Karenamu Aku Mampu

Sumber : Google

Aku seringkali bercumbu dengan dingin malam, hanya untuk merenung, melakukan pencarian ilham hingga ke tepian imaji. Dari perenungan tersebut, tak jarang kutemukan sejumput kata yang teronggok di ruang hampa. Lalu, entah dari mana datangnya ide tersebut, tanganku dengan piawai meliuk-liuk di atas tuts keyboard seperti penari yang tengah menghibur penonton di atas panggung. Kuramu kata-kata yang begitu saja keluar dari benakku, lalu merangkainya menjadi susunan kalimat yang kurasakan hidup dan memiliki ruh.


Citaku untuk menjadi seorang penulis kenamaan, atau lebih tepatnya aku hanya ingin menumpahkan segala yang melingkari hidupku ke dalam guratan pena yang kuharap akan menjadi inspirasi bagi orang yang membacanya, mungkin bagi sebagian orang terlalu mustahil bisa tercapai. Ya, anggapan orang-orang yang kontra dan tak mendukungku memang tak sepenuhnya keliru, namun mimpi dan cita-citaku juga tak salah, bukan? Ketika aku teringat dengan hal itu, maka seketika rasa tak percaya diriku musnah berganti optimis yang menggebu beserta dukungan dari beberapa orang yang masih peduli dan mau menghargai mimpiku.

Sumber : Google

Dulu, semua mimpi itu kurasakan bagai sebuah hal yang tak mungkin kugapai seperti pungguk yang merindukan bulan. Apalagi relasi serta keterbatasan media untukku menumpahkan ide yang berkeliaran, semakin mendoktrinku bahwa semua itu hanya mimpi belaka. Namun, setelah kutemukan duniaku, dan kutemukan beberapa penulis kenamaan yang dengan bijak mau berbagi ilmu, aku menjadi kian semangat untuk menggapai mimpiku, meski kini belum juga tercapai sebagaimana impian yang selama ini menemani hariku, namun setidaknya sebuah titik terang telah mulai nampak perlahan, mencuat ke permukaan. Ya, kurasa seni adalah duniaku. Sedari kecil aku begitu senang membaca, juga menggambar. Dulu, sempat aku bercita-cita sebagai seorang pelukis, karena aku merasa goresan kuasku pada kanvas terlihat begitu hidup, dan beberapa orang tetanggaku memujiku. Tentu saja, semangatku bukan berdasar karena pujian yang kudapat, melainkan karena aku sendiri begitu menikmati ketika tangan mungilku menyapukan kuas ke kanvas. Aku tak pernah mengerti dari mana dan dari siapa bakat seniku ini menurun. Sebab, dengan menengok ke belakang, orangtuaku terlahir sebagai pedagang, sementara satu-satunya yang memiliki bakat seni dalam bidang arsitektur adalah kakekku, namun beliau hanya kakek tiri. Jadi sama sekali aku tak memiliki hubungan darah dengannya. Menanggapi hal tersebut, aku lebih menyimpulkan bahwa bakatku ini adalah bakat alam. Ya, begitu aku menafsirkannya. Entah benar atau justru keliru, aku tak begitu mempersoalkan.

Belakangan ini, aku menjadi begitu semangat untuk menghabiskan waktu untuk menggambar atau menulis. Aku sendiri tak mengerti apa sebabnya. Karena dengan menengok ke belakang, setengah tahun terakhir semangatku sempat kendur, juga karena aktivitas kerja yang kujalani seringkali menyita waktu sehingga aku tak pernah mempunyai kesempatan untuk menuangkan ideku. Aku menjadi sedemikian semangat setelah "dia" lebih meluangkan waktu untuk mendukung hobby serta mencurahkan seluruh perhatiannya buatku. Ah ya, "dia", yang semoga akan menjadi pendamping hidup hingga tutup usiaku, senantiasa menemaniku dalam susah maupun senang. Aku melakukan semua ini, semata karena ingin menjadi yang terbaik buatnya, sebab aku teramat mencintainya, tentu setelah cinta utamaku kucurahkan pada Dzat yang telah menganuegerahkan rasa cinta itu sendiri. Teruntuk belahan jiwaku, lentera dalam hidupku, tetaplah setia menjaga jalinan kasih yang telah kita bina. Aku tak mau kehilanganmu, apalagi harus berpisah denganmu. Love you forever. Ya, karenamu aku mampu bertahan, karenamu aku bisa kembali menumbuhkan semangat yang sempat tenggelam. Sungguh pun aku takkan bisa tegak berdiri tanpamu.[ ]




Jakarta, 24 Mei 2012
@01.35 pm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011