Penyesalanku Anugerah Bagiku
Purwokerto, 4 Desember 2010
Kesendirian. Ya, kesendirian. Hanya kesendiran yang ku dapati setiap liburan tiba.
Sejak ketiga kakakku bekerja di luar kota, hampir tak pernah ku dapati keramaian saat
aku pulang ke rumah. Bisa berkumpul hanya saat lebaran ‘idul fitri. Itu pun belumlah
lengkap. Sebab, sudah empat tahun mas Iwan, salah satu kakakku tidak pernah lagi
tampak berkumpul bersama anggota keluarga yang lain, untuk berlebaran di kampung
halaman. Ahh, menyedihkan memang. Tapi inilah konsekuensinya menjadi anak
bungsu. Nasib… Nasib…
Liburan semesterku kali ini masih tetap sama. Sama sekali tak ada perubahan.
Tetap saja kesendirian yang berada pada barisan paling depan menyapaku. Sementara
sinar mentari pagi yang mengintip, menelusup dari balik jeruji jendela tersenyum
kecut ke arahku, seakan mengejek dan mencemooh kesendirianku. Semilir angin dan
suara gemerisik pohon akasia di samping rumah tak mau kalah, mereka menatapku
sinis penuh sindiran. Ahh, aku nggak boleh larut dalam kesendirianku. Bukankah
dalam menjalani rutinitas kuliah di kampus, di tempat kost, aku telah menemukan
kebahagiaan yang tiada tara? Kebahagiaan yang merupakan anugerah terindah dari
Sang Maha Pemberi cinta? Sehingga di sana aku menemukan sahabat yang sangat
hebat, yang mengajarkanku akan makna cinta yang sesungguhnya dalam ukhuwah
islam? Yang intervensinya sungguh dahsyat bagi proses pendewasaanku? Ahh, betapa
selama ini aku sering mengeluh, kurang mensyukuri nikmat Illah.
Awal agustus 2010 adalah awal aku menjalani aktivitas kuliah di sebuah Lembaga
Pendidikan Multi Profesi Satu Tahun yang ada di kota Purwokerto. Yaitu sebuah
kampus kecil yang diberi nama El Rahma Satria. ERS, begitulah nama populer yang
sering dikatakan oleh mahasiswa El Rahma. Awalnya aku sangat gerah kuliah di sini
sebelum akhirnya aku menemukan kebahagiaanku sendiri. Perasaan marah, penuh
sesal bserkecamuk dalam dada. Tak ada sedikitpun dalih yang mampu mendamaikan
gemuruhnya hati.
Setiap kuliah hanya uring-uringan dan malas-malasan. Penyesalanku mendaftar ke
El Rahma semakin membuncah. Bagaimana tidak? El Rahma yang ku anggap sebagai
kampus penyelamat serta merta berubah menjadi tempat yang membuatku sama sekali
tak menemukan kenyamanan. Aku merasa terkungkung dalam jurang yang sangat
dalam dan gelap tanpa cahaya. Semua itu disebabkan karena kekesalanku yang harus
dipindah ke jurusan yang sama sekali tak ku minati. Padahal aku minatnya di Bahasa
Inggris. Tapi karena alasan yang minat hanya tujuh anak, maka pihak kampus
mengatakan tidak mungkin diadakan kelas untuk jurusan Bahasa Inggris. Semua
dipindah ke jurusan Administrasi. “Itu kan namanya nggak profesional?” Batinku.
Aku mendaftar ke El Rahma karena aku kira ini merupakan alternatif terbaik. Di sini
biayanya lebih murah, dan kuliahnya juga singkat, hanya setahun. Belum lagi jurusan
yang aku impikan ada di sini. Tapi nyatanya? Huh, gubrakkk….!!!
Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah ungkapan yang ku rasa layak disandang
olehku kala itu. Setelah beberapa test seleksi beasiswa masuk Perguruan Tinggi yang
ku ikuti selalu menuai kegagalan, aku malah kuliah di kampus yang diibaratkan
seperti neraka. Begitulah gerutuku saat itu.
Lambat laun aku mulai menekuni dunia kuliahku. Ternyata mata kuliah
Administrasi yang awalnya teramat aku benci cukup menyenangkan juga. Pak Jenri,
dosen pengajar mata kuliah tersebut selalu memberikan motivasi setiap masuk kelas.
Performancenya yang penuh kharisma, profesional attitudenya yang menakjubkan,
serta soft skill yang pantas diacungi jempol mampu mengobati kekecewaanku secara
perlahan. Dalam menempuh kuliahku di El Rahma aku mendapatkan teman-teman
yang sangat baik lebih dari saudaraku sendiri. Hingga aku dikenalkan dengan kegiatan
mentoring. Dimana dalam mentoring tersebut aku dikenalkan dengan sosok bernama
mbak Hikmah. Sosok yang amat aku kagumi karena kepribadian serta balutan busana
muslim panjang yang membuatnya tampak anggun. Mbak Hikmah adalah mahasiswa
Unsoed yang menjadi pembimbing mentoring kelompokku. Dan kemudian lewat
mentoring tersebut Allah mendekatkan dan menyatukan hatiku dengan salah seorang
teman kuliah yang kini menjadi sahabat dekatku. Sangat dekat malah. Esla. Ya Esla,
begitulah nama panggilanku buat dia. Nama panjangnya Efiana Sabdilah Linda
Anggasari. Teman-teman sering memanggilnya dengan sebutan Linda. Namun aku
lebih suka memanggilnya “ESLA”, nama panggilan yang ku ambil dari singkatan
namanya. Dan ia pun tampaknya tidak merasa keberatan. (Terang saja nggak berat,
wong nggak memikul batu besar kok… Heheee…. Back to true story…)
Kedekatanku dengan Esla berawal saat kami di warnet. Kemudian kedekatan
kami berlanjut seiring waktu saat aktif mengikuti kegiatan mentoring. Padahal Esla
juga salah satu korban transmigrasi jurusan dari Bahasa Inggris ke Administrasi.
( Bahasanya nggak nyambung ya? Ya udah disambung-sambungin ajah sendiri….
Whekzzz…^_^). Tapi entah mengapa dulu aku kurang begitu mengenalnya.
“Eh Lin…. Kamu yang namanya panjang kayak kereta kan?” Celetukku saat
menyadari di kamar warnet sebelah ada Esla. Waktu itu aku masih ikut-ikutan temen
memanggilnya dengan sebutan Linda. (Aku berlagak sok akrab gitu... Padahal
sebelumnya hampir nggak pernah bertegur sapa… Mungkin aku carmuk alias cari
muka kali ya??? {Emang mukanya hilang neng?}…hahakzzz…)
“Ah kamu, masih panjangan rel keretanya kaleee….!!!”
“Orang tuamu ngasih nama panjang amat? Waktu ngisi LJK pasti habis buat
ngebuletin lingkaran-lingkaran nama ya?” Tanyaku kemudian masih dengan nada
‘sok akrabnya’.
“Ya nggak juga dong… Eh Cha, aku minta nomer handphonemu dong?”
Tukasnya sejurus kemudian.
“Wah aku nggak hafal, kamu aja deh yang sebutin nomer HaPe-mu… Ntar aku
missed call…” Aku berlagak nggak inget nomer HaPe-ku sendiri. Padahal sebenarnya
tuh nomer udah ngelotok bener di memori otakku.
“0821xxxxxxxx… Beneran ya missed call aku Cha….”
“Iya iya…” Sahutku sambil nge-save nomer Esla di kontak HaPe jadulku. “Yah…
Nggak ada pulsanya… Ntar malem aja ya aku SMS kamu kalo aku udah beli pulsa…”
Aku pura-pura. Padahal tadi pagi baru aja habis isi ulang. Naluri isengku buat ngerjain
dia tiba-tiba muncul begitu saja. Hemm… Sebuah ide briliant… Hahaa…
“ Oya Lin,
ngobrolnya lanjut entar malem aja ya lewat SMS? Takut ngeganggu pengunjung yang
lain…” Aku memberi usulan. Dari tadi nggak kerasa asyik ngobrol dengan ‘teman
baru. Sementara billing waktu di layar komputer terus berjalan. Sayang juga tadi
membuang-buang waktu untuk ngobrol. Tarif warnet kan terus berjalan? Ceritanya
sebagai penganut sistem ekonomi amatiran kan segala sesuatunya harus
diperhitungkan. (Heehe… ‘sok tahu’). Selanjutnya aku kembali berjibaku di depan
monitor. Jemariku dengan lincahnya menari di atas tuts keyboard mengetikkan
keyword yang aku cari di kotak search milik om Google. Saat di warnet biasanya aku
nyari artikel-artikel dalam Bahasa Inggris. Rencananya sih untuk menambah wawasan
dan memperlancar kosa kata dalam Bahasa Inggris. (Wah ‘sok’ banget yaa???).
Padahal lebih seringnya rencana tersebut nggak terlaksana. Ada juga hasil print
outnya biasanya tergeletak di kamar kost. Atau mungkin masuk ke dalam berkas file
dokumentasi yang sudah tak terpakai. And yang paling parah print out tersebut masuk
ke dalam tong sampah.
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄
Sejak pertemuan ajaibku dengan Esla di warnet, akhirnya kami menjadi sangat
dekat. Di kampus, di mana ada aku, di situ pula ada Esla. Tak heran jika teman-teman
menyebut kami kakak adik. Bahkan ada pula yang menjuluki kami saudara kembar
yang unik. Wajar lah disebut unik. Aku tinggi gemuk, sedang Esla kurus pendek. Tapi
nggak perlu khawatir. Esla nggak bakal teraniaya bersahabat denganku. Sebab aku
sudah benar-benar jatuh cinta sama dia. Begitupun Esla, dia juga udah jatuh cinta
banget tuh sama aku. Sampai-sampai saat aku sakit parah dan paginya dia nggak
mendapati aku di kampus, seusai jam kuliah pertama dia langsung go, meluncur ke
kamar kostku yang cukup jauh dari kampus. Dia bela-belain nggak ikut kuliah pada
jam berikutnya hanya demi nemenin aku. Padahal udah aku bilangin supaya tuh anak
tetep kuliah, tapi dia tetep aja membantah. Bahasa kerennya sih kami memang udah
bener-bener ‘in Love’ sehingga sulit terpisah. Sepertinya ada GTMC gitu. Gaya Tarik
Magnet Cinta. Nah Loh??? (Eits,,, but don’t negative thinking with me and her…
Sebab cinta di antara kami bukan cinta sesama jenis alias lesbian… Cinta kita adalah
cinta sahabat yang berdasarkan cinta kepada Allah…)
“Cha, ternyata kita banyak memiliki kesamaan ya?” Ucapnya pada suatu siang.
“Hah? Kesamaan? Me and you? Iih nggak banget deh… Apanya juga yang sama?
Hahaa….”
“Ahh kamu Cha, bisanya becanda mulu….”
“Yee,,, emang apanya yang sama coba? Postur tubuh? Nggak banget…!!! Alamat?
Apalagi….!!!” Aku nyengir kuda menanggapi ucapan Esla.
“Hemm… inget nggak you and me pertama kali datang ke El Rahma ngambil
jurusan apa? Terus inget-inget deh tanggal lahir kita yang cuma selisih sepuluh
hari…. Terus hobi mengarang puisi… dan terakhir kemarin test psikologi jawaban
kita nyaris nggak terdapat perbedaan... Dan sekarang, kita sama-sama duduk di tepi
bendungan ini kayak orang ilang yang terdampar terbawa arus selokan… Hahahaa…”
Kami pun tertawa bareng. Di sekeliling kami tampak hamparan rumput yang luas.
Ada pula beberapa lelaki separuh baya tengah asyik memancing. Hufft, betapa
indahnya anugerah Allah. Sebenarnya kami nggak cuman berdua. Tapi berempat. Ada
Shofa dan Okky, mahasiswa jurusan teknisi yang kebetulan juga aku kenal tanpa
sengaja saat praktek mengajar di kelas teknisi. Okky tampak ngobrol dengan bapakbapak
yang sedang mancing. Sedangkan Shofa asyik mengisi TTS'nya. Aku kurang
tahu mengenai kepribadian Shofa. Sebab dia lebih banyak pasif dan acuh dalam
bergaul. Sedangkan Okky yang waktu pertama aku kenal tampangnya seperti preman
serta terkesan kurang baik, ternyata kepribadiannya membuatku takjub. Dia adalah
sosok sahabat yang peduli dengan orang lain. Di balik penampilannya yang mreman
dia tak ubahnya seperti seorang ustadz, seorang alim, seorang ikhwan, dan entah apa
lah namanya. Yang jelas dia sangat taat kepada agama. Itu semakin membuatku
'semakin cinta' (kayak lagunya KOTAK. ^_~) kepada Allah.
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄
Esla. Namanya tlah terpatri dalam palung hatiku. Tak pernah sebelumnya aku
mempunyai sahabat sesetia dirinya. Dia bahkan rela nggak jajan demi mendukungku
untuk ikutan lomba menulis. Dia rela membayar tarif warnet untukku. Subhanallah.
Lidah ini berdecak kagum atas karuniaMu ya Rabb. Padahal dia sendiri aku lihat
punya bakat dalam bidang menulis. Tapi entah mengapa dia nggak begitu terobsesi
mengikuti kompetisi menulis sepertiku. Dia selalu saja menolak ajakanku. Dia lebih
mensuport dan mensuportku. Subhanallah. Aku terharu. Hikss… Hikss…
Selama lebih kurang lima bulan kami bersahabat, banyak kejadian konyol yang
kami lalui bersama. Contohnya saja saat kami terobsesi untuk mencari kerja. Kami
menelusuri rute yang berkilometer-kilometer jauhnya untuk menanyakan apakah ada
lowongan kerja atau tidak. Sampai pernah pula nyasar ke toko DVD yang awalnya
kami kira toko buku. Gilaa!!! Cuapek sangat. Kampungan pula diliatin orang. Masak
cantik-cantik jalan kaki di tengah terik matahari? Melewati keramaian kota? Mending
di hutan nggak ada yang ngeliat jadi nggak malu… Hahaa…
Lebih gilanya, kami nggak kapok melakukan ekspedisi buat nyari kerja tersebut.
Padahal sebelumnya selalu penolakan yang kami dapat. Tapi dasar nekat, kami
kembali bercapek-capek ria menelusuri kota. Dengan rute yang berbeda tentunya. Dan
alhamdulillah, hasilnya masih tetap sama seperti kemarin. Kenapa alhamdulillah? ‘Ya
jelas dong, itu kan berarti Allah masih memberi kesempatan kita untuk berleleh-lelah
melemaskan otot kaki…’ Begitulah kesimpulan yang selalu kami ucapkan untuk
menghibur diri. Lalu bertatapan dengan senyum mengembang. Sebenarnya kasihan
juga ngeliat tubuhnya yang kurus harus bermandikan peluh. Tapi emang dia maksa ya
akhirnya dilakonin juga bareng-bareng. Bahkan sering kali hanya sekedar olah raga
siang jalan kaki ke alun-alun kota. Padahal sih lebih dibilang orang nggak punya
kerjaan… Wkwkwkkkkkwkwk…
Pernah juga pada suatu hari kami dikejar anjing saat tengah jalan kaki dari pasar
loak. Ceritanya kan gini, sebagai penggila buku dan majalah-majalah sastra, aku
gemar sekali mengoleksi buku berjenis novel, agama, atau buku yang lainnya. Kalau
lagi punya uang banyak sih gengsi ke pasar loak. Paling tidak belinya ya ke Gramedia
lah. Tapi giliran kantong mulai menipis, prinsip ekonomi berlaku. Biasa
penghematan… Yang penting masih tetep ada hal baru yang bisa dibaca.
“Sla,,, aku pengen cari buku bacaan baru deh… Di pasar loak ada nggak ya?”
“Ayo ayo… Kita jalan kaki ya?” Begitu semangatnya Esla menjawab. Matanya
berbinar menyorotkan keteduhan. Huh, damainya hati memiliki sahabat sepertinya.
“Ahh ngaco kamu… Yang bener aja… Kan jauh, lagi pula mau ujan tau.. Tuh liat
awan dah mulai mewek…”
“Kan baru mau ujan Cha? Belum ujan beneran…” Esla membantah.
“Ya udah terserah kamu, tapi aku usulin besok aja deh… Dari pada ntar basah
kuyup keujanan coba? Yang butuh kan aku, kok kamu yang antusias gitu sih? Naksir
yah sama penjualnya??” Ledekku.
“Udah dibilangin belum ujan juga… Iya kalo cowok, kalo penjualnya cewek
masak mau naksir? Idih… Ogah ya…!”
Alhasil dengan segala bujuk rayunya kami meluncur ke pasar loak menggunakan
kapal masing-masing. (Lebih tepatnya jalan kaki). Ehh, malangnya pasar loaknya
tutup. Bukan dapet buku malah dapet apes. Kami dikejar anjing. Esla yang takut
banget sama makhluk bernama anjing spontan aja lari jika aku nggak menarik
kembali lengannya.
“Eh jangan lari, kalo lari tuh justru kita dikejar… Manusia derajatnya lebih tinggi
dari binatang. Biar anjing nggak ngejar kita, baca tuh ayat Al Qur’an dalam surah Al
Baqarah yang bunyinya ‘Sunmumbukmun’umyunfahum laayarji’uun.” Aku berlagak
kayak bu Ustadzah. Saat kami masih berdebat masalah anjing, tiba-tiba hujan lebat
mengguyur kota Purwokerto. Esla melepas jaketnya dan menggunakannya untuk
memayungi aku dan dirinya.
“Kita romantis ya Cha? Hehee…” Aku hanya tersenyum menanggapinya. Kami
mempercepat langkah agar cepat sampai ke kostan. Alhasil kemesraan kami
mengundang perhatian orang-orang yang tengah berteduh di emperan toko. Ada yang
menggoda kami. Ada pula yang menertawakan kami. Tapi kami tetep saja kami enjoy
menjalaninya. Kami justru bahagia ditertawakan. Gubrakkk!! Dasar persahabatan
yang gokil, lucu, dan konyol punya. Tapi perlu pembaca ketahui, gini-gini kami
adalah akhwat yang semoga istiqomah. Amiin.
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄
Semua rasa sesalku kuliah di El Rahma sudah tak tersisa sedikitpun. Aku justru
bersyukur bisa berada di El Rahma hingga detik ini. El Rahma telah membuatku
mengenal sahabat-sahabat yang sangat luar biasa. Di sini aku mengenal cinta yang
membuatku semakin mencintai Rabbku. Anugerah terindah berupa sahabat yang
mampu memahamiku, membuatku nyaman, dan membuatku merasa dihargai serta
saling menghargai. Dimana kami selalu saling mengingatkan dalam kebenaran. Agar
di antara kami tak sampai berbuat sesuatu yang menjauhkan kami dari Rahmat Allah.
Semoga cinta kami menjadi salah satu tujuan dakwah, yang mengantarkan kami
semua kepada cinta Sang Kekasih Sejati. Allah SWT.
Sahabat bukanlah orang yang mau menerima kita disaat kita senang dan menjauhi
kita di saat kita susah. Tapi sahabat adalah orang yang selalu ada di setiap saat kita
membutuhkannya. Sahabat selalu mengerti apa yang diinginkan sahabatnya. Maka
jangan pernah menyia-nyiakan sahabat yang merupakan anugerah terindah dari Allah.
Naskah ini diikutkan lomba tapi kalah....... tp tak apa... aku senang dg kekalahan itu karna menjadi pemicu semangatku dalam dunia tulis menulis........
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄
Kesendirian. Ya, kesendirian. Hanya kesendiran yang ku dapati setiap liburan tiba.
Sejak ketiga kakakku bekerja di luar kota, hampir tak pernah ku dapati keramaian saat
aku pulang ke rumah. Bisa berkumpul hanya saat lebaran ‘idul fitri. Itu pun belumlah
lengkap. Sebab, sudah empat tahun mas Iwan, salah satu kakakku tidak pernah lagi
tampak berkumpul bersama anggota keluarga yang lain, untuk berlebaran di kampung
halaman. Ahh, menyedihkan memang. Tapi inilah konsekuensinya menjadi anak
bungsu. Nasib… Nasib…
Liburan semesterku kali ini masih tetap sama. Sama sekali tak ada perubahan.
Tetap saja kesendirian yang berada pada barisan paling depan menyapaku. Sementara
sinar mentari pagi yang mengintip, menelusup dari balik jeruji jendela tersenyum
kecut ke arahku, seakan mengejek dan mencemooh kesendirianku. Semilir angin dan
suara gemerisik pohon akasia di samping rumah tak mau kalah, mereka menatapku
sinis penuh sindiran. Ahh, aku nggak boleh larut dalam kesendirianku. Bukankah
dalam menjalani rutinitas kuliah di kampus, di tempat kost, aku telah menemukan
kebahagiaan yang tiada tara? Kebahagiaan yang merupakan anugerah terindah dari
Sang Maha Pemberi cinta? Sehingga di sana aku menemukan sahabat yang sangat
hebat, yang mengajarkanku akan makna cinta yang sesungguhnya dalam ukhuwah
islam? Yang intervensinya sungguh dahsyat bagi proses pendewasaanku? Ahh, betapa
selama ini aku sering mengeluh, kurang mensyukuri nikmat Illah.
Awal agustus 2010 adalah awal aku menjalani aktivitas kuliah di sebuah Lembaga
Pendidikan Multi Profesi Satu Tahun yang ada di kota Purwokerto. Yaitu sebuah
kampus kecil yang diberi nama El Rahma Satria. ERS, begitulah nama populer yang
sering dikatakan oleh mahasiswa El Rahma. Awalnya aku sangat gerah kuliah di sini
sebelum akhirnya aku menemukan kebahagiaanku sendiri. Perasaan marah, penuh
sesal bserkecamuk dalam dada. Tak ada sedikitpun dalih yang mampu mendamaikan
gemuruhnya hati.
Setiap kuliah hanya uring-uringan dan malas-malasan. Penyesalanku mendaftar ke
El Rahma semakin membuncah. Bagaimana tidak? El Rahma yang ku anggap sebagai
kampus penyelamat serta merta berubah menjadi tempat yang membuatku sama sekali
tak menemukan kenyamanan. Aku merasa terkungkung dalam jurang yang sangat
dalam dan gelap tanpa cahaya. Semua itu disebabkan karena kekesalanku yang harus
dipindah ke jurusan yang sama sekali tak ku minati. Padahal aku minatnya di Bahasa
Inggris. Tapi karena alasan yang minat hanya tujuh anak, maka pihak kampus
mengatakan tidak mungkin diadakan kelas untuk jurusan Bahasa Inggris. Semua
dipindah ke jurusan Administrasi. “Itu kan namanya nggak profesional?” Batinku.
Aku mendaftar ke El Rahma karena aku kira ini merupakan alternatif terbaik. Di sini
biayanya lebih murah, dan kuliahnya juga singkat, hanya setahun. Belum lagi jurusan
yang aku impikan ada di sini. Tapi nyatanya? Huh, gubrakkk….!!!
Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah ungkapan yang ku rasa layak disandang
olehku kala itu. Setelah beberapa test seleksi beasiswa masuk Perguruan Tinggi yang
ku ikuti selalu menuai kegagalan, aku malah kuliah di kampus yang diibaratkan
seperti neraka. Begitulah gerutuku saat itu.
Lambat laun aku mulai menekuni dunia kuliahku. Ternyata mata kuliah
Administrasi yang awalnya teramat aku benci cukup menyenangkan juga. Pak Jenri,
dosen pengajar mata kuliah tersebut selalu memberikan motivasi setiap masuk kelas.
Performancenya yang penuh kharisma, profesional attitudenya yang menakjubkan,
serta soft skill yang pantas diacungi jempol mampu mengobati kekecewaanku secara
perlahan. Dalam menempuh kuliahku di El Rahma aku mendapatkan teman-teman
yang sangat baik lebih dari saudaraku sendiri. Hingga aku dikenalkan dengan kegiatan
mentoring. Dimana dalam mentoring tersebut aku dikenalkan dengan sosok bernama
mbak Hikmah. Sosok yang amat aku kagumi karena kepribadian serta balutan busana
muslim panjang yang membuatnya tampak anggun. Mbak Hikmah adalah mahasiswa
Unsoed yang menjadi pembimbing mentoring kelompokku. Dan kemudian lewat
mentoring tersebut Allah mendekatkan dan menyatukan hatiku dengan salah seorang
teman kuliah yang kini menjadi sahabat dekatku. Sangat dekat malah. Esla. Ya Esla,
begitulah nama panggilanku buat dia. Nama panjangnya Efiana Sabdilah Linda
Anggasari. Teman-teman sering memanggilnya dengan sebutan Linda. Namun aku
lebih suka memanggilnya “ESLA”, nama panggilan yang ku ambil dari singkatan
namanya. Dan ia pun tampaknya tidak merasa keberatan. (Terang saja nggak berat,
wong nggak memikul batu besar kok… Heheee…. Back to true story…)
Kedekatanku dengan Esla berawal saat kami di warnet. Kemudian kedekatan
kami berlanjut seiring waktu saat aktif mengikuti kegiatan mentoring. Padahal Esla
juga salah satu korban transmigrasi jurusan dari Bahasa Inggris ke Administrasi.
( Bahasanya nggak nyambung ya? Ya udah disambung-sambungin ajah sendiri….
Whekzzz…^_^). Tapi entah mengapa dulu aku kurang begitu mengenalnya.
“Eh Lin…. Kamu yang namanya panjang kayak kereta kan?” Celetukku saat
menyadari di kamar warnet sebelah ada Esla. Waktu itu aku masih ikut-ikutan temen
memanggilnya dengan sebutan Linda. (Aku berlagak sok akrab gitu... Padahal
sebelumnya hampir nggak pernah bertegur sapa… Mungkin aku carmuk alias cari
muka kali ya??? {Emang mukanya hilang neng?}…hahakzzz…)
“Ah kamu, masih panjangan rel keretanya kaleee….!!!”
“Orang tuamu ngasih nama panjang amat? Waktu ngisi LJK pasti habis buat
ngebuletin lingkaran-lingkaran nama ya?” Tanyaku kemudian masih dengan nada
‘sok akrabnya’.
“Ya nggak juga dong… Eh Cha, aku minta nomer handphonemu dong?”
Tukasnya sejurus kemudian.
“Wah aku nggak hafal, kamu aja deh yang sebutin nomer HaPe-mu… Ntar aku
missed call…” Aku berlagak nggak inget nomer HaPe-ku sendiri. Padahal sebenarnya
tuh nomer udah ngelotok bener di memori otakku.
“0821xxxxxxxx… Beneran ya missed call aku Cha….”
“Iya iya…” Sahutku sambil nge-save nomer Esla di kontak HaPe jadulku. “Yah…
Nggak ada pulsanya… Ntar malem aja ya aku SMS kamu kalo aku udah beli pulsa…”
Aku pura-pura. Padahal tadi pagi baru aja habis isi ulang. Naluri isengku buat ngerjain
dia tiba-tiba muncul begitu saja. Hemm… Sebuah ide briliant… Hahaa…
“ Oya Lin,
ngobrolnya lanjut entar malem aja ya lewat SMS? Takut ngeganggu pengunjung yang
lain…” Aku memberi usulan. Dari tadi nggak kerasa asyik ngobrol dengan ‘teman
baru. Sementara billing waktu di layar komputer terus berjalan. Sayang juga tadi
membuang-buang waktu untuk ngobrol. Tarif warnet kan terus berjalan? Ceritanya
sebagai penganut sistem ekonomi amatiran kan segala sesuatunya harus
diperhitungkan. (Heehe… ‘sok tahu’). Selanjutnya aku kembali berjibaku di depan
monitor. Jemariku dengan lincahnya menari di atas tuts keyboard mengetikkan
keyword yang aku cari di kotak search milik om Google. Saat di warnet biasanya aku
nyari artikel-artikel dalam Bahasa Inggris. Rencananya sih untuk menambah wawasan
dan memperlancar kosa kata dalam Bahasa Inggris. (Wah ‘sok’ banget yaa???).
Padahal lebih seringnya rencana tersebut nggak terlaksana. Ada juga hasil print
outnya biasanya tergeletak di kamar kost. Atau mungkin masuk ke dalam berkas file
dokumentasi yang sudah tak terpakai. And yang paling parah print out tersebut masuk
ke dalam tong sampah.
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄
Sejak pertemuan ajaibku dengan Esla di warnet, akhirnya kami menjadi sangat
dekat. Di kampus, di mana ada aku, di situ pula ada Esla. Tak heran jika teman-teman
menyebut kami kakak adik. Bahkan ada pula yang menjuluki kami saudara kembar
yang unik. Wajar lah disebut unik. Aku tinggi gemuk, sedang Esla kurus pendek. Tapi
nggak perlu khawatir. Esla nggak bakal teraniaya bersahabat denganku. Sebab aku
sudah benar-benar jatuh cinta sama dia. Begitupun Esla, dia juga udah jatuh cinta
banget tuh sama aku. Sampai-sampai saat aku sakit parah dan paginya dia nggak
mendapati aku di kampus, seusai jam kuliah pertama dia langsung go, meluncur ke
kamar kostku yang cukup jauh dari kampus. Dia bela-belain nggak ikut kuliah pada
jam berikutnya hanya demi nemenin aku. Padahal udah aku bilangin supaya tuh anak
tetep kuliah, tapi dia tetep aja membantah. Bahasa kerennya sih kami memang udah
bener-bener ‘in Love’ sehingga sulit terpisah. Sepertinya ada GTMC gitu. Gaya Tarik
Magnet Cinta. Nah Loh??? (Eits,,, but don’t negative thinking with me and her…
Sebab cinta di antara kami bukan cinta sesama jenis alias lesbian… Cinta kita adalah
cinta sahabat yang berdasarkan cinta kepada Allah…)
“Cha, ternyata kita banyak memiliki kesamaan ya?” Ucapnya pada suatu siang.
“Hah? Kesamaan? Me and you? Iih nggak banget deh… Apanya juga yang sama?
Hahaa….”
“Ahh kamu Cha, bisanya becanda mulu….”
“Yee,,, emang apanya yang sama coba? Postur tubuh? Nggak banget…!!! Alamat?
Apalagi….!!!” Aku nyengir kuda menanggapi ucapan Esla.
“Hemm… inget nggak you and me pertama kali datang ke El Rahma ngambil
jurusan apa? Terus inget-inget deh tanggal lahir kita yang cuma selisih sepuluh
hari…. Terus hobi mengarang puisi… dan terakhir kemarin test psikologi jawaban
kita nyaris nggak terdapat perbedaan... Dan sekarang, kita sama-sama duduk di tepi
bendungan ini kayak orang ilang yang terdampar terbawa arus selokan… Hahahaa…”
Kami pun tertawa bareng. Di sekeliling kami tampak hamparan rumput yang luas.
Ada pula beberapa lelaki separuh baya tengah asyik memancing. Hufft, betapa
indahnya anugerah Allah. Sebenarnya kami nggak cuman berdua. Tapi berempat. Ada
Shofa dan Okky, mahasiswa jurusan teknisi yang kebetulan juga aku kenal tanpa
sengaja saat praktek mengajar di kelas teknisi. Okky tampak ngobrol dengan bapakbapak
yang sedang mancing. Sedangkan Shofa asyik mengisi TTS'nya. Aku kurang
tahu mengenai kepribadian Shofa. Sebab dia lebih banyak pasif dan acuh dalam
bergaul. Sedangkan Okky yang waktu pertama aku kenal tampangnya seperti preman
serta terkesan kurang baik, ternyata kepribadiannya membuatku takjub. Dia adalah
sosok sahabat yang peduli dengan orang lain. Di balik penampilannya yang mreman
dia tak ubahnya seperti seorang ustadz, seorang alim, seorang ikhwan, dan entah apa
lah namanya. Yang jelas dia sangat taat kepada agama. Itu semakin membuatku
'semakin cinta' (kayak lagunya KOTAK. ^_~) kepada Allah.
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄
Esla. Namanya tlah terpatri dalam palung hatiku. Tak pernah sebelumnya aku
mempunyai sahabat sesetia dirinya. Dia bahkan rela nggak jajan demi mendukungku
untuk ikutan lomba menulis. Dia rela membayar tarif warnet untukku. Subhanallah.
Lidah ini berdecak kagum atas karuniaMu ya Rabb. Padahal dia sendiri aku lihat
punya bakat dalam bidang menulis. Tapi entah mengapa dia nggak begitu terobsesi
mengikuti kompetisi menulis sepertiku. Dia selalu saja menolak ajakanku. Dia lebih
mensuport dan mensuportku. Subhanallah. Aku terharu. Hikss… Hikss…
Selama lebih kurang lima bulan kami bersahabat, banyak kejadian konyol yang
kami lalui bersama. Contohnya saja saat kami terobsesi untuk mencari kerja. Kami
menelusuri rute yang berkilometer-kilometer jauhnya untuk menanyakan apakah ada
lowongan kerja atau tidak. Sampai pernah pula nyasar ke toko DVD yang awalnya
kami kira toko buku. Gilaa!!! Cuapek sangat. Kampungan pula diliatin orang. Masak
cantik-cantik jalan kaki di tengah terik matahari? Melewati keramaian kota? Mending
di hutan nggak ada yang ngeliat jadi nggak malu… Hahaa…
Lebih gilanya, kami nggak kapok melakukan ekspedisi buat nyari kerja tersebut.
Padahal sebelumnya selalu penolakan yang kami dapat. Tapi dasar nekat, kami
kembali bercapek-capek ria menelusuri kota. Dengan rute yang berbeda tentunya. Dan
alhamdulillah, hasilnya masih tetap sama seperti kemarin. Kenapa alhamdulillah? ‘Ya
jelas dong, itu kan berarti Allah masih memberi kesempatan kita untuk berleleh-lelah
melemaskan otot kaki…’ Begitulah kesimpulan yang selalu kami ucapkan untuk
menghibur diri. Lalu bertatapan dengan senyum mengembang. Sebenarnya kasihan
juga ngeliat tubuhnya yang kurus harus bermandikan peluh. Tapi emang dia maksa ya
akhirnya dilakonin juga bareng-bareng. Bahkan sering kali hanya sekedar olah raga
siang jalan kaki ke alun-alun kota. Padahal sih lebih dibilang orang nggak punya
kerjaan… Wkwkwkkkkkwkwk…
Pernah juga pada suatu hari kami dikejar anjing saat tengah jalan kaki dari pasar
loak. Ceritanya kan gini, sebagai penggila buku dan majalah-majalah sastra, aku
gemar sekali mengoleksi buku berjenis novel, agama, atau buku yang lainnya. Kalau
lagi punya uang banyak sih gengsi ke pasar loak. Paling tidak belinya ya ke Gramedia
lah. Tapi giliran kantong mulai menipis, prinsip ekonomi berlaku. Biasa
penghematan… Yang penting masih tetep ada hal baru yang bisa dibaca.
“Sla,,, aku pengen cari buku bacaan baru deh… Di pasar loak ada nggak ya?”
“Ayo ayo… Kita jalan kaki ya?” Begitu semangatnya Esla menjawab. Matanya
berbinar menyorotkan keteduhan. Huh, damainya hati memiliki sahabat sepertinya.
“Ahh ngaco kamu… Yang bener aja… Kan jauh, lagi pula mau ujan tau.. Tuh liat
awan dah mulai mewek…”
“Kan baru mau ujan Cha? Belum ujan beneran…” Esla membantah.
“Ya udah terserah kamu, tapi aku usulin besok aja deh… Dari pada ntar basah
kuyup keujanan coba? Yang butuh kan aku, kok kamu yang antusias gitu sih? Naksir
yah sama penjualnya??” Ledekku.
“Udah dibilangin belum ujan juga… Iya kalo cowok, kalo penjualnya cewek
masak mau naksir? Idih… Ogah ya…!”
Alhasil dengan segala bujuk rayunya kami meluncur ke pasar loak menggunakan
kapal masing-masing. (Lebih tepatnya jalan kaki). Ehh, malangnya pasar loaknya
tutup. Bukan dapet buku malah dapet apes. Kami dikejar anjing. Esla yang takut
banget sama makhluk bernama anjing spontan aja lari jika aku nggak menarik
kembali lengannya.
“Eh jangan lari, kalo lari tuh justru kita dikejar… Manusia derajatnya lebih tinggi
dari binatang. Biar anjing nggak ngejar kita, baca tuh ayat Al Qur’an dalam surah Al
Baqarah yang bunyinya ‘Sunmumbukmun’umyunfahum laayarji’uun.” Aku berlagak
kayak bu Ustadzah. Saat kami masih berdebat masalah anjing, tiba-tiba hujan lebat
mengguyur kota Purwokerto. Esla melepas jaketnya dan menggunakannya untuk
memayungi aku dan dirinya.
“Kita romantis ya Cha? Hehee…” Aku hanya tersenyum menanggapinya. Kami
mempercepat langkah agar cepat sampai ke kostan. Alhasil kemesraan kami
mengundang perhatian orang-orang yang tengah berteduh di emperan toko. Ada yang
menggoda kami. Ada pula yang menertawakan kami. Tapi kami tetep saja kami enjoy
menjalaninya. Kami justru bahagia ditertawakan. Gubrakkk!! Dasar persahabatan
yang gokil, lucu, dan konyol punya. Tapi perlu pembaca ketahui, gini-gini kami
adalah akhwat yang semoga istiqomah. Amiin.
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄
Semua rasa sesalku kuliah di El Rahma sudah tak tersisa sedikitpun. Aku justru
bersyukur bisa berada di El Rahma hingga detik ini. El Rahma telah membuatku
mengenal sahabat-sahabat yang sangat luar biasa. Di sini aku mengenal cinta yang
membuatku semakin mencintai Rabbku. Anugerah terindah berupa sahabat yang
mampu memahamiku, membuatku nyaman, dan membuatku merasa dihargai serta
saling menghargai. Dimana kami selalu saling mengingatkan dalam kebenaran. Agar
di antara kami tak sampai berbuat sesuatu yang menjauhkan kami dari Rahmat Allah.
Semoga cinta kami menjadi salah satu tujuan dakwah, yang mengantarkan kami
semua kepada cinta Sang Kekasih Sejati. Allah SWT.
Sahabat bukanlah orang yang mau menerima kita disaat kita senang dan menjauhi
kita di saat kita susah. Tapi sahabat adalah orang yang selalu ada di setiap saat kita
membutuhkannya. Sahabat selalu mengerti apa yang diinginkan sahabatnya. Maka
jangan pernah menyia-nyiakan sahabat yang merupakan anugerah terindah dari Allah.
Naskah ini diikutkan lomba tapi kalah....... tp tak apa... aku senang dg kekalahan itu karna menjadi pemicu semangatku dalam dunia tulis menulis........
─►►►♥♥♥◄◄◄☼☺☼☺☼►►►♥♥♥◄◄◄
Komentar
Posting Komentar
Coment please...