Teman Baru

"Permisi, boleh aku duduk di sampingmu?" gadis berambut lurus sebahu itu tersenyum ke arah Evi yang sedari tadi hanya sibuk mengaduk-aduk es tehnya. Dari seragamnya yang juga mengenakan seragam putih merah setidaknya gadis yang baru saja menyapanya juga berstatus sebagai siswa baru di sekolah ini, sama seperti Evi


"Eh boleh. Duduk aja," Evi balas tersenyum. Meski dari kelas satu SD hingga lulus Evi selalu saja meraih rangking pertama di kelas, namun tidak lantas membuatnya juga menjadi gampang beradaptasi. Selama ini, Evi yang cenderung tertutup, pendiam dan tidak banyak tingkah lebih senang menyendiri. Mungkin saja latar belakang keluarganya yang hanya sebagai buruh tanilah yang membuat Evi agak minder bergaul dengan teman-teman sebayanya yang rata-rata berasal dari keluarga terpandang.

"Kenalin, aku Ais. Nama kamu siapa? Dari SD mana?" saat itu jam istirahat. Sama seperti yang lainnya, Ais juga sedang jajan di kantin belakang sekolah. Dengan adanya istirahat, setidaknya siswa-siswa baru agak leluasa terbebas dari hukuman kakak-kakak seniornya. Karena tiga hari lamanya seluruh siswa baru tanpa terkecuali harus mengikuti MOS.

"Oooh, Evi Savitri ya? Bukankah kamu siswa baru dengan nilai tertinggi yang mendaftar di SMP Semesta ini?" ditanya begitu Evi hampir saja tersedak. Matanya membulat menatap Ais.

"Masa iya sih?"

"Hahaha, kamu kayaknya tertutup banget deh. Tapi kamu juga kayaknya asyik dijadiin temen. Mau kan temenan sama aku?" Ais mengelap bibirnya dengan tissue, sementara Evi masih menatap bingung cewek di sampingnya. Pembawaannya yang ceria, mudah bergaul dan sepertinya hobby bicara. Sama sekali bertolak belakang dengan kepribadiannya sendiri.

"Eh, temenan sama aku?" Evi mengarahkan telunjuk ke dadanya sendiri.

"Iya kamu. Memang siapa lagi? Dari tadi kan aku cuma ngobrol sama kamu. Jadi, mulai sekarang kita temenan, ya?" Ais menyodorkan kelingkingnya, sementara Evi membalas ragu-ragu. "Tenang aja, Vi. Kamu nggak usah takut. Aku nggak bakal gigit kamu, kok. Semoga nanti kita bisa satu kelas, ya. Sekarang kita balik ke kelas yuk, udah mau habis jam istirahatnya. Kalau sampai telat, bisa-bisa kita disuruh keliling lapangan sama kakak-kakak OSIS. Apalagi Kak Fauzi tuh, galaknyaaaa," Ais masih terus nyerocos.

"Oke, aku balik ke kelas dulu ya, Is. Sampai jumpa," Evi melambaikan tangan saat keduanya berpisah di persimpangan koridor sekolah



Saat memasuki ruangan kelas, Evi tertegun mendapati beberapa kakak OSIS sudah berdiri di depan kelas. Semua siswa baru yang satu ruangan dengannya pun sudah duduk rapi di kursi masing-masing. Sejenak ia menengok jam di tangannya, baru pukul setengah tujuh. Masih setengah jam lagi acara MOS hari terakhir dimulai. Evi tertegun di depan pintu, ragu untuk mengetuknya.

"Evi, kamu kenapa nggak langsung masuk?" seseorang menepuk bahunya, membuatnya terlonjak kaget.

"Eh kamu, Is. Itu, kok udah pada masuk, ya? Bukannya jam masuk masih setengah jam lagi?"

"Mungkin ada keperluan kali. Kamu masuk aja. Aku juga mau ke kelas,"

"Ngapain kamu mesti takut? Kamu kan nggak telat datang?" Ais menatap mata Evi, seolah hendak memberikan kekuatan, dan bicara lewat sorot matanya.Evi menuruti saran Ais. Pelan-pelan mengetuk pintu, lalu masuk setelah dipersilahkan duduk oleh salah seorang kakak OSIS. Perlahan EVi duduk di kursinya, lalu gemetar meletakkan tas dari kantong terigu yang ia sampirkan ke pundak. Ucapan Ais sebelum ia masuk ke dalam kelas keliru besar. Nyatanya ia tidak merasa baik-baik saja. Baru saja ia hendak duduk, Vico, cowok bertubuh tinggi tegap yang merupakan ketua OSIS membentaknya.

"Kamu Evi, kan? Duduk kamu," wajahnya yang biasanya tampak kalem dan menyenangkan, kali ini berubah bak serigala di mata Evi. Seperti seekor rusa yang hendak diterkam harimau, Evi gemetar ketakutan. Apa pula kesalahan yang telah ia lakukan, hingga sepagi ini hampir seluruh pengurus OSIS sudah berada di kelasnya, dan anehnya seluruh siswa baru yang satu kelas dengannya sepagi ini semuanya sudah tiba di kelas, padahal jam masuk masih lama. Ia sibuk berpikir dalam hati. Embun mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin sekali menangis, berlari memeluk ibunya yang selama ini selalu membuatnya tenteram dari setiap masalah

"Kamu kenapa nangis? Cengeng banget jadi orang," Tirta, salah seorang pengurus OSIS menggebrak meja Evi, membuat tubuh Evi semakin bergetar hebat. Ia sempurna ketakutan oleh sesuatu yang bahkan belum ia tahu penyebabnya

"Maaf Kak. Aku salah apa, ya?" setelah mati-matian menahan air matanya agar tidak tumpah, Evi akhirnya memberanikan diri mengangkat wajahnya, bertanya dengan suara serak.

"Apa? Kamu bahkan belum tahu kesalahanmu? Bagaimana mungkin siswa seperti kamu bercita-cita untuk sekolah di sekolah ini?" Vico menatap tajam mata Evi. Kemudian berjalan mengelilingi kelas. "Dengarkan ya adik-adik. Di sini itu sekolah yang menjunjung tinggi martabat. Siapa pun yang berbuat salah, hendaknya dengan penuh kesadaran meminta maaf, berjanji untuk tidak akan mengulanginya lagi. Dengan demikian kalian bisa mendapat hukuman yang ringan, atau bahkan terbebas sama sekali. Setidaknya seperti itu yang seluruh guru ajarkan di sini. Dan hari ini, kalian lihat. Seorang siswa baru, cewek pula, dengan sok polosnya pura-pura tidak tahu apa yang telah diperbuatnya. Tentu saja ini semua tidak pantas untuk kalian tiru," Evi bengong di mejanya. Benar-benar tidak tahu apa kesalahan yang telah diperbuatnya. Bukankah MOS dua hari lalu berjalan dengan baik? Ia pun selalu patuh terhadap seluruh perintah kakak-kakak OSIS. Dan hari ini, ia pun datang sebelum jam masuk. Lantas, apa yang sesungguhnya sedang dibicarakan oleh sang ketua OSIS.

"Sekarang, apakah kamu sudah sadar apa kesalahanmu, adik manis?" Setelah berkeliling memeriksa seluruh bangku, Vico kembali ke meja Evi di barisan kedua. Mata elangnya menatap tajam. Jika saja situasinya berbeda, mungkin tatapan itu terasa menyenangkan. Apalagi bagi kebanyakan cewek yang dalam cerita pada umumnya selalu tergila-gila pada tokoh cowok yang berperan sebagai ketua OSIS, ganteng dan jago main basket.

"Belum kak," Evi menggeleng. Jemarinya sibuk memainkan bolpoint di bawah meja.

"Oh, belum juga ya?" nada suara Vico terdengar melemah. Evi berharap apapun kesalahan yang telah ia lakukan, akan membuat Vico mengurangi hukumannya. Apalagi teman-teman sekelasnya menatap misterius ke arahnya. "Bagus. Kamu bahkan masih belum mau mengakuinya. Baiklah, kami akan memaksamu untuk mengakui apa yang telah kamu lakukan. Siap-siap untuk menjalani hukuman berat dari Pak Kepsek. Ayo adik-adik, pakai semua peralatannya. Harus lengkap, tidak boleh kurang. Kalian langsung saja ke lapangan buat upacara apel pagi," Vico dan teman-temannya mengintruksi seluruh kelas agar bergegas menuju lapangan. Evi yang masih bingung pun akhirnya mengikuti apa yang dilakukan seluruh temannya.

"Siapa yang suruh kamu ikut ke lapangan?" Ardi, kakak OSIS yang kemarin memperkenalkan diri sebagai ketua umum ekskul jurnalistik mencegatnya di depan kelas.

"Eh, terus aku harus ngapain, kak? Bukankah apel pagi sudah mau dimulai, ya?" Evi menjawab sambil membenarkan letak kalung berbandul cabe merahnya yang bergeser ke samping.

"Tidak ada apel pagi untuk siswa baru yang tidak mau mengakui kesalahannya. Kamu bahkan bisa saja dinyatakan tidak lolos mengikuti MOS dan harus mengulanginya tahun depan. Kamu masuk kelas, jangan kemana-mana. Pintunya akan dikunci biar kamu nggak kabur," Ardi memainkan kunci di depan wajah Evi. Semua ini sungguh membuatnya bingung bukan kepalang. Karena habis akal dan tidak tahu apa yang harus diperbuat, akhirnya Evi hanya menurut, kembali duduk di kursinya. Tentu saja hal tersebut membuat Evi gelisah. Bagaimana mungkin ia tidak lolos MOS? Ia sungguh tidak sanggup membayangkan wajah Ibunya yang pasti akan kecewa jika saja hal tersebut terjadi. Untuk biaya masuk sekolah saja Ibunya bahkan menggadaikan cincin pernikahannya, yang tentu saja teramat berharga.

Setelah bosan menunggu, akhirnya upacara apel pagi selesai. Evi beranjak berdiri mendengar pintu kelas dibuka. Seluruh siswa langsung menghambur masuk, duduk di kursi masing-masing.

"Nis? Memangnya aku salah apa sih? Kok kayaknya parah banget," Evi mencolek teman sebangkunya, Nisa. Namun Nisa hanya mengangkat bahu, memberikan jawaban tidak tahu. Evi mendengus kesal. Bahkan Nisa saja tidak tahu. Nisa memang berbeda sekolah dengan Evi. Pembagian tempat duduk yang dilakukan acak oleh pengurus OSIS akhirnya membuat Evi dan Nisa harus duduk bersebelahan. Sejauh ini, meski Nisa cuek, Evi cukup nyaman berteman dengannya. Nisa malah terkadang membantu merapikan barang-barang Evi.

"Nah sekarang, kalian keluarkan semua perlengkapan kalian. Termasuk bekal yang kalian bawa. Nanti kita makan bareng-bareng dengan seluruh siswa baru dari kelas lain di aula. Kita akan mengadakan pentas seni di sana. Setiap perwakilan kelas diharapkan mempersiapkan semuanya," salah seorang pengurus OSIS bernama Arum memberikan petunjuk. "Dan kamu yang bernama Evi, berhubung kamu harus dihukum, kamu wajib mengisi pentas seni. Terserah mau apa," kelas akhirnya ramai oleh tepuk tangan.

"Tapi Kak, aku kan belum ada persiapan. Kemarin yang jadi wakil kelas kan sudah ada yang mau ngisi drama sama karaoke," Evi keberatan ketika namanya disebut. Bagaimanalah mungkin ia akan mengisi pentas seni? Untuk tampil di depan aja ia suka gelagapan.

"Nggak ada tapi-tapian. Kalau kamu bingung mau ngisi apa, nanti kamu pidato saja. Teksnya sudah disiapkan oleh pengurus OSIS. Kamu tinggal membacanya," mau nggak mau, Evi akhirnya mengangguk. Ia tak mau reputasinya sebagai anak baru tercoreng gara-gara banyak membantah. Dengan kejadian yang hingga sekarang belum ia tahu apa masalahnya saja sudah cukup membuatnya pusing. Ia benar-benar pasrah apapun hukuman yang harus ia terima.

"Hai, Vi. Di pentas seni nanti, kelasmu mau ngisi apa?" Ais yang ternyata sudah lebih dulu tiba di aula menjawil lengan Evi. Semenjak perkenalannya dua hari lalu, Ais memang layaknya kawan lama, selalu riang menyapa terlebih dulu.

"Drama sama karaoke. Tapi aku sedih, aku juga wajib ngisi. Aku kan belum ada persiapan. Aku dihukum karena berbuat salah. Tapi aku sendiri nggak tahu salahku apaan," Evi sengaja duduk di pojok belakang, berdekatan dengan Ais. Di sini, semuanya memang dibebaskan memilih di mana saja hendak duduk, tidak harus per kelas.

"Loh kok bisa nggak tahu?" Ais menggaruk kepala, bingung dengan ucapan Evi.

"Iya, dari pagi aku dimarah-marahin sama kakak OSIS. Terus tadi juga aku dikunci di kelas, nggak boleh ikut upacara apel pagi," tutur Evi dengan emosi yang menggelegak di ubun-ubun. Ia marah, tapi tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Bagaimana mungkin ia disiksa untuk mengakui kesalahan yang ia tidak pernah tahu.

"Udah tenang aja. Aku yakin kamu pasti bisa kok. Semangat, ya. Aku mau nyanyi lagunya Agnes Monica yang Tak Ada Logika," Ais menepuk bahu Evi, memberi semangat pada sahabatnya.

"Wah, kamu ternyata bisa nyanyi? Duuuh, beruntung banget aku bisa jadi temenmu. Aku juga ngefans banget sama Agnes. Hanya saja sayang, aku nggak bisa nyanyi. Jadi nggak sabar denger kamu nyanyi di depan," kini giliran Evi yang tersenyum senang.

Seluruh pengurus OSIS mulai memasuki ruangan. Siswa-siswa baru pun perlahan mulai memenuhi ruang aula, duduk rapi di tempat yang dirasa nyaman. Satu per satu perwakilan kelas mulai maju ke depan, membawakan beragam adegan yang telah dipersiapkan. Sementara Evi di sudut belakang mulai gemetar, takut dengan ancaman hukuman yang tadi diucapkan oleh kakak OSIS.[ ]

Komentar

  1. Muhammad Rizki Azra27 Juni 2013 pukul 23.19

    bagus...ceritanya menarik....jadi ingat kenangan waktu sma..hehe... jadi penasaran kelanjutan ceritanya....

    BalasHapus

Posting Komentar

Coment please...

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011