Mata Untuk Ersa

Senja masih sempurna miliknya, seperti tahun yang sudah-sudah.

"Aila, aku kangen kamu," Ersa mendekap boneka beruang yang sudah kusut. Kedua matanya mengembun. Ia yang seperti biasa duduk di sebatang pohon mahoni besar yang bercabang mafhum mengayun-ayunkan kakinya. Di tempat ini, ia selalu mengenang kisahnya bersama Aila, sahabat masa kecilnya.

Angin bertiup sepoi, melambai-lambaikan rambut Ersa yang tergerai. Setiap senja datang, tempat ini selalu saja menjadi tempat favoritnya. Tak sekali senja pun ia alfa. Sedari dulu, semenjak ia mengenal Ailanya.

"Nama kamu siapa? Kenalin, aku Aila. Maukah kamu bermain denganku?" sebelas tahun silam, saat usianya baru tujuh tahun, Ersa bertemu dengan Aila di sini, di bukit ini. Bukit yang menjadi saksi persahabatan keduanya. Persahabatan yang tak mungkin lekang oleh waktu.

"Namaku Rafreshalia, panggil saja Ersa," malu-malu, Ersa mengulurkan tangan mungilnya. Sementara tangan kirinya mendekap erat boneka Kodok kesayangannya.

"Ah Ersa. Namamu bagus sekali. Boneka Kodokmu juga bagus. Aku pengin jadi temanmu, kalau boleh," Mata Aila mengerjap-ngerjap.

"Bonekamu juga bagus, Aila. Aku mau kok jadi temanmu. Mulai hari ini, kita berteman, ya," Ersa refleks menyodorkan jari kelingkingnya, kemudian keduanya saling mengaitkan. Awal persahabatan yang indah. Dengan kepolosan yang tidak dibuat-buat.

***

Senja yang indah. Bunga-bunga liar sedang puncaknya bermekaran. Menebarkan semerbak harum yang menentramkan. Barisan pegunungan yang meliuk indah, hamparan sawah yang membentang, serta sungai yang mengalir di kaki bukit, membuat suasana semakin damai. Aila dan Ersa, dua anak manusia berjalan bersisian meniti bukit. Keduanya berpegangan tangan erat seolah tak mau terpisah. Aila dengan boneka beruangnya, dan Ersa dengan boneka kodoknya. Keduanya memiliki latar belakang yang sama sekali berbeda. Ersa berasal dari keluarga kaya raya yang datang dari kota, karena Ayahnya memutuskan untuk mengembangkan perkebunan Stroberi di lereng bukit tempat Aila sedari kecil tinggal.

Aila sendiri hanya tinggal dengan seorang kakeknya yang sudah renta. Menurut cerita sang kakek, orangtua Aila meninggal dalam kecelakaan saat pergi ke kota, bertahun-tahun silam saat usianya baru enam bulan. Maka, Aila pun tumbuh menjadi gadis periang meski tidak memiliki teman. Lereng bukit tempatnya tinggal memang tidak banyak penduduk, maka alam dan ladang adalah teman bagi Aila, dan Aila tak pernah sekali pun menyesalinya. Ia selalu bangga memiliki Kakek yang selalu menceritakan dongeng-dongeng hebat. Aila kecil pun bercita-cita untuk menaklukan dunia, dan kelak membangun desa di lereng bukit tempatnya dibesarkan.

Semenjak persahabatan keduanya terjalin, keduanya selalu bermain bersama sepanjang hari. Dan tempat favorit mereka adalah di puncak bukit, di mana di sana tumbuh sebatang pohon mahoni besar yang bercabang, dan membuat keduanya mudah duduk santai sambil mengayun-ayunkan kaki. Namun sayang, pada usia duabelas, Aila harus pergi meninggalkan lereng bukit tempatnya dibesarkan. Ia yang terkenal cerdas, akhirnya memutuskan menerima tawaran beasiswa dari sebuah asrama nun jauh di kota. Apalagi, di usianya yang keduabelas, Kakeknya meninggal. Hal tersebut tentu saja tidak memungkinkannya untuk tetap tinggal di lereng bukit, tanpa siapa-siapa yang akan menanggung hidupnya. Sebenarnya, orangtua Ersa tidak keberatan untuk mengangkatnya menjadi anak, apalagi melihat kedekatan putri semata wayangnya yang teramat menyayangi Aila. Namun lagi-lagi, hidup tetap harus memilih. Dan Aila memilih kesempatannya untuk mengenal dunia luar.

"Nanti, kalau aku kangen kamu gimana, La? Aku nggak mau berpisah denganmu," Ersa terisak sambil memegangi tangan sahabatnya.

"Aku kan hanya pergi untuk sementara, Sa. Aku janji akan rajin berkirim surat untukmu. Aku janji, tiga bulan sekali aku akan datang ke lereng bukit ini, untuk menemuimu," Aila mengusap airmata di pipi Ersa. Ia sebenarnya berat untuk berpisah dengan sahabatnya itu, tapi ia telah menjatuhkan pilihan, dan ia yakin ini adalah keputusan terbaiknya. "Kamu boleh memiliki boneka beruangku, agar setiap kamu kangen aku, kamu bisa memeluknya dan anggap saja kamu sedang memelukku. Maaf jika bonekaku jelek,"

"Kalau gitu, kamu juga simpan boneka kodokku, ya? Lakukan hal serupa jika kamu merindukanku," Ersa berlari ke kamar mengambil boneka kodoknya lalu menyerahkannya pada Aila. Mereka berpelukan erat cukup lama, sebelum Aila akhirnya menumpang mobil box ke kota.
***

Setahun berselang, Aila masih rajin berkirim surat dan berkunjung ke lereng bukit setiap tiga bulan sekali. Namun, di tahun kedua surat-surat Ersa semakin jarang berbalas. Dan lama-lama, Aila pun tak pernah membalasnya sama sekali. Aila tidak pernah lagi muncul ke lereng bukit, seperti janjinya dulu. Tapi, apakah Ersa lantas membencinya? Tidak. Ersa masih setia setiap hari pergi ke puncak bukit, berharap suatu saat Aila datang tiba-tiba. Hingga usianya menginjak delapanbelas, Ersa meminta orangtuanya untuk mengantar dirinya pergi mencari Aila.

Berbekal alamat yang masih disimpannya dengan rapi, suatu pagi yang cerah Ersa pergi jauh ke sebuah kota di mana alamat Aila dulu tertera. Rindunya sudah buncah sedemikian rupa, dan ia ingin mengetahui bagaimana Aila-nya sekarang.

"Permisi, Pak. Apakah benar Aila tinggal di sini?" Ersa bertanya pada seorang Bapak yang sepertinya seorang tukang kebun.

"Aila? Aila siapa ya?" sang Bapak mengerutkan kening, berpikir keras mengingat barangkali pernah mendengar nama Aila.

"Aila itu teman saya, dari surat yang selalu dia kirim tujuh tahun lalu, dia bilang tinggal di alamat ini," Ersa memberi penjelasan, berharap ia segera mengetahui keberadaan Aila.

"Oh sebentar-sebentar, Non. Sepertinya saya ingat. Apa Non ini yang bernama..." kalimatnya terputus, tampak sedikit mengingat-ingat.

"Nama saya Ersa, Pak. Saya temannya Aila dari lereng bukit,"

"Ah ya, Non Ersa. Bapak ini sudah tua, lebih sering pikun. Mari Non, silakan duduk. Kenalkan, saya Pak Karman," lelaki berusia setengah abadan itu mempersilakan Ersa duduk di sebuah bangku taman, lalu berlalu dan kembali dengan tiga cangkir teh. Ersa dan supirnya pun akhirnya duduk. Hatinya berdebar-debar, tidak sabaran untuk segera tahu di mana Aila berada.

"Enam tahun lalu, Non Aila menitipkan ini," Pak Karman menyodorkan amplop berwarna hijau muda yang masih di lem rapat. Tertulis 'untuk Ersa - dari Aila'. "Bapak sendiri tidak tahu kemana Non Aila pergi. Ia sama sekali tidak memberikan penjelasan. Bahkan Ia pergi hanya membawa beberapa potong pakaian, selebihnya masih tersimpan rapi di lemari kamarnya. Ibu asrama sendiri tidak pernah tahu keberadaan Non Aila. Saat itu sore hari, gerimis sedang turun. Non Aila berpamitan pergi dan hingga sekarang tidak pernah kembali. Bapak pernah berpikir, bahwa Non Ersa mungkin akan datang tidak lama setelah Non Aila memberikan surat ini. Tapi lambat laun, Bapak sendiri seolah lupa dengan surat tersebut. Karena bertahun-tahun lamanya nama yang tertulis di sampul surat tersebut tidak pernah muncul," Ersa menghela nafas. Apa yang terjadi dengan Aila? Ia pun lantas menyobek ujung amplop, dan mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi di dalamnya.

Untuk Ersa, sahabat masa kecilku, juga sahabat terbaikku sepanjang masa.

Hanya pada angin aku mampu menitipkan rindu. Hanya pada angin aku mampu menitipkan doa untukmu. Ersa, maafkan aku harus menghilang tanpa kabar. Bukan karena aku tak mau lagi menjadi sahabatmu. Bukan pula karena aku tak lagi menyayangimu. Aku terpaksa, sungguh benar-benar terpaksa melakukan semua ini. Meski aku tak pernah mampu memprediksi, namun aku selalu yakin bahwa saat ini akan terjadi. Saat di mana kamu akan membaca suratku. Sebab aku percaya, kamu pasti akan datang untuk mencariku. Jika kamu berkenan, datanglah ke alamat yang aku tulis di akhir surat ini. Di sinilah semua penjelasan akan terurai. Aku harap, kamu masih sudi memaafkanku yang menghilang tanpa kabar berita.

Penuh cinta,

Aila

Ersa melipat kembali surat dari Aila, lalu berpamitan pada Pak Karman dan meminta supirnya untuk mengantarnya ke alamat yang dicantumkan Aila. Ersa benar-benar tak mampu menyimpulkan penjelasan dari semua teka-teki ini.

"Alamatnya jauh dari sini, Non. Sekarang juga sudah hampir maghrib. Lebih baik, kita cari penginapan dulu buat beristirahat, besok baru kita lanjutkan perjalanan," Pak Rion, sopir Ersa menjelaskan saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.

"Oh, jauh ya, Pak? Kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan?"

"Delapan jam, Non," Pak Rion menjawab dari balik kemudi, sambil mengemudikan mobil di jalanan kota yang cukup padat.

"Ya sudah, Pak. Kita lanjutkan besok saja," Ersa akhirnya membuat keputusan.
***

 Hujan rintik-rintik sedang mengguyur saat Ersa dan supirnya tiba di alamat tujuan.

"Kok bau obat, Pak Rion?" Ersa bertanya pada sopirnya.

"Iya, Non. Kita sedang di rumah sakit. Alamat yang ditulis Non Aila adalah alamat rumah sakit," demi mendengar penjelasan dari Pak Rion, Ersa merasa ada yang tidak beres. Untuk apa Aila menuliskan alamat rumah sakit? Setelah bertanya pada resepsionis, barulah Ersa tahu, bahwa Aila tidak dalam keadaan baik-baik saja. Pak Rion membimbing Ersa masuk ke sebuah ruangan.

"Maafkan kami, kondisi Aila sekarang kritis. Sudah sebulan terakhir dia koma. Pihak orangtua angkatnya dan pihak rumah sakit sudah berusaha untuk mencari pendonor ginjal, namun bertahun-tahun lamanya kami tidak mendapatkan pendonor yang cocok. Maka, Aila bisa bertahan hanya dengan bantuan alat medis," Ersa syok bukan main mendengar penjelasan dokter. Bagaimana mungkin, Aila yang menderita gagal ginjal tidak pernah memberitahunya hingga parah seperti sekarang.

"Ambil ginjal saya, Dok. Lakukan apa pun untuk menyelamatkan teman saya," Ersa menangis, memohon agar dokter mengabulkan permohonannya.

"Hal itu tidak mudah, Non. Belum tentu kalian cocok,"

"Ersa.. Ersa.. " ajaib, setelah sebulan lamanya Aila koma, tiba-tiba tangannya bergerak-gerak. Mulutnya menggumam lirih menyebut nama Ersa. Tim dokter sampai kaget dan susah untuk percaya.

"Aila, iya aku di sini," Ersa menggenggam tangan Aila, menyalurkan kehangatan dan kepercayaan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Terimakasih sudah datang menjengukku. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Terimakasih sudah mau menjadi temanku, dan terimakasih sudah menyimpan boneka beruangku. Aku mohon, ambillah kembali boneka kodokmu dan simpan baik-baik," Aila menatap Ersa dengan mata berlinang. "Dokter, tolong ambil mata saya untuk sahabat saya, Ersa. Dia berhak untuk mendapatkannya. Sekarang saya sudah ikhlas dan tenang untuk pergi. Laailahailallaah," usai berkata demikian, Aila menutup mata untuk selama-lamanya. Ia pergi menghadap Tuhannya dengan cara yang indah. Ersa yang awalnya tidak bisa menerima kenyataan, perlahan mampu menerimanya dengan lapang dada. Ailanya memang sudah pergi. Tapi kedua bola matanya yang ada dalam dirinya membuat Aila selalu hidup dalam hatinya. Baginya, Aila masih tetap hidup lewat mata yang sekarang ia gunakan. Saat usia Ersa lima tahun, Ersa memang mengalami kecelakaan yang membuat matanya buta permanen. Oleh karenanyalah, orangtua Ersa memutuskan pindah ke lereng bukit dan mengembangkan perkebunan stroberi di sana. Sebagai orangtua, mereka tidak tega melihat putri semata wayangnya menerima ejekan dari teman-temannya. Dan nyatanya, di lereng bukit Ersa bertemu dengan Aila yang mau berteman dan menerima Ersa apa adanya. Maka, terjalinlah persahabatan indah mereka. Yang meski pun salah satu diantaranya harus pergi terlebih dahulu, namun kisah mereka akan tetap abadi sepanjang masa. [ ]


Jakarta, 13 September 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011