemu dengan Kakak,” ujar Airin.
“Lintang nggak mungkin marah sama
Kak Airin. Karena Kak Airin adalah kebahagiaan Lintang,” jawaban Lintang
membuat Airin sangat senang mendengarnya. Entah mengapa, Airin teramat
menyayangi Lintang.
“Maafkan Kakak karena sebulan lalu
pergi tanpa memberi kabar, Dik,”
“Tidak apa, Kak. Lintang mengerti
kok. Kak Airin kan pulang juga buat Ibu Kakak. Oh iya, bagaimana keadaannya
sekarang? Semoga sudah membaik ya,”
“Dari mana kamu tahu kalau Ibu
Kakak sakit?”
“Dua hari setelah Kakak pergi, ada
seseorang yang datang ke sini memberitahukan bahwa Kakak sedang pulang kampung
karena mendapat kabar bahwa Ibu Kakak sakit. Dia juga menyampaikan bahwa Kakak
tidak sempat berpamitan sama Lintang. Namanya Kak Flora. Dia bilang kalau dia
itu teman kerja Kakak,”
“Oh my God, makasih Flora,” Airin
merasa berhutang budi pada rekan kerjanya tersebut. Ya, selama ini setiap kali
Airin susah, Flora adalah orang pertama yang paling tanggap mengulurkan
tangannya. “Lalu, seminggu ini Dik Lintang ke mana saja? Kok baru muncul?”
Lintang tidak lekas menjawab
pertanyaan Airin. Kepalanya tertunduk. Ada seberkas kesedihan tergambar pada
wajahnya yang lugu.
“Dik? Kamu menangis? Ada apa? Ayo
ceritakan sama Kakak,” Airin kembali bertanya. Nada bicaranya kini lebih
rendah. Ia seolah ikut bersedih meski tanpa tahu penyebabnya.
“Tepat seminggu kepergian Kakak, Kak
Bintang masuk rumah sakit. Badannya tiba-tiba demam dan melemas. Tapi sekarang,
Kak Bintang sudah sembuh total. Bahkan kelumpuhan yang disandangnya selama tiga
tahun juga telah sembuh. Kak Bintang sudah bisa berjalan seperti sedia kala,”
“Wah bagus dong? Kakak boleh ya
ketemu sama Kak Bintangmu?”
“Masalahnya Kak Bintang harus
bekerja di rumah sakit selama setahun tanpa dibayar karena kami tidak sanggup
membayar biaya rumah sakit. Semua ini salahku. Kemarin, aku benar-benar tidak
tahu mesti berbuat apa demi kesembuhan Kak Bintang. Makanya, aku pun memohon
supaya pihak rumah sakit mau memberikan perawatan gratis pada Kak Bintang
dengan jaminan aku mau bekerja selama setahun tanpa dibayar. Namun, setelah
tahu yang sebenarnya, Kak Bintang tidak mengijinkan aku menepati janjiku. Maka
dari itu, Kak Bintang mengambil alih semuanya,” tuturnya sendu.
“Sekarang,
antarkan Kakak ke rumah sakit,”
“Kak Airin mau ngapain?”
“Pokoknya antarkan saja. Kakak cuma
mau bertemu sama Kakakmu,”
“Baiklah, Kak. Lintang antarkan.
Lintang juga sudah rindu sama Kak Bintang. Sudah seminggu Lintang tidak
mengunjunginya, karena Lintang keliling Jakarta untuk mengamen demi menebus
biaya rumah sakit dan supaya Kak Bintang bisa segera keluar,”
Mereka berjalan beriringan bersama
senja yang semakin mengerucut. Airin mengajak Lintang naik busway agar segera
sampai ke tempat tujuan. Debar jantung Airin terasa tidak menentu. Ada semacam
rasa yang membuncah dalam dadanya. Namun, ia sendiri tidak mengetahui apa
penyebabnya.
Pukul tujuh lewat, Airin dan
Lintang tiba di rumah sakit di mana Bintang berada. Airin tidak lekas turut
menemui Bintang bersama Lintang.
“Dik Lintang, kamu temui Kakakmu
ya? Dia pasti sangat merindukanmu. Nanti Kak Airin menyusul. Kakak mau ke
toilet dulu,” ucap Airin ketika tiba di lobi rumah sakit. Sementara Lintang
pergi menemui Bintang, Airin menuju bagian administrasi rumah sakit. Lalu Airin
keluar dan beberapa saat kemudian telah kembali menemui bagian administrasi
rumah sakit. Setelah bertanya pada resepsionist,
Airin berjalan ke tempat di mana Bintang berada. Tangannya menenteng tas
plastik berisi buah-buahan yang sempat dibelinya saat keluar tadi.
Begitu dilihatnya sosok Lintang
yang sedang duduk di samping laki-laki bertubuh tinggi, Airin bergegas
mendekatinya. Ia langsung menebak bahwa laki-laki itu pasti Bintang yang selama
ini seringkali diceritakan Lintang.
“Kak Airin, sini,” seru Lintang
begitu melihat kedatangan Airin. Mendengar adiknya memanggil seseorang, Bintang
pun mengalihkan pandang ke arah sosok gadis yang dipanggil adiknya tersebut.
Tanpa sengaja, mereka bertemu pandang. Keduanya tertegun bagai patung.
“Mas Bintang?” Airin menjatuhkan
tas plastik yang ditentengnya. Matanya tiada henti menatap wajah Bintang.
Sementara itu, Bintang berdiri menghampirinya.
“Airin? Apakah ini benar-benar
kamu? Apa aku sedang bermimpi?” Bintang memegang kedua pipi Airin. Sementara
Airin masih belum percaya sepenuhnya tentang apa yang dilihat.
“Mas Bintang?” Airin kembali
menyebut nama Bintang. Kini buliran bening mulai berjatuhan dari kelopak
matanya.
“Iya, sayang. Ini aku,” dipeluknya
tubuh Airin. Beberapa saat lamanya Airin hanya pasrah. Namun, akhirnya ia
menepiskan tubuh Bintang. Ia melepaskan diri dari pelukan Bintang.
“Mas Bintang kenapa menghilang?
Mana janji Mas mau melamar aku? Mas tahu, betapa malunya aku sama keluargaku
karena orang yang seminggu lagi bakal melamarku tiba-tiba menghilang tanpa
jejak? Apa karena Mas tidak lagi mencintaiku?” Airin terisak di depan Bintang.
“Maafkan aku, sayang. Aku tidak
bermaksud mempermalukanmu apalagi menyakitimu,”
“Tapi nyatanya Mas melakukannya
lebih menyakitkan dari itu. Bertahun lamanya aku menunggu, tapi Mas Bintang
tidak kunjung menemuiku. Ternyata janji Mas itu semuanya palsu,”
“Tatap mataku, Rin,” Bintang
memegang wajah Airin. “Sampai saat ini pun rasa itu masih ada. Hanya untukmu.
Tapi keadaan tidak mungkin menyatukan kita. Aku bukan lagi Bintang yang dulu.
Kecelakaan naas itu membuatku terpaksa harus menjauhimu. Aku tidak mau orang
yang aku cintai hidup menderita karena aku tidak mampu membahagiakanmu. Selama
itu, aku mengalami siksaan batin yang teramat sangat menahan gejolak cinta
padamu,”
“Baiklah. Kalau begitu, besok Mas
ke rumahku dan lamarlah aku di depan orang tuaku,” dengan kekuatan yang
berhasil dihimpunnya, Airin berkata tegas.
“Tapi, Rin. Aku bukan lagi Bintang
yang dulu. Sekarang aku tidak memiliki apa-apa. Aku tidak pantas menjadi
pendampingmu, Rin. Lupakanlah aku dan carilah penggantiku yang lebih pantas,”
“Tidak Mas. Takkan pernah ada yang
dapat menggantikan posisi Mas Bintang di hatiku. Materi memang penting. Tapi
ingat Mas, materi itu bukanlah segalanya. Bukankah dulu kita pernah berjanji
untuk saling melengkapi? Jika yang satu susah, maka yang lain pun ikut
menanggungnya. Dan jika satunya bahagia, maka kebahagiaan itu akan kita nikmati
bersama,”
“Wah, menakjubkan. Ternyata kedua
Kakakku ini saling menyayangi. Aku sangat senang melihatnya,” Lintang yang
sedari tadi hanya tertegun menyaksikan adegan itu kini mulai bicara.
“Tuh kan, adikmu saja setuju. Masa
iya Mas mau melepas aku dan membiarkan kau pergi?” Airin mengerlingkan matanya.
“Hemm, kamu memang bidadariku Rin,”
Bintang memeluk erat tubuh Airin. “Eits, tunggu dulu. Tapi kan aku harus
bekerja di sini selama setahun untuk melunasi semua biaya pengobatanku,”
“Tidak Saudara Bintang. Sekarang
juga Anda boleh meninggalkan tempat ini. Gadis di depan Anda sudah melunasi
semuanya,” dokter yang selama Bintang sakit merawatnya tiba-tiba muncul.
“Ya ampun sayang. Aku berhutang
budi padamu. Nanti pasti aku ganti, ya,” mendengar pengaduan sang dokter
Bintang menjadi salah tingkah.
“Ssst, jangan pernah berkata
seperti itu. Yang namanya cinta itu tidak pernah perhitungan. Apa ada istilah
hutang antara satu sama lain dalam sebuah hubungan?” mendengar pertanyaan itu,
Bintang hanya tersenyum sambil menggeleng. “Yang ada, Mas harus membayar hutang
cinta yang selama ini Mas telantarkan. Berjanjilah untuk tidak lagi
meninggalkanku,” Airin tersenyum manja.
“Iya sayang. Mas janji. Sini, Mas
peluk kamu,”
“Udah ah. Malu dilihatin orang. Di
sini ada anak kecil yang belum cukup umur. Haha. Lagipula aku ini belum halal
bagimu, Mas. Dosa,” Airin menepiskan tangan Bintang yang hendak memeluknya.
Kini, dua hati yang pernah terpisah
kembali dipersatukan oleh waktu. Bintang yang bertaburan di langit menjadi
saksi atas kebahagiaan yang menyelimuti keduanya. Semua yang menyaksikan turut
berbahagia melihat adegan mengharukan tersebut. Bintang tersenyum lega, Airin
pun demikian. Beban mental yang selama ini menindih telah terangkat dan menguap
bersama udara malam yang lembab. Sementara Lintang tak hentinya bersyukur
melihat Kakaknya menemukan kebahagiaan yang selama ini dicarinya. [ ]
Jakarta, 25 Maret 2012
@08:03 am
Komentar
Posting Komentar
Coment please...