Kemurnian Hati Murni



Pagi menyapa lagi, membiarkan malam berlalu tanpa bekas. Sementara sisa hujan semalam masih menyisakan noktah-noktah air, berupa embun yang membuat jalan setapak berumput yang biasa dilalui warga licin saat dipijak. Murni, salah seorang gadis di desa tersebut salah satunya. Pagi-pagi buta, tepat usai subuh, saat jalanan masih gelap, saat udara dingin masih terasa menusuk hingga sumsum tulang, Murni membawa obor dengan kemben(1) menyampir di pundak. Kedua kaki
jenjangnya lincah menapak jalanan basah tanpa alas. Fasih meniti jalanan naik turun tanpa takut terpeleset atau takut menginjak duri.
Murni adalah gadis biasa seperti kebanyakan gadis yang ada di desanya. Ia sebenarnya memiliki wajah yang lumayan menawan andai saja ia tidak harus berkawan dengan terik dan hujan setiap hari, sehingga membuat kulitnya legam. Akan tetapi, di balik kesederhanaan hidup yang melingkupinya, ia adalah perempuan yang sangat hebat. Perempuan yang bahkan tidak lulus SD.
Semua itu sungguh bukan keinginannya. Takdir hidup membuat ia terpaksa berhenti sekolah, saat ia baru saja naik ke kelas enam SD. Kedua orangtuanya meninggal bersamaan dalam kecelakaan. Meninggalkan ia sebagai si sulung dengan tiga adik yang masih kecil-kecil. Adik tertuanya berumur delapan tahun, baru naik ke kelas tiga SD. Namanya Subhan. Sementara dua adiknya yang lain belum sekolah. Tari dan Sarah, masing-masing berusia lima dan dua tahun. Ah sungguh, Murni sebenarnya masih terlalu dini untuk menjalani banyak peran bagi adik-adiknya. Sebab, sepeninggal orangtuanya ia tidak memiliki satu pun sanak saudara.
Rumput yang ia pijak di jalan setapak semakin menebal seiring langkahnya menjauh dari perkampungan. Obor yang dibawanya sudah ia padamkan sejak alam mulai meremang. Ia mulai memasuki kawasan Gunung Pencit(2), tempat yang menjadi tujuannya setiap hari untuk mencari kayu bakar. Di lereng Gunung Pencit, Murni terbiasa memunguti batang-batang kering pohon pinus dan pohon jati yang yang tumbang dengan sendirinya. Ia juga memunguti manco(3) dan memasukkannya ke dalam karung yang tidak pernah lupa ia bawa. Manco itu ia gunakan sebagai kayu bakar, sama seperti batang kering pohon pinus atau pohon jati. Dalam sehari, Murni terbiasa sedikitnya lima kali bolak-balik mengangkut kayu bakar dengan menggendongnya menggunakan kemben lusuh peninggalan Ibunya.
Dari kayu bakar itulah Murni bisa menghidupi adik-adiknya. Sebagiannya ia gunakan untuk masak sehari-hari, dan sebagian lainnya lagi ia jual pada tetangga yang membutuhkan. Dulu, banyak warga yang sering mengambil kayu bakar ke hutan seperti halnya murni. Seiring jaman berganti, warga lebih memilih menggunakan kompor gas yang tentu saja lebih praktis. Maka kini, hanyalah tersisa Murni, seorang gadis belia – yang terpaksa mewarisi pekerjaan almarhumah Ibunya demi bertahan hidup. Beruntung diantara banyak tetangga yang beralih menggunakan kompor gas, masih ada yang tetap menggunakan tungku untuk memasak. Tentu saja keberadaan Murni sebagai gadis pencari kayu bakar sangat menguntungkan mereka yang malas pergi sendiri ke hutan mengambil kayu bakar.
Jarak dari rumah menuju lereng Gunung Pencit tidaklah dekat. Butuh waktu lebih dari setengah jam dalam sekali tempuh. Itu berarti, untuk bolak-balik membutuhkan waktu setidaknya satu jam lebih. Maka menjelang dzuhur, Murni baru selesai mengumpulkan kayu-kayu bakar itu di halaman rumah biliknya.
Bagi Murni, selama ia masih diberi kesehatan dan memiliki tenaga untuk bolak-balik mengangkut kayu bakar, sungguh baginya tidak masalah. Ia bahkan tidak peduli dengan rasa lelah yang seringkali membuat tubuhnya terasa remuk. Yang terpenting baginya, ketiga adiknya bisa memperoleh pendidikan yang layak. Mereka berhak memperoleh janji masa depan yang lebih baik.
-oOOo-

Usia Murni kini duapuluh. Sembilan tahun sudah ia menjadi tulang punggung keluarga, menjadi kakak sekaligus orangtua bagi ketiga adiknya. Selama Sembilan tahun ini, ia sungguh merawat adiknya dengan perawatan terbaik tanpa pernah sedikit pun mengeluh. Ia curahkan kasih sayang serta perhatian penuh untuk Subhan, Tari dan Sarah. Subhan, adik tertuanya sudah duduk di kelas dua SMA Negeri 1 Purwokerto, dan mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Karena letak rumahnya yang jauh di pelosok dusun Karangkemiri, sebuah dusun yang merupakan bagian dari Desa Panusupan di pinggiran Kabupaten Banyumas, Subhan terpaksa ngekos dekat sekolahnya. Ia pulang dua bulan sekali, di akhir pekan. Murni sungguh mendidiknya menjadi anak yang tangguh dan cerdas, dengan pemahamahan hidup yang baik.
Sementara dua adiknya yang lain, juga sudah sekolah. Tari kini duduk di kelas tiga SMP Negeri 2 Purwokerto, juga dengan beasiswa. Ia sama seperti Subhan, terpaksa ngekos. Di rumah bilik yang dindingnya di sana-sini sudah berlubang, Murni hanya tinggal berdua dengan adik bungsunya, Sarah. Sarah tak jauh beda dengan kedua adik Murni yang lain. Ia yang kini duduk di kelas enam SD Negeri 4 Panusupan juga selalu menduduki peringkat pertama. Dengan rutinitas yang tetap sama sebagai pencari kayu bakar, Murni sungguh berhasil mendidik adik-adiknya.
Dulu, saat Subhan dan Tari masih tinggal di dusun Karangkemiri, Murni selalu melarang keras saat mereka hendak membantu pekerjaan Murni. Kini pun ia memberlakukan peraturan yang sama bagi si bungsu. Pekerjaan yang wajib mereka kerjakan sendiri hanya bangun dan tidur tepat waktu, mencuci baju masing-masing, makan, shalat dan belajar. Selebihnya, Murni tak mengijinkan mereka mengerjakan pekerjaan lain. Pekerjaan lainnya adalah pekerjaan yang harus ia selesaikan sendiri. Berkali-kali memberi penjelasan bahwa ia tidak pernah lelah, karena itu semua merupakan tanggung jawabnya. Setiap malam, Murni menjadi orang terakhir yang tidur setelah memastikan semua adiknya tertidur. Dan di pagi harinya, ia menjadi yang pertama bangun, menyiapkan sarapan dan membereskan rumah jauh sebelum adzan subuh berkumandang.
-oOOo-

Hari-hari terus berlalu dengan musim yang silih berganti. Usianya sudah menginjak duapuluh tiga. Murni masih tetap menjalani rutinitasnya sebagai gadis pencari kayu bakar tanpa pernah merasa bosan atau berpikir untuk berhenti. Meski jaman semakin modern, tetapi mencari kayu bakar tetap menjadi pekerjaan yang menyenangkan baginya. Selain tidak ada pekerjaan lain yang mungkin ia kerjakan, ia juga tidak ingin melupakan pekerjaan yang selama ini sudah mendarah daging. Menjadi matapencaharian untuk membesarkan adik-adiknya.
Sarah, adik bungsunya, sudah duduk di bangku kelas dua SMP. Saat lulus SD, Sarah bersikeras menolak untuk mendaftar sekolah di kota seperti kedua kakaknya. Ia memilih mendaftar ke SMP Negeri 2 Purwojati, yang bisa ia jangkau dengan jalan kaki dan tetap bisa pulang ke rumah setiap harinya. Meski hatinya ingin seperti kedua kakaknya yang bisa merasakan sekolah di kota, tapi Sarah tidak tega meninggalkan Murni seorang diri menjadi penghuni rumah. Ia beralasan lebih senang sekolah di kampung yang udaranya masih sejuk dan membuatnya konsentrasi dalam belajar. Toh sekolah yang ia pilih juga memiliki sistem pembelajaran yang cukup baik, dengan guru-guru yang juga berkualitas. Maka Murni mengalah dan membiarkan adiknya tetap tinggal.
“Mbak, aku tidak mau melanjutkan kuliah. Selama ini aku tidak pernah menuntut sesuatu pun dari Mbak Murni. Kali ini, aku mohon biarkan aku membantu Mbak Murni bekerja. Aku bisa mencari pekerjaan apa saja di kota, biar uang yang kita dapat bisa lebih banyak lagi,” usai makan malam, Subhan mengutarakan maksudnya yang tentu saja membuat Murni kaget. Kebetulan ia sudah selesai ujian dan tidak ada lagi kegiatan di sekolah. Hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Tari yang sudah kelas satu SMA juga tengah berada di rumah, karena minggu ini jadwalnya pulang.
“Tidak Subhan. Kamu harus tetap kuliah. Mbak masih bisa membiayai hidupmu. Kamu ini anak laki-laki, memiliki tanggung jawab yang lebih besar ketimbang perempuan. Kamu harus…”
“Justru karena aku memiliki tanggung jawab yang lebih besar sebagai anak laki-laki, biarkan aku bekerja membantu Mbak Murni. Selama ini, Mbak sudah banyak berkorban untuk kami, bekerja keras seorang diri. Aku tahu takkan sanggup membalas jasa-jasa Mbak, tapi setidaknya biarkan aku membantu. Aku sudah dewasa, Mbak. Aku bukan anak kecil lagi. Aku memiliki hak untuk memilih dan menentukan apa yang harus aku lakukan,” nada suara Subhan sedikit meninggi. Menyisakan Tari dan Sarah yang hanya bisa terdiam, dan Murni yang juga terkejut dengan ucapan Subhan.
“Mbak bilang tidak tetap tidak, Subhan. Mbak sangat menikmati apa pun yang Mbak lakukan buat kalian. Bagi Mbak, kalian adalah harta paling berharga. Apa pun yang terjadi, Mbak akan selalu berada di depan kalian, membela dan melindungi kalian. Jadi Mbak mohon, jangan pernah sedikit pun kalian membantah perintah Mbak,”
“Tapi Mbak…”
“Sudah Subhan. Jangan melawan. Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap melanjutkan kuliah. Kalian harus sadar justru kalian yang sudah banyak membantu Mbak, membahagiakan Mbak. Dengan beasiswa yang selalu kalian terima setiap tahunnya, kalian sudah membantu banyak menghemat pengeluaran kita. Sekarang sudah malam, tidurlah kalian,” obrolan kakak beradik itu berakhir dengan keputusan mutlak dari Murni yang tidak dapat dibantah. Demi mendengar ucapan kakaknya, Subhan hanya bisa menghela nafas. Ia bertekad untuk tidak mengecewakan kakak yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Ia berjanji untuk melakukan apa pun demi membahagiakannya.
-oOOo-

Pada suatu Senin pagi, saat gelap beranjak meremang, Murni melepas Subhan dan Tari kembali ke kota dengan diantar tetangga yang memiliki motor. Subhan akhirnya memutuskan untuk mengurus pendaftaran kuliahnya, sementara Tari masih ada kegiatan sekolah menjelang ujian kenaikan kelas. Setelah berunding dengan kakaknya, Subhan akhirnya memutuskan untuk memilih kota Jogja sebagai tempatnya melanjutkan kuliah. Murni yang sepenuhnya menyerahkan keputusan dan pilihan pada Subhan pun langsung mengangguk setuju. Dengan semakin jauhnya jarak yang memisahkan mereka, itu berarti Murni harus siap memendam rindu untuk sekian lama. Sebab Subhan tentu saja tidak bisa lagi pulang setiap dua bulan sekali seperti saat masih sekolah di Purwokerto.
“Mbak, Sarah berangkat sekolah dulu, ya. Mungkin nanti Sarah pulang sore, soalnya ada les tambahan,” Sarah berpamitan pada Murni yang mengantarnya hingga depan pintu.
“Iya, Sarah. Kamu belajar yang rajin, ya. Biar kelak kamu bisa menjelajah dunia seperti keinginanmu sejak kecil,” kedua sudut bibir Murni mengukir senyum sambil menepuk lembut bahu Sarah.
“Aku janji untuk selalu menjadi kebanggaan Mbak,” Sarah ikut tersenyum. Hari ini, Murni sengaja tidak mencari kayu bakar ke hutan. Hatinya sedang bahagia karena akhirnya Subhan memutuskan untuk menuruti perintahnya melanjutkan kuliah, juga bahagia karena ia sedang kasmaran dengan seorang lelaki. Lelaki yang ia kenal tiga bulan terakhir dan membuatnya jatuh cinta untuk kali pertama. Dan hari ini, lelaki itu berjanji akan datang ke rumah untuk membicarakan tentang rencana mereka menikah.
-oOOo-
“Kamu kenapa?” seorang lelaki tak dikenal tiba-tiba menghampiri Murni yang tengah duduk di tepi jalan sambil memijit-mijit kakinya. Ia hendak pergi ke hutan seperti biasanya untuk mengambil kayu bakar. Namun tiba-tiba kakinya keseleo dan membuatnya tidak bisa berjalan.
“Aku, aku nggak papa. Cuma keseleo,” Murni menunduk, dengan tetap memijit-mijit kakinya.
“Sini coba aku urut, biar tidak bengkak dan cepat sembuh. Kebetulan aku sedikit ngerti cara menangani orang keseleo,” lelaki itu tersenyum lagi. Membuat wajah Murni merona merah. Ia sendiri tidak tahu tentang rasa yang tiba-tiba muncul. Yang ia tahu, ia merasa nyaman dan bahagia berada di dekat lelaki asing itu. Awalnya ia mengira kalau itu hanya perasaan kagum. Sebab ia sendiri merasa tidak pantas karena lancang menyukai orang yang dengan dirinya jauh bagai bumi dengan langit.
“Oh ya, kenalin, namaku Rudi. Namamu siapa?” lelaki yang mengaku bernama Rudi itu menyodorkan tangan kanannya, mengajaknya bersalaman.
“Murni,” hanya itu yang terucap.
“Nama yang cantik,” Rudi menggumam. Kemudian tangannya lincah mengurut kaki Murni yang keseleo. Selanjutnya, Rudi mengantar Murni hingga ke rumah menggunakan motornya. Rudi sendiri tinggal di Purwokerto. Saat menemukan Murni di tepi jalan, kebetulan Rudi yang habis dari tempat sahabatnya lewat. Perkenalan tanpa sengaja keduanya pun berlanjut hingga benih-benih cinta diantara mereka tumbuh semakin subur. Selain memiliki wajah yang tampan, Rudi sendiri adalah seorang pengusaha muda yang memiliki tiga cabang rumah makan di Purwokerto.
“Assalamu’alaikum,” Murni terhenyak dari lamunannya saat sebuah salam tiba-tiba menyapa. Ah, orang yang sedang ia lamunkan ternyata sudah berdiri di depannya. Saking asyiknya melamun, sampai-sampai ia tidak menyadari sebuah motor berhenti di halaman rumahnya.
“Wa’alaikumsalam, Mas Rudi. Mari, silakan masuk,” Murni mempersilakan Rudi ke dalam rumah dengan wajah tersipu-sipu. Ia memang kerap salah tingkah setiap kali berjumpa dengan Rudi. Debar dadanya pun menjadi semakin bertalu, lebih kencang dari biasanya.
-oOOo-
Murni membuatkan secangkir teh manis buat Rudi, yang kemudian langsung diminumnya beberapa teguk sebelum Rudi memulai pembicaraannya. Sementara Murni harap-harap cemas, tidak sabaran menunggu apa yang hendak disampaikan Rudi mengenai rencananya melamar.
“Dik Murni,” Rudi menatap ke kedalaman mata Murni, membuat gadis itu semakin tersipu saja. “Aku sudah membicarakan rencanaku melamarmu pada Ayah dan Ibu, dan mereka setuju. Akan tetapi, aku punya satu permintaan untukmu,”
“Apa itu?” Murni melontarkan tanya. Penasaran.
“Setelah kita menikah nanti, aku mau kamu ikut aku. Tinggal di kota. Aku sudah mempersiapkan rumah untuk kita,” Rudi berhenti sejenak sambil menyeruput teh manis yang uapnya mulai berkurang karena mendingin. “Dan satu lagi, aku mau kamu tak usah lagi berhubungan dengan adik-adikmu. Subhan kan sudah cukup dewasa dan punya kemampuan bertanggung jawab mengurus adik-adiknya. Dia sudah bisa diandalkan bekerja. Jadi tugasmu hanya mengurus rumah dan anak-anak kita kelak. Kamu tak perlu lagi susah payah bekerja. Semua kebutuhanmu akan aku cukupi,”
Deg. Murni bagai dihantam sebongkah batu besar. Hatinya sakit bukan main mendengar ucapan tak disangka-sangka dari lelaki di hadapannya. Terlebih, ia sudah terlanjur jatuh hati pada lelaki itu. Rasa cinta yang selama ini tumbuh dan mengakar di hatinya langsung tumbang begitu saja. Dalam sekejap ia segera tahu bahwa Rudi bukanlah lelaki yang ia harapkan.
“Maaf, Mas, sepertinya hubungan kita cukup sampai di sini. Urungkan niatmu untuk melamar dan menjadikanku istrimu. Sekarang silakan Mas Rudi boleh pulang dan jangan pernah lagi menemuiku,” Murni bangkit dan membuka pintu rumahnya.
“Loh kenapa, Dik?” Rudi kebingungan dengan perubahan sikap Murni.
“Aku rasa kita tidak cocok. Aku ingin selamanya tinggal di rumah ini, rumah peninggalan Bapak Ibu. Dan sampai kapan pun, tak ada satu pun penghalang yang bisa memisahkanku dengan adik-adikku. Mereka adalah harta paling berharga dalam hidupku. Cintaku pada mereka takkan pernah terhapus oleh apa pun. Bahkan jika aku harus bekerja keras sepanjang hidupku demi mereka. Sekarang kumohon, silakan pergi dari rumahku.” Sekali lagi Murni menegaskan. Keputusannya bulat sudah. Tak ada lagi tawar menawar, tak ada lagi kesepakatan. Semuanya sudah berakhir, dan ia takkan pernah menyesal dengan keputusannya.
“Belagu sekali kamu jadi perempuan! Kamu pikir bakal ada lelaki lain yang mau menikahi gadis miskin berkulit legam sepertimu? Tidak akan ada. Camkan itu baik-baik,” sikap Rudi yang semula selalu lembut di hadapan Murni kini berubah ganas. Telunjuknya menunjuk wajah Murni dengan mata menyala marah. Akan tetapi Murni sungguh tidak peduli pada sumpah serapahnya.
Setelahnya, Murni selalu menarik diri setiap kali ada lelaki yang hendak mendekatinya. Usianya beranjak menua, akan tetapi ia memilih untuk tetap sendiri, mengurus dan mempersiapkan masa depan adik-adiknya. Setiap kali adik-adiknya bertanya kenapa Rudi tidak pernah datang lagi, Murni hanya tersenyum, menjelaskan bahwa dari dulu pun mereka hanya berteman biasa. Subhan yang awalnya tidak percaya dengan penjelasan Murni akhirnya lelah dan memutuskan berhenti bertanya.
Nyatanya, segala pengorbanan dan cinta tulus Murni membuahkan hasil. Adik-adiknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, dengan beragam prestasi yang menggetarkan hati. Ketiganya berhasil lulus S2 dengan hasil cumlaude yang semuanya dengan beasiswa. Ketiganya pula sudah memperoleh pekerjaan yang mapan sesuai bidangnya masing-masing di kota yang berbeda-beda. Mereka pulang setiap enam bulan sekali ke rumah bilik mereka yang kini sudah berubah menjadi rumah permanen dua lantai. Murni pun sudah tidak lagi menjadi gadis pencari kayu bakar. Ia sekarang memiliki warung sembako di lantai satu rumahnya. Menjadi gadis yatim piatu yang hidup berkecukupan. Membuat orang-orang yang dulu memandangnya sebelah mata kini berbalik memujanya.
Sebagai adik, Subhan, Tari dan Sarah sama sekali tidak merasa kekurangan kasih sayang meski pun tumbuh menjadi anak yatim piatu. Ketulusan cinta, kerja keras, pengorbanan serta do’a dari sang kakak terbukti mampu mengantarkan mereka pada janji kehidupan yang lebih baik. Mereka merasa bangga memiliki dan dibesarkan dengan segala kedisiplinan oleh Murni. Inilah sesungguhnya makna sebuah cinta sejati, cinta yang tidak pernah mengenal pamrih. Cinta yang pada akhirnya mampu mengalahkan apa pun meski harus melalui jalan yang berliku dan penuh dengan kerikil tajam. [ ]
-Selesai-

Purwojati, 17 Juni 2014 @8.50 pm
Catatan :
(1). Kemben               : Kain panjang seperti selendang, biasa digunakan masyarakat setempat untuk menggendong sesuatu.
(2). Gunung Pencit     : Sebuah Gunung mati yang terletak di wilayah pinggiran Kabupaten Banyumas.
(3). Manco         : Sebutan bunga pinus bagi masyarakat setempat. Biasa digunakan sebagai bahan bakar pada tungku, layaknya kayu bakar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011