Ibuku Superhero (Spesial thansk to My Mom)
Wanita Superhero. Kalimat
ini sepertinya layak dan pantas disandang oleh wanita yang satu ini. Sosok luar
biasa yang telah banyak menginspirasi perjalananku dalam mengarungi kehidupan
yang tak selamanya berjalan seirama dengan keinginan hati. Dia adalah ibuku,
wanita yang selama sembilan bulan mengandungku, dua tahun menyapihku, serta
membesarkanku dengan penuh cinta kasih, hingga kini aku tumbuh menjadi pribadi
tangguh dan tahan uji.
Aku
terlahir bukan dari keluarga dengan harta berlimpah. Tapi aku terlahir dan
dibesarkan di tengah keluarga dengan segala keterbatasan materi. Ibuku hanyalah
seorang Ibu rumah tangga yang mempunyai penghasilan jika musim tanam tiba.
Sedangkan musim tanam di daerah tempat tinggalku, hanya datang dua tahun sekali,
yang itu pun tak menentu. Hal itu disebabkan sawah yang ada adalah sawah tadah
hujan.
Orangtuaku
memang tak mempunyai sawah. Maka ketika musim tanam tiba, ini adalah hal yang
cukup berarti bagi Ibuku. Karena di saat-saat seperti ini, Ibu biasanya dipekerjakan
oleh para pemilik lahan untuk menanam padi di sawah-sawah mereka. Kesenangan
seringkali membias di wajah Ibu yang mulai mengeriput sebelum waktunya, meski
dalam pandanganku uang yang didapat dari bekerja sebagai buruh tani tersebut
tidaklah sebanding dengan lelah yang dirasakan. Ibuku memang terlihat lebih tua
dari usia sesungguhnya. Mungkin salah satu faktor penyebabnya karena Ibu banyak
makan asam garam dalam menjalani hidup yang dianugerahkan Allah.
Aku
paham betul kalau keadaan ekonomi keluargaku sangatlah minim. Pendapatan
Bapakku yang hanya sebagai pedagang ayam dengan modal pinjaman, seringkali
mengalami kerugian, sehingga tak ayal kami pun terpaksa harus makan seadanya. Namun
Ibuku sangatlah penyabar, sungguh luar biasa sabarnya. Ibu adalah kebanggaan
sekaligus motivator hebat bagi kepribadianku. Tak ada seorang pun trainer di
luar sana yang sanggup menggantikannya. Bukan berarti aku mengesampingkan Bapak
dalam hal ini. Hanya saja hal penting yang dibicarakan di sini adalah mengenai
catatan heroik perempuan. Oleh karenanya lah aku memilih untuk menceritakan
Ibuku sendiri.
Kawan,
percayakah kau? Dulu, saat aku masih kecil, aku mendapati sosok itu sangatlah
tangguh dan kuat. Bukan hanya tangguh dan kuat dalam persepsi menjadi orang
yang tahan uji, namun tangguh dan kuat dalam makna sesungguhnya. Kala itu
usiaku baru sekitar enam tahunan. Di mana setiap harinya, ketika aku bangun
sudah tak lagi kudapati Ibu tertidur di sampingku. Setiap kali kubuka kelopak
mataku, selalu saja kudapati Bapak yang masih dengan setianya memperdengarkan
suara dengkuran lirih. Lantas kemanakah Ibuku?
Pagi
buta, setelah subuh usai, Ibuku bersama beberapa wanita superhero lainnya yang
tak lain adalah tetanggaku sendiri bergegas pergi ke hutan untuk mencari kayu
bakar. Ya, kayu bakar, karena di desaku masyarakatnya masih menggunakan tungku
untuk memasak. Dan kau tahu? Saat jam tujuh pagi, Ibuku sanggup telah membawa
empat sampai lima gulungan kayu bakar yang setiap gulungnya tidaklah sedikit. Jarak
yang ditempuh dari rumah hingga ke hutan sangatlah jauh, dan jalannya berliku,
naik turun, licin pula saat musim kemarau berlalu tergantikan musim penghujan.
Apakah
Ibuku pernah mengeluh? Ternyata tidak. Beliau sama sekali tak pernah mengeluh
di hadapan kami, di hadapan anak-anaknya. Semenjak sang surya membuka tabir
siang hingga sang surya tenggelam di peraduan malam, sungguh tak pernah kulihat
sejenak pun Ibuku mengeluh. Padahal, aku yakin beliau merasa teramat lelah.
Bagaimana tidak? Setiap hari, tak pernah sekali pun kudapati Ibuku berdiam
diri. Selalu saja ada yang beliau kerjakan. Entah itu menyapu sekitar halaman
rumah, membereskan rumah, menyiangi kebun yang ada di belakang rumah, mencari
rumput juga untuk kambing-kambing tetangga yang dipelihara orangtuaku, dan
berbagai kesibukan lain yang tak mungkin kusebutkan satu per satu.
Dari
sekian banyak pekerjaan yang beliau lakukan tersebut lah mungkin yang membuat
Ibu tak sempat atau mungkin tak begitu peduli dengan penampilannya. Sehingga di
usianya yang kini baru menginjak 48 tahun beliau tampak lebih tua dari usia
sebenarnya. Dan kau tahu pula kawan? Di tengah kemelut yang dihadapinya, Ibuku
tak pernah sekali pun menyengajakan meninggalkan ibadah wajib. Bahkan puasa
sunnah serta shalat sunnah pun terkadang dijalaninya. Berbeda sekali dengan
seorang tetanggaku yang rela meninggalkan shalat wajib serta puasa ramadhan
karena alasan semua ibadah tak lantas membuatnya kaya. Na’udzubillah mindzalik.
Saat
aku SMA, aku memilih sekolah jauh di luar kota, dengan tujuan agar aku bisa
memperoleh pendidikan gratis dengan bekerja pada orang tanpa digaji namun
sekolahku terjamin. Alhasil, aku hanya akan bertemu dengan keluargaku saat
liburan panjang tiba, yang jatuh setiap enam bulan sekali, yaitu akhir
semester. Menyedihkan memang ketika aku harus jauh dari sosok yang mampu
menegarkanku tersebut. Terlebih saat aku tengah menghadapi masalah yang
menguras otak atau ditimpa nikmat berupa sakit. Tak ada belaian lembut
tangannya yang bisa dijadikan obat termujarab. Aku pun hanya akan pasrah dan
berserah diri ketika kerinduanku terhadapnya melanda.
Dan
yang membuatku semakin mengagumi sosoknya adalah, selama aku sekolah SMA
tersebut, tanpa sepengetahuanku Ibu senantiasa menyisihkan uang yang didapat
untuk kelanjutan pendidikanku hingga kini aku bisa melanjutkan pendidikan D1 di
sebuah lembaga pendidikan di kota kelahiranku, Purwokerto. Saat aku jauh, Ibu
hanya akan makan seadanya dengan sayur yang dipetiknya dari kebun, yang
tentunya bagi lidah akan membosankan jika dikonsumsi setiap hari. Namun saat liburan
tiba, Ibu akan masak sesuatu yang spesial seperti ayam, telur atau yang
lainnya. Dan selama itu, aku tak pernah tahu dengan kebiasaan Ibu. Yang aku
tahu, keluargaku telah berubah, ada sedikit peningkatan taraf ekonomi sehingga
Ibu mampu membeli makanan yang lumayan wah buat keluarga sepertiku. Pandai
sekali beliau menyembunyikan kesederhanaannya dari hadapanku. Seandainya saja
kedua puluh jemariku berupa jempol, maka akan kuangkat semuanya sebagai pertanda
aku mengagumi kehebatannya. Subanallah.
Satu
lagi kisah nyata tanpa rekayasa yang menunjukkan bahwa Ibuku adalah superhero,
yaitu beliau mampu menjadi menantu yang berbakti kepada mertuanya, yang tak
lain adalah kakek nenekku. Nenek dari Bapakku hanya mempunyai seorang anak
kandung, yaitu Bapakku. Dan seorang anak tiri yang juga laki-laki. Sehingga
kakek dari Bapakku tersebut adalah kakek tiriku. Di penghujung tahun 2010
kemarin, keduanya sakit keras hingga hanya tergeletak di tempat tidur. Buang
air dan segala aktivitas lainnya dilakukannya di atas ranjang. Aku yang waktu
itu tak dikasih kabar mengenai keadaan kakek nenekku akhirnya mendapat telepon
dari Masku di Bekasi yang mendapat kabar dari tetangga bahwa kakek nenek tengah
sakit parah. Ternyata Ibu memang sengaja menyembunyikannya dariku agar kuliahku
tak terganggu. Karena meski masih satu kota, aku memang tinggal di kos karena
jarak rumah ke kampus cukup jauh. Itu lah kenapa aku tidak langsung mengetahui
kabar mengenai kakek nenekku yang tengah sakit.
Setelah
mendapat kabar tersebut, aku pun langsung pulang ke rumah. Dan ternyata, mulai
dari masak dan segala macam semuanya dilakoni oleh Ibuku. Padahal yang
menyandang predikat menantu perempuan bukan hanya Ibuku, tapi juga istri dari
anak laki-laki kakekku tersebut. Luar biasa jika dibayangkan. Siang tak pernah
berhenti beraktivitas, malam tak pernah bisa memejamkan mata. Itu lah yang
dialami Ibuku selama kakek nenek sakit. Karena (maaf) nenekku buang air hampir
tak pernah henti. Tapi ternyata, dengan telaten Ibu mengabaikan bau tak sedap
yang berseliweran serta menahan rasa mual yang aku yakin dirasakannya. Aku
sempat ingin membantunya merawat kakek nenek, namun apa daya, saat itu aku
tengah menghadapi ujian semester yang tak mungkin kutinggalkan.
Sekarang,
saat aku menulis tulisan ini, Ibu masih menjalani profesinya seperti dulu, tak
ada perubahan. Selalu saja menyibukkan diri dengan beragam aktivitas tanpa
mengenal lelah. Dan Bapakku tidak lagi bekerja seperti dulu. Selain karena
usianya yang telah renta, hal lain yang menjadi penyebab adalah karena tangan
kirinya mengalami keretakan tulang akibat terjatuh. Sehingga, tangannya tak
dapat difungsikan. Dalam kondisi seperti ini, Ibu dengan setia mengurus Bapak,
memandikannya, serta mengurus keperluan lainnya. Pagi hari, Ibu akan kembali
bekerja di sawah, untuk menyiangi tanaman padi tetangga.
Harta
yang kami miliki satu per satu kami lepas. Sawah yang pernah diterimanya dari
warisan buyutku, tanah yang dulu dibelinya dari hasil jerih payah kedua
orangtuaku, kini habis terjual karena hutang yang melilit keluargaku. Sekarang,
kuliahku hampir usai. Namun kondisi ekonomi keluarga yang tengah terpuruk
memaksaku melawan nasihat dokter untuk berhenti berpuasa daud. Semenjak SMP
kelas tiga, aku memang telah terbiasa menjalani puasa sunnah daud. Namun kelas
tiga SMA aku terkena magh akut serta gangguan fungsi ginjal, sehingga dokter
menyarankan agar aku berhenti berpuasa. Aku pun menurutinya. Namun lima bulan
terakhir, aku melanggar nasihat dokter demi meminimalisasi pengeluaranku. Meski
akibatnya rasa sakit itu semakin sering muncul menyiksaku, namun aku
meyakininya bahwa dengan berpuasa insya Allah, Allah akan memberikan kesembuhan
secara bertahap. Mungkin niat awalku memang keliru, berpuasa karena untuk
berhemat. Namun terlebih dari itu semua, aku meniatinya untuk mengharap ridha
Allah. Semoga berbuah berkah. Amin.
Tentu
saja aku menyembunyikan sakit itu dari keluargaku karena aku tak ingin menambah
beban mereka, terutama Ibuku yang teramat perasa. Dan masih dengan
keluarbiasaannnya, setiap aku pulang Ibu selalu memberikan uang yang berhasil
beliau sisihkan. Padahal, untuk makan saja aku yakin Ibu seringkali
kebingungan. Aku yang memang belajar sehemat mungkin, saat pulang uangnya masih
tersisa, yang sebisa mungkin akan kukelola agar cukup untuk hidup beberapa periode
ke depan. Namun dengan tulusnya Ibu selalu memberikan uangnya untukku.
“Ambillah
ini nak. Maaf karena uang yang bisa Ibu kasihkan hanya sedikit.”
“Sudahlah
Bu, tak usah. Uang kemarin juga masih sisa kok. Insya Allah masih cukup untuk
beberapa waktu ke depan. Mending untuk beli obat buat Bapak saja, atau untuk
membeli lauk.”
“Ibu
masih punya sedikit simpanan nak. Ambillah ini! Uang mah gampang, nanti bisa
dicari lagi. Siapa tahu ada kebutuhan kuliahmu yang mendadak. Lagian sepertinya
uang segitu malah masih kurang untuk hidup seminggu di kota.”
Itu
hanyalah sepenggal kalimat percakapan antara aku dan Ibuku, wanita superhero
dalam hidupku. Masih banyak lagi kisah menakjubkan pada beliau yang tak mungkin
sanggup kuceritakan semua, karena keterbatasan ruang dan juga sebab aku tak
sanggup menahan buliran bening mataku yang terus menggelinding jika harus
bercerita tentang kisah heroiknya.
Aku
malu, sungguh aku malu. Malu pada Allah yang telah menganugerahkan hidup
untukku, malu pada malaikat pencatat amalku, malu pada Rasulullah yang telah
menyebarkan Islam hingga melalui berbagai perantara sampailah ajaran beliau
kepadaku, malu pada semuanya atas apa yang pernah kulakukan pada Ibuku dahulu.
Dulu kala, aku seringkali malu sama teman-teman saat orangtua harus mengambil
raport atau rapat wali murid. Aku malu karena nanti pasti Ibu tak bisa menulis
karena Ibu memang tak pernah sekolah, malu karena pas ditanya wali kelas pasti
Ibu tak sanggup berbicara dalam bahasa Indonesia, dan sederet malu lainnya yang
membuatku memandang rendah Ibuku. Astaghfirullah, ampunkanlah keangkuhan
hamba-Mu ini ya Allah. Karena telah salah menganggap wanita mulia yang dengan
penuh kesabaran mengenalkanku kepada ajaran-Mu, dengan penuh keikhalasan
membesarkan dan mendidikku. Maafkan aku karena telah merasa malu memiliki Ibu
sepertinya. Maafkan ya Allah maafkan.
Sekarang,
aku berjanji untuk selalu membuatnya bahagia. Aku takkan malu lagi mengakuinya
sebagai Ibuku di hadapan orang lain. Justru aku sangat bangga memiliki Ibu yang
sangat menyayangi serta begitu tangguh dalam menapaki kehidupan. Aku akan
dengan lantang meneriakkan pada dunia bahwa aku bangga pada wanita bernama
“Ralem”, yaitu Ibu yang tak ada duanya dan takkan pernah tergantikan. Mom, you
are superhero.[ ]
*****
Purwokerto, 31 Maret
2011 on 22:30
Me and My Mom |
Komentar
Posting Komentar
Coment please...