Sesal



Sesal
Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa

“Pergilah sejauh mungkin untuk mengejar cita-citamu, anakku. Yakinlah bahwa do’a ibu akan setia menyertaimu.” Hatiku menggerimis saat kalimat tersebut menggema di kepalaku. Dan kuyakin, hatinya pun menggerimis saat mengucapkan kalimat tersebut, meski ia berkata sungguh rela melepas kepergianku dan berusaha menegarkan diri di hadapanku.



 “Iya, Bu. Aku akan selalu mengingat nasihat-nasihat ibu. Ibu baik-baik di rumah bersama adik-adik, ya. Aku janji kelak akan kembali, membawa janji kehidupan yang lebih baik. Agar keluarga kita tak lagi mendapat celaan dan cacian dari para tetangga.” Itu jawaban yang kuberikan saat aku hendak pergi. Sebuah janji yang kemudian dengan mudah kuingkari. Ah, lagi-lagi airmataku merebak membasahi pipi setiap kali mengingatnya.
-oOOo-

 Bismillah. Aku memasuki lobi keberangkatan pesawat yang akan membawaku ke Negeri Sakura dengan perasaan haru. Ada bening yang menitik di kedua mataku. Terlebih saat kulihat wajah tua Ibu yang terlihat sendu. Dua adikku, Jihan dan Risty yang usianya hanya terpaut dua tahun saling berpelukan dengan airmata berlinang. Mereka bertiga terpaksa harus melepasku pergi demi mengejar cita-cita. Sementara bapak sudah lama pergi meninggalkan kami, saat usia Risty, adik terkecilku baru berumur tiga bulan. Maka sejak saat itu, ibu berjuang seorang diri mengurus dan membesarkan kami. Pekerjaan apapun ibu lakoni demi mencukupi kebutuhan kami, anak-anaknya.
Sungguh pun aku berat meninggalkan mereka, namun aku harus melakukannya. Aku yakin janji kehidupan yang lebih baik akan mewujud nyata di depan sana. Pun aku yakin, karena mereka pastilah akan senantiasa melantunkan do’a untuk keselamatan dan keberhasilanku. Sebab do’a adalah cara terampuh untuk tercapainya sebuah tujuan, terutama do’a Ibu.
-oOO-

Saat aku pergi, usiaku baru menginjak tujuhbelas, baru lulus SMA. Aku yang memang sangat memimpikan untuk bisa belajar di Jepang, selama SMA belajar mati-matian untuk bisa mendapatkan beasiswa. Dengan ijin Allah, kebetulan aku berhasil mendapatkan beasiswa di sebuah SMA Negeri unggulan di kota kelahiranku, Bandung. Tentu saja ini merupakan kesempatan emas buatku. Ada banyak ekstrakurikuler bagus yang bisa kuikuti secara gratis, termasuk Bahasa Jepang.
Untuk bisa memperoleh beasiswa ke Jepang, tentu bukan usaha yang mudah. Hampir setiap hari aku belajar banyak soal-soal, memanfaatkan perpustakaan setiap kali waktu istirahat. Usahaku yang demikian kerasnya akhirnya berbuah manis. Dari ribuan peserta dari seluruh nusantara yang kemudian diseleksi hingga beberapa ratus saja, aku layak berbangga dan bersyukur karena aku menjadi salah satu yang lolos seleksi. Nilai ujian akhirku yang fantastis pun menjadi pintu yang memudahkanku mengikuti seleksi akhir di Jakarta, tiga bulan lalu.
Seminggu kemudian, aku mengikuti karantina di Jakarta dua bulan lamanya untuk mempersiapkan diri sebelum dikirim ke Jepang. Di asrama yang khusus disiapkan untuk peserta yang memperoleh beasiswa dari seluruh Indonesia ini, kami belajar untuk melancarkan bahasa Jepang. Setiap hari, kami diwajibkan untuk bercakap dalam bahasa Jepang. Kami pun dijelaskan tentang perkuliahan yang nantinya akan kami ikuti di sana. Sungguh merupakan pengalaman luar biasa dalam hidupku.
Karantina di Jakarta ini merupakan kali pertama aku hidup jauh dari keluarga. Awalnya terasa susah. Tapi aku tahu, aku harus mulai membiasakan diri. Di Jakarta ini, aku hanya dua bulan. Sementara di Jepang nanti, akan bertahun-tahun aku tidak bertemu ibu, juga adik-adikku. Maka seminggu kemudian, aku mulai mampu menahan diri untuk tidak terus meratap membayangkan wajah ibu. Banyak teman kutemui dari berbagai daerah yang sangat menyenangkan. Ada Petris dari Ambon, lalu Melda dari Bengkulu, juga masih banyak teman-teman lainnya. Dan aku senang mengenal mereka.
Aku, seorang Hangga yang berasal dari keluarga miskin berhasil membuat ratusan pasang mata saat perpisahan SMA memandang takjub ke arahku. Dan ibu yang ketika itu maju menerima raport serta pengumuman hasil ujian tidak kuasa membendung air matanya untuk tidak tumpah. Lihat saja, berita keberhasilanku menjadi lulusan terbaik sekaligus berhasil lolos untuk pergi ke Jepang dengan cepatnya menyebar ke seluruh desa tempatku tinggal. Desa di pinggiran kota Purwokerto, Patikraja.
Betapa tetangga yang selama ini mengejek dan menghina keluargaku seolah tidak percaya dengan keberhasilanku. Bahkan dulu, saat almarhum bapak masih hidup, terkadang ada tetangga yang dengan tega meminta bapak mengantarkannya ke pasar dengan becak dan dengan terang-terangan bilang tidak mau membayar. Juga saat ibu berjualan ondol(1) di pasar, seringkali tetangga menghutangnya. Saat ditagih di kemudian hari, selalu berjanji besok dan besok terus. Bahkan ada juga yang dengan lantang menjawab ia tidak pernah memiliki hutang pada ibu. Aku yang waktu itu masih kecil hanya bisa geram melihatnya. Dan dari situ, aku berjanji untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga kami, agar kami bisa bebas dari cemoohan dan hinaan.
-oOOo-

“Halo, Bu. Ibu apa kabar?” sapaku dengan suara bergetar. Ini bulan ketiga aku resmi menjadi mahasiswa di salah satu universitas di Jepang, dan untuk pertama kalinya aku menelepon ibu. Lebih tepatnya menelepon ke nomornya pak lurah untuk kemudian disampaikan ke ibu. Ya, awal-awal hidup di Jepang, aku harus belajar menyesuaikan diri. Beruntung untuk tempat tinggal, pihak pemberi beasiswa menyediakan asrama. Dan untuk makan, aku juga mendapat jatah setiap bulannya. Selama tiga bulan ini, sambil mencari pekerjaan aku menghemat uang jatah makan demi menyisakannya untuk bisa menelepon ke Indonesia.
“Hangga. Kamukah itu?” suara ibu juga terdengar bergetar. Sejak kepergianku, kuyakin ibu sangat kehilanganku. Begitu pun aku yang harus mati-matian berusaha menahan rindu. Bagaimanapun, keputusanku pergi adalah untuk mengejar cita-cita. Dan ini sudah menjadi tekadku sejak awal. Jadi aku harus kuat menanggungnya.
“Iya, Bu. Ini Hangga. Ibu apa kabar?” aku mengulang tanyaku tadi.
“Alhamdulillah. Alhamdulillah ibu dan adik-adik sehat, anakku. Kamu sendiri, bagaimana kamu makan? Bagaimana kuliahmu di sana? Bagaimana teman-teman barumu?” kudengar ibu mulai terisak sambil menghujaniku tanya. Terdengar nada khawatir dari suaranya.
“Alhamdulillah semuanya lancar, Bu. Ibu tidak perlu mengkhawatirkanku. Jaga diri ibu baik-baik dan titip salam buat Jihan dan Risty. Do’akan aku supaya bisa mendapat pekerjaan dan bisa mengirimi ibu uang.”
“Do’a kami selalu menyertaimu, Nak.” Sahutnya di ujung telepon.
“Sudah dulu, ya, Bu. Sebentar lagi teleponnya mati. Kapan-kapan aku telepon lagi kalau sudah ada rejeki.” Kemudian aku menutup telepon dan kembali melanjutkan perjalanan pulang ke asrama. Tadi, aku menyempatkan diri mencari telepon umum untuk bisa menelepon ke Indonesia. Sekedar ingin tahu kabar ibu dan adik-adikku.
-oOOo-

 Seiring waktu berjalan, akhirnya aku mendapat pekerjaan di sebuah penerbit. Pekerjaan menjadi penerjemah dengan bayaran cukup mahal bagiku. Ya, harus kuakui kalau kemampuanku berbahasa Jepang dan berbahasa Inggris cukup bagus. Maka setelah perjuangan panjang melamar pekerjaan mulai dari melamar sebagai office boy, pelayan restaurant dan pekerjaan lainnya, akhirnya aku mendapatkan info lowongan sebagai penerjemah freelance dari salah satu teman sekelasku yang berasal dari Swedia.
Lambat laun, aku mampu mengumpulkan uang dari hasil jerih payahku sebagai penerjemah. Satu buku dengan tebal 400-an halaman, biasanya berhasil aku terjemahkan dalam waktu sebulan atau bisa juga lebih cepat, tergantung kesibukanku di kampus. Gaji pertamaku full aku kirimkan untuk ibu, yang langsung direspon dengan tangis oleh ibu saat aku meneleponnya. Lalu gaji-gaji berikutnya, aku menyisihkan untuk membeli buku bacaan, baju dan laptop untuk kelancaranku menerjemahkan. Selain lebih hemat, aku juga bisa bekerja kapan saja dan di mana saja. Tidak harus pergi ke rental computer atau ke warnet untuk mengetik.
Pada tahun kedua, aku memutuskan untuk menyewa apartemen supaya aku bisa lebih leluasa menerjemahkan. Tidak seperti waktu di asrama, yang dalam sekamar dihuni tiga orang. Dari bulan ke bulan, semakin banyak tawaran menerjemahkan dari beberapa penerbit. Dengan mudahnya uang pun mengalir ke rekeningku. Ibu di kampung pun sudah aku suruh membeli ponsel agar lebih mudah berkomunikasi.
Namun tentu saja, kuliah bagiku tetap aku nomor satukan. Karena tujuan awalku jauh-jauh ke sini memang untuk belajar. Maka jika sedang ujian, aku akan memilah-milah tawaran menerjemah. Memilih yang tidak terlalu dikejar deadline. Agar aku tetap bisa belajar dengan fokus untuk menghadapi ujian. Karena terbiasa menerjemahkan, maka kemampuanku bertambah. Jika awal-awal aku hanya bisa menerjemahkan satu buku dalam sebulan, sekarang bisa dua sampai tiga buku, tergantung tingkat kesulitan dan ketebalan halaman. Jika hanya novel teenlit yang berjumlah seratusan halaman, bisa sampai lima buku dalam sebulan.
-oOOo-

“Apa kabar, Mas? Kenapa telepon kami tidak mas angkat dan mas juga sudah lama nggak telepon ke rumah? Biasanya, seminggu sekali mas telepon. Ini sudah dua bulan, loh mas. Ibu terus-terusan bertanya. Kasihan ibu, mas.”
Aku menghela nafas mendapati sms dari Jihan, atau mungkin Risty, adikku. Akhir-akhir ini pikiranku banyak terkuras. Aku baru saja selesai menghadapi ujian, dan kini aku harus melakukan riset untuk skripsiku. Aku memang menargetkan agar dalam waktu tiga bulan skripsiku bisa selesai. Pekerjaan menerjemahku juga terpaksa aku pangkas beberapa, dan hanya kuambil sebagian yang masih sanggup aku kerjakan.
“Halo, mas, ini Jihan. Mas apa…” terdengar suara Jihan di seberang telepon begitu aku memencet tombol dial dari ponselku.
“Uang untuk sekolah kalian dan untuk memperbaiki rumah kita sudah mas kirim siang tadi. Sampaikan pada ibu, ya. Maaf mas lagi sibuk. Mas harus segera menyelesaikan skripsi.” Aku langsung menutup telepon setelah kusampaikan apa yang harus kusampaikan. Seharian ini aku lelah sekali, ingin segera tidur beberapa jam supaya malam nanti bisa bangun untuk menyelesaikan terjemahan yang sudah ditagih sama pihak penerbit. Maka supaya aku bisa tidur dengan tenang, aku memilih mematikan ponsel sebelum memejamkan mata.
“Syukurlah kalau mas sudah mau skripsi. Semoga lancar, ya, Mas. Biar mas bisa segera pulang ke Indonesia. Kami semua merindukan Mas Hangga.”
 Itu isi sms adikku semalam yang baru kubaca keesokan paginya, setelah aku selesai sarapan dan siap berangkat ke kampus. Sepertinya begitu aku mematikan telepon, Jihan langsung mengirimkan sms. Aku hanya sempat membacanya dan tidak berniat untuk membalasnya.
-oOOo-

Dari hari ke hari, aku semakin sibuk saja. Skripsiku sudah selesai dan sidangku berjalan dengan lancar. Tiga bulan kemudian setelah sidang skripsi, aku wisuda. Aku lulus dengan nilai cumlaude. Impianku untuk mendapat gelar sarjana tercapai sudah. Namun tidak berhenti sampai di sini, aku ingin melanjutkan kuliahku ke jenjang S2. Kali ini, aku ingin  mencoba peruntungan ke Negara lain, Belanda. Setelah berbulan-bulan bolak-balik ke Jakarta untuk mengurus visa dan passport, akhirnya aku hijrah ke Belanda. Di sana, aku masih menjadi penerjemah. Portofolioku dari perusahaan-perusahaan sebelumnya membuatku mudah mendapatkan pekerjaan.
Tunggu dulu. Jangan beranggapan aku melupakan keluargaku yang tinggal di kampung. Hingga lulus S2, aku masih rutin mengirimi mereka uang setiap bulannya. Memang intensitasku berkomunikasi berkurang karena kesibukanku semakin bertambah. Setiap awal bulan, aku hanya mengirimkan pesan singkat bahwa aku sudah mentransfer sejumlah uang. Aku yakin uang yang kukirim sangat berguna untuk mereka. Ibu yang sudah mulai menua tidak perlu lagi berjualan ondol di pasar. Atau jika ibu masih ingin berjualan, aku sudah menyarankannya untuk membuka warung makan saja di rumah, tidak perlu berpanas-panasan ke pasar.
“Ibu sakit, mas. Pulanglah barang sebentar.” Suara Risty terdengar di ujung telepon.
“Tidak bisa, Risty. Mas sibuk. Lusa harus menjadi pembicara pada seminar penting di sini. Bagaimana mungkin mas harus pulang hanya karena ibu sakit?” suatu ketika, di tengah-tengah kesibukanku, ponselku terus-terusan berbunyi hingga aku pun terpaksa mengangkatnya.
“Sebentar saja, Mas. Ibu sangat merindukanmu. Kasihan ibu.” Risty masih membujukku. Kali ini dengan disertai isak tangis.
“Kalian bawa saja ibu ke rumah sakit. Nanti mas kirim uang tambahan. Beres, kan?” aku kesal dengan rengekan Risty. Bagaimana mungkin dia memaksaku pulang, sementara seminar penting menungguku di depan? Dan lagi, aku harus mengurus pendaftaran kuliah S3-ku. Ya, aku sudah lulus S2, juga dengan nilai cumlaude. Aku yang dulu hanya berasal dari anak tukang becak, kini menjelma jadi sosok hebat di negeri orang. Namun kesuksesanku tersebut benar-benar membuat aku terlalu berambisi untuk selalu mendapatkan yang lebih lagi dari sebelumnya, sehingga membuatku mengabaikan wanita yang telah dengan susah payah mengandung dan membesarkanku, yang akhirnya kusesali pada kemudian hari.

-oOOo-

Hangga Lesmana. Dua kata yang tersemat menjadi namaku. Aku pantas bangga memiliki nama ini. Sebab Hangga Lesmana kini bukan lagi sesosok bocah lelaki ingusan yang hanya akan diam saja saat dicemooh. Hangga Lesmana kini adalah sosok hebat yang bisa membeli apa saja dengan uang yang dimilikinya.
Bosan berpetualang ke beberapa Negara di dunia, setelah sebelas tahun pergi dari Indonesia dan hanya sempat beberapa kali balik ke Jakarta hanya untuk mengurus dokumen penting, akhirnya aku merindukan Indonesia. Maka, aku pun memutuskan pulang. Namun bukan ke Purwokerto, kota kelahiranku di mana ibu dan adik-adikku tinggal. Aku memilih menyewa sebuah apartment di Jakarta dan tinggal beberapa bulan lamanya. Aku menghabiskan waktuku untuk menyelesaikan pekerjaan menerjemahku. Nomor handphone rumah sudah lama kuhapus dan kuganti nomorku karena sempat jengah dengan telphon dari adikku yang hamper setiap jam berbunyi. Hanya nomor rekening saja yang masih kusimpan rapi dan kukirimi uang setiap bulannya.
-oOOo-

“Hangga pulang, Nak. Ibu mohon…” Nafasku terengah. Ternyata aku baru saja mimpi. Kulihat dari jendela apartmenku cahaya matahari sudah menyembul dari baliknya. Ah, aku bangun kesiangan ternyata. Hari itu, aku memulai aktifitas seperti biasanya. Duduk di depan laptop sambil menikmati secangkir cokelat hangat, karena kebetulan aku bukan penyuka kopi. Kadangkala, kalau bosan berdiam diri di apartment, biasanya aku keluar mencari kafe terdekat hanya untuk sekedar mencari suasana lain.
Hari berganti, malam berlalu, mimpi itu terus berdatangan setiap harinya. Ibu merintih memanggilku dengan terisak. Pada mimpi ke sekian kalinya, tiba-tiba hatiku memanas. Ada bulir bening bergulir dari kelopak mataku. Inikah yang dinamakan rindu? Aku pun bergegas memesan tiket kereta ke Purwokerto dan segera melaju menuju stasiun menggunakan taksi.
Setelah bertahun-tahun lamanya, baru kali ini ada rasa gelisah yang teramat dalam dari lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun lamanya aku berusaha menghindar untuk tidak menghubungi keluargaku karena merasa kesibukanku terganggu, tiba-tiba saja rindu itu menyeruak begitu saja. Sepanjang perjalanan Jakarta-Purwokerto airmataku tiada henti menetes, tidak peduli pada mata-mata yang memandang heran.
“Ibu, Jihan, Risty….” Aku kalap membuka pintu rumahku yang ternyata masih sama seperti saat dulu aku pergi sebelas tahun silam. Jadi, kemanakah uang yang selama ini aku kirim dan kusuruh untuk memperbaiki rumah? Ah, aku tidak peduli. Sekarang aku ingin segera menemui mereka. Sudah seperti apakah mereka?
“Maaf, siapa, ya?” kudengar suara menyapa dari luar. Aku pun membalikkan badan dan menuju ke arah pintu yang tadi kubiarkan terbuka tanpa menutupnya kembali.
“Risty, Jihan, kaliankah itu?” aku menghambur memeluknya. Tingginya sudah hamper menyamai tinggiku. Adik-adikku sudah remaja dan cantik-cantik ternyata.
“Mas Hangga?” keduanya bertanya serentak. Aku pun menjawab dengan anggukan kepala, lalu kembali memeluk dan menciumi keduanya. Namun sekejap aku terkejut saat Risty justru mendorong tubuhku dan menolak pelukanku.
“Untuk apa kamu datang? Bukankah kamu sudah tidak peduli dengan kami?” Risty membentakku. Pertanyaannya benar-benar membuatku terpojok.
“Mm… maaf, sayang. Bukan maksud mas untuk…”
“Maaf katamu? Kamu pikir maaf bisa mengembalikan ibu?” deg. Jantungku terasa langsung copot. Kembali? Memangnya ibu kemana? Jangan-jangan…. Pikiranku mulai kacau. Perasaan bersalah langsung seketika menguasai hatiku.
“Ibu sudah pergi, Mas.” Jihan dengan besar hati mengusap pundakku.
“Mas pasti bertanya kenapa rumah kita masih seperti dulu, ya?” Seluruh uang yang mas kirimkan, ibu simpan baik-baik, mas. Katanya itu milikmu yang suatu saat pasti akan dibutuhkan. Ibu hanya menggunakannya sedikit untuk makan sehari-hari dan membantu tetangga yang susah seperti kita. Sisanya benar-benar ibu simpan di Bank. Ini buku tabungannya.” Jihan mengambil sebuah buku tabungan dari dalam lemari.
“Mas ini kemana saja, sih? Siang malam sebelum ibu pergi, ibu selalu memanggil-manggil nama mas untuk segera pulang. Ibu tidak membutuhkan uangmu, mas. Yang ibu butuhkan adalah kehadiranmu.” Tubuhku melunglai. Aku tersadar bahwa selama ini aku sudah mendewakan uang sehingga tidak peduli dengan kerinduan yang dialami oleh ibuku. Aku terlalu mengejar dunia sehingga lupa bahwa hakikat kebahagiaan adalah bisa berkumpul dengan keluarga. Ibu, maafkan aku. Aku mengambil pigura foto berisi foto lama kami dan kemudian aku mendekapnya dengan penuh sesal. Aku sungguh menyesal, sekali lagi maafkan aku, Ibu.



-oO-TAMAT-Oo-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011

SEJARAH PONDOK PESANTREN DI INDONESIA