Ibuku Adalah Sebongkah Salju dalam Kegersanganku (30 besar Event Ibuku Adalah 2)


Ibuku Adalah Sebongkah Salju dalam Kegersanganku

Ibuku adalah pelita dalam gulitaku, embun penyejuk di tengah dahagaku. Ibuku adalah sosok tangguh tak tergantikan, sosok luar biasa yang menggetarkan jiwa ketika mendengar kisahnya. Ibuku adalah wanita mulia yang semoga kelak menghiasi taman-taman surga-Nya.


Salju, seperti kau tahu, aku tahu, mereka juga tahu. Bahwa hadirnya mampu menyegarkan jiwa yang tengah dahaga, terlebih bagi sang musafir yang tengah mengembara mengarungi sang waktu, menembus terik yang memanggang. Pula yang kini ingin kugambarkan mengenai Ibuku, wanita mulia yang dengan keteguhan imannya, serta ketegaran jiwanya mampu menjadi sebongkah salju bagi jiwaku.
Mama. Begitu aku memanggilnya. Setiap tutur katanya adalah candu bagiku. Setiap senyumannya adalah penyemangat hidupku.

Mama, saat aku baru lahir, kau tersenyum bahagia mendengar tangisku. Setelah aku terlahir ke dunia, di tengah pekat malam, kau harus merelakan waktu istirahatmu untuk terbangun karena mendengar rengekanku yang minta menyusu. Ketika aku tengah belajar berjalan, dengan telaten kau menuntunku, tanpa pernah mengeluh atau berucap “Nak, Ibu lelah”. Sungguh, tak pernah sekali pun kudengar kalimat tersebut terlontar dari mulut bijakmu.

Ketika aku sakit, maka kaulah yang paling mencemaskanku. Mencurahkan seluruh waktu dan tenagamu untuk menjaga dan menemaniku.

Ketika aku mulai sekolah, setiap paginya kau menyediakan air hangat untuk mandiku. Menyediakan sarapan untukku, meski seringkali aku menolaknya. Ya, aku masih ingat betul saat aku kecil, aku paling susah untuk disuruh makan. Namun, dengan penuh kesabaran, kau senantiasa mengusahakan untuk membujukku agar aku mau makan. Semua itu kau lakukan hanya karena kau ingin aku tumbuh sehat dan tak mudah sakit.
Ah Mama, aku tak pernah sanggup untuk mendefinisikan semua kasih sayang dan cinta tulus yang kau persembahkan. Karena sejatinya, kasih sayang serta cintamu takkan pernah mampu terdefinisi apalagi terurai dengan untaian kata. Jika kasihmu kudefinisikan dengan sebait kalimat, niscaya semua takkan pernah mengimbangi semua jerih payahmu.

Karena, melalui definisi apapun, melalui penggambaran bagaimana pun, kasihmu yang agung masih terlalu murah untuk kuhargai dengan sebait aksara dari goresan jemariku, atau dari tutur kata yang kulontar melalui sebait sajak. Sungguh, itu tak berarti apa-apa dibanding dengan semua pengorbanan yang telah kau lakukan.

Kasih Ibu, Kepada beta.....
Tak terhingga, sepanjang masa.....
Hanya memberi, tak harap kembali.....
Bagai sang surya menyinari dunia.....

Setiap kali mulut ini melantunkan lagu tersebut, atau telinga ini mendengar senandungnya, atau bahkan hanya terngiang dalam angan, butiran bening air mataku selalu saja dengan lincah menggelinding menembus liang pori tak berbilang pada wajahku.

Mama, kau memang tak pernah mengenyam pendidikan formal, sehingga hanya sekedar membaca atau menuliskan namamu pun kau tak sanggup. Namun, pelajaran hidup yang kau berikan padaku, sungguh tak kalah berharga dari pelajaran yang kuterima dari Bapak Ibu guru di sekolah.

Dari ceritamu, aku tahu perjalanan hidupmu tak seindah hidupku. Semenjak kecil, kau telah menjadi piatu, karena konon, Ibumu yang tak lain adalah nenekku harus pergi menghadap Rabbnya, dan meninggalkanmu yang masih terlalu kecil untuk memahami arti hidup. Setelah Ayahmu kembali menikah, kau pun terpaksa harus angkat kaki dari rumah karena Ibu tirimu tak menghendaki kehadiranmu di rumah.

Tanpa pernah menggugat atau mengadu kepada Ayahmu, kau pun pergi dan mencari penghidupan di luar sana. Kau singgah dari satu tempat ke tempat lain dengan menjadi abdi tanpa digaji hanya demi mempertahankan hidup. Subhanallah, kau benar-benar wanita tegar. Mungkin, jika apa yang kau alami juga menimpaku, aku yakin aku takkan pernah sanggup menghadapinya.

Kisah hidupmu yang tak manis, kau jalani hingga dewasa, hingga akhirnya kau dipertemukan dengan Ayahku, yang kala itu menyandang gelar duda. Tanpa memandang status, kau pun menikah dengan Ayah, hingga lahirlah ketiga kakakku, dan yang terakhir adalah aku.

Mama, jika melihat tahun lahirmu, usiamu baru lah 48 tahun. Namun, ujian hidup yang datang silih berganti membuat kulit serta wajahmu mengeriput lebih cepat. Sehingga, setiap teman kuliahku menganggap fotomu yang senantiasa kubawa adalah foto nenekku.
“Cha, itu nenekmu ya?” Entah sudah berapa kali kudengar pertanyaan ini dari teman-teman kuliahku. Aku pun dengan bangga menjawab, “Ini Mamaku. Mirip denganku bukan?”

Ah, betapa mereka sangat keliru menganggap bahwa kau adalah nenekku. Ya, aku tak menyalahkan terkaan mereka. Karena aku sadar, Ibu-Ibu mereka masih terlihat muda dan terlihat cantik. Bukan maksudku mengatakan bahwa kau tidak cantik. Sungguh, bukan itu yang kumaksud. Seperti apapun rupa serta fisikmu, Mama tetaplah orang yang kepribadiannya paling cantik di hatiku. Tak sesuatu pun yang dapat menggantikan posisimu.

Mama, aku mencintaimu. Aku menyayangimu, melebihi apa pun di dunia ini, setelah cinta teratasku kucurahkan kepada Allah, Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan kita sebagai penggenggam semesta raya. Kau adalah harta paling berharga yang tak dapat ditukar dengan materi, tak sanggup terbayar oleh nilai rupiah.
Setiap kali teman-teman menduga bahwa fotomu adalah foto nenekku, apakah aku malu? Ternyata tidak. Aku bangga memilikimu. Aku kagum dengan kepribadianmu. Bahkan, fotoku yang tengah berdua denganmu, selalu kujadikan wallpaper di handphoneku, kujadikan wallpaper di layar notebook miniku, serta kuselipkan dalam dompet kesayanganku.

Ketika problematika hidup menyapaku, fotomu selalu menyejukkan dan mendamaikan gulananya jiwa. Saat semangat belajarku memudar, maka fotomu adalah penyemangat yang tak pernah habis memberikan inspirasi bagiku.

Hadirmu selalu menghantui setiap mimpi malamku, menyertai setiap detik mengeja waktu dalam langkahku. Hadirmu adalah selaksa makna yang tak pernah habis kureguk kenikmatannya, tak pernah bosan kurengkuh dalam dekapanku.

Meski aku harus tinggal jauh darimu demi studiku, aku yakin do’amu senantiasa menyertaiku. Karena itulah, aku pun takkan pernah berhenti mendo’akanmu.
Mama, kau tahu? Aku pernah tidak makan seharian hanya karena aku betapa rindu dengan masakanmu. Ya, kau memang tak pernah kursus memasak, tapi rasa masakanmu mengalahkan masakan koki handal. Semahal apapun makanan yang pernah kumakan di restaurant mewah, masakanmu tetap nomor satu di lidahku. Selezat apapun orang mengatakan tentang suatu makanan, masakanmu tetaplah yang terlezat.

Ah Mama, tak pernah sedetik pun wajahmu tak terbayang dalam memori ingatanku. Kau sungguh-sungguh selalu muncul di setiap waktuku. Aku senantiasa merindukan kecupan hangat yang selalu kau daratkan di wajahku saat aku tiba di rumah. Perlakuanmu kepadaku seolah kepada sosok yang telah bertahun lamanya tak kau jumpai. Ya, begitulah ibaratnya. Kau selalu menyambutku dengan sambutan yang membuatku seringkali terbuai. Meski kini, hampir setiap minggu aku pulang ke rumah. Namun sikapmu masih seperti dulu semasa aku SMA, yang pulang hanya setengah tahun sekali. Kau selalu mendaratkan kecupanmu di keningku. Mendekap erat tubuhku dengan pelukan penuh cinta.

Mama, hanya kaulah wanita hebat yang tak pernah menunjukkan rasa sakit hati meski berulangkali aku melukai perasaanmu dengan sikap angkuhku. Hanya kaulah yang tak pernah tersinggung dengan ucapanku yang kerapkali menyakitimu. Kau adalah wanita berhati lembut yang begitu pemaaf. Kau adalah sosok teladan yang sangat setia kepada Ayah, suamimu, yang kini lemah karena sakit. Semua itu, kau lakoni tanpa pamrih, demi mendapat ridho Illahi.

Subhanallah. Takkan pernah lidah ini berhenti berdecak mengagumi sosokmu.
Mama, kasihmu senantiasa menjadi lentera yang tak pernah meredup. Cintamu senantiasa menjadi petunjuk saat aku tersesat ke dalam lorong sunyi tak bertepi. Senyumanmu senantiasa menjadi pupuk semangatku dalam bertindak. Petuahmu senantiasa menghiasi setiap jengkal langkahku dalam menggapai asa dan cita. Love you forever my Mom.[*]

Ya Allah, jangan biarkan luka menyambangi hidupnya
Jangan biarkan sakit menggerogoti tubuhnya
Jangan biarkan air mata kesedihan mengalir dari telaga beningnya

Jika kelak Engkau memanggilnya,
Maka tempatkan Ibu dalam jannah-Mu,
Sandingkanlah ia di tempat yang layak bersama para kekasih-Mu yang lain.
Amin ya Rabbal ‘alamiin...


Di bawah temaram malam, Purwokerto, 9 April 2011 on 22:14

Komentar

  1. Subhaanalloh.
    Maha suci Alloh.
    Ibuku, aku hanya bertemu setahun sekali, bhkn sampai 2 thn, dan setiap pulang/ bertemu yang kulihat uban di rambut ibuku slalu bertambah, walau umur ibuku jauh lebih muda dari ayahku (10 th), tapi uban di rambutnya lebih banyak, itulah Seorang IBU, yang slalu memikirkan anak-anaknya, ya Ayahku juga seorang pejuang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, walaupun slalu kekurangan.
    Maafkan aku Ibu yang belum bisa memberimu kebanggaan.
    I love Mom

    BalasHapus
  2. tak akan pernah habis kata untuk membicarakan seorang ibu.. karena ibuku adalah wanita tertangguh...;-)
    ah, aku malah kangen sm kakakku yang udah bertahun-tahun gak pulang.. kadang, aku bertanya apakah ia tak merindukan ibu kita.. ;-)

    BalasHapus

Posting Komentar

Coment please...

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011