Kisah di Tepian Sungai Tenggulun (Hal 74, Story edisi 44)



Kisah di Tepian Sungai Tenggulun

Oleh : Akhwatul Chomsiyah Firdausa



Senja mulai menjingga. Ayam-ayam piaraan warga sudah tak nampak berkeliaran. Semua kembali pulang ke kandang si empunya masing-masing. Keadaan itu sungguh sama sekali berbeda dengan seorang gadis bernama Salwa. Ia tak tahu kemana harus pulang. Rumah papan peninggalan orangtuanya yang empat tahun lalu masih kokoh berdiri kini telah menjadi puing-puing reruntuhan. Di sana-sini tumbuh tumbuhan liar, menjelma menjadi semak belukar.


Senja sempurna bermetamorfosis menjadi petang. Alunan suara adzan bertalu-talu di seluruh penjuru desa Panusupan. Salwa yang sedari tadi duduk di pematang sawah kini berdiri, berjalan menyusuri pematang sawah menuju jalan setapak. Terus berjalan hingga ia mencapai jalanan beraspal yang merupakan jalan utama penghubung Kecamatan Cilongok dan Patikraja. Sejenak ia berhenti, lalu membalikkan badan menatap hamparan sawah dalam keremangan. Ia mencoba menyunggingkan senyum, yang justru tampak seperti sebuah seringai

Kalimat beruntun dari mulut Arul sepulangnya dari mushola dulu kembali menggaung di kepala Salwa. Arul, cinta pertama sekaligus teman masa kecilnya.

Hati Salwa remuk redam. Seharusnya Salwa bahagia karena perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat berbalas. Namun tidak. ia justru sedih luar biasa mengingat ucapan Seruni tadi sore. Seruni, putri lurah desa Panusupan. Parasnya cantik tak tertandingi gadis mana pun di desa itu. Maka baginya, Seruni bukanlah saingan yang seimbang. Apalagi sejak kecil keduanya bersahabat dekat, layaknya saudara.

“Wa, boleh tidak minta tolong?”

“Minta tolong apa, Runi? Selagi mampu, pasti aku bantu,” senyum Salwa merekah.

“Ehmm, anu Wa. Kamu kan dekat sama Arul. Aku iri, Wa. Karena sesungguhnya aku menyintai Arul,” Seruni menundukkan kepala.

“Aduuh, Runi. Kamu mikir apa? Jadi selama ini kamu suka sama Arul? Kenapa baru bilang? Kalau dari dulu kamu bilang, aku pasti bakal comblangin kamu,” Salwa tercekat dengan kalimatnya sendiri. Sesungguhnya dadanya mendadak bergemuruh saat Seruni berkata bahwa ia menyintai Arul. Sebab rasa yang ia miliki pun sama adanya. Tapi sebagai sahabat, tentu Salwa tidak ingin melukai Seruni.

“Aku mohon, kamu jauhi Arul. Aku tak sanggup sakit hati jika suatu saat akhirnya Arul lebih memilihmu. Maafkan aku, Wa,” Seruni menunduk semakin dalam.

“Hahaha, kamu ini ada-ada saja, Runi. Tidak mungkin Arul menyukaiku. Selama ini kita dekat hanya sebagai teman,”

“Iya, kamu bisa saja beranggapan seperti itu. Tapi Arul? Aku tidak yakin ia punya anggapan yang sama sepertimu. Aku mohon, Wa. Jauhi Arul,” mendengar hal itu, Salwa menghela nafas berat.

“Baiklah, Runi. Jika itu membuatmu bahagia, pasti aku lakukan. Kebetulan, lusa aku harus pindah ke luar kota, tinggal bersama tanteku. Mungkin untuk selamanya,” senyum Salwa merekah, lebih tepatnya senyum yang ia paksakan. Salwa sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Tentang sosok tante di luar kota itu tak pernah ada. Semua orang tahu, sepeninggal orangtuanya, Salwa hidup sebatang kara. Selama ini ia sanggup bertahan dengan beasiswa yang diperoleh dari sekolahnya, SMP Negeri 01 Cilongok juga santunan dari desa. Tentang bagaimana ia akhirnya nanti menghilang dari desa tersebut, itu menjadi urusan belakangan buat Salwa. Yang terpenting, ia bisa membahagiakan sahabatnya, walau artinya harus membuat hatinya sendiri terluka.

“Maaf, Rul. Aku ora bisa nerima cintamu. Selama ini, aku mung nganggap awakmu iku kakak, ora lewih.” Salwa menggeleng. Maaf, Rul. Aku nggak bisa menerima cintamu. Selama ini, aku hanya menganggapmu kakak, nggak lebih. Begitu tadi ia berujar.

“Ya wis ora papa, Wa. Sing penting kita mesih bisa batiran,” Ya udah nggak apa-apa, Wa. Yang penting kita masih bisa berteman. Hanya itu jawaban Arul. Salwa membalikkan badan meninggalkan Arul yang masih berdiri di jembatan Sungai Tenggulun, sungai yang alirannya menjadi andalan warga Panusupan untuk mengairi sawah, mandi dan mencuci pakaian.

***

“Itu buat apaan, Rul?” Salwa yang sedari tadi jongkok memegang kitiran blarak dan mengarahkannya ke arah laju angin hanya mengamati Arul yang tengah memunguti di tepian sungai yang banyak ditumbuhi pohon sengon.

“Mau buat bakar kepiting. Nanti kita cari di sungai,” Arul menyusun pangpung-pangpung itu menjadi api unggun kecil.

“Udah kelar nih. Sekarang kita ke sungai, yuk,” Arul menarik tangan Salwa hingga kitiran yang dipegangnya terjatuh.

Hanya butuh waktu kurang dari tigapuluh menit Arul telah mengumpulkan banyak kepiting. Di Sungai Tenggulun memang banyak kepiting yang bersarang di balik lempengan batu. Namun Salwa sendiri sibuk bermain air, menyiprati Arul yang tengah serius menaklukan kepiting-kepiting yang didapat dan memasukkannya ke dalam plastik.

Setelah kepiting matang, mereka mulai mencicipinya. Rasanya sangat nikmat makan kepiting bakar di sawah sambil memandangi kambing-kambing merumput. Sebagian besar anak seusia mereka memang pekerjaannya membantu orangtua mereka ngangon kambing sepulang sekolah.

“Rul, andai saja bisa, aku pengin jadi anak-anak terus. Rasanya indah sekali seperti saat ini,” Salwa berhenti sejenak dari kegiatannya mengunyah kepiting.

“Kamu bener, Wa. Aku pengin selamanya kita begini, selalu bersama dalam suka duka. Jika kelak kehidupan kita berbeda, aku harap kamu tidak akan pernah melupakan kisah persahabatan kita, Wa.”

“Tentu tidak, Rul. Aku takkan pernah melupakanmu sebagai sahabat terbaikku,” sahabat? Salwa tercekat. Benarkah ia hanya sebatas sahabat? Sebenarnya Salwa menginginkan lebih. Namun terlalu tabu baginya sebagai perempuan untuk mengakui.

“Ya Tuhan, mengapa rasa ini masih saja membuncah setelah sekian lama berusaha kupendam?” Salwa menatap langit yang semarak oleh gemintang. Badannya bersandar pada sisi jembatan Sungai Tenggulun. Matanya menghangat, dan tiba-tiba saja kristal bening menggenang memaksa keluar dari kelopak matanya.

Empat tahun silam Salwa pergi dari kampung halamannya. Menghilang begitu saja tanpa memberi kabar. Bagai sebutir kerikil yang jatuh tenggelam ke kedalaman laut. Sungguh tak berbekas. Kebulatan tekadnya hanya bertujuan satu, membahagiakan Seruni. Namun tanpa pernah ia tahu, keputusannya pergi justru menyisakan penyesalan mendalam bagi Seruni. Bagaimana pun Seruni berusaha menarik simpati Arul, nyatanya Arul justru menjauhinya.

“Maaf, Runi. Kamu jangan pernah berharap padaku, karena sampai kapan pun cintaku hanya untuk Salwa seorang,”

“Tapi, Rul. Kita tidak tahu ke mana Salwa pergi. Apakah, apakah aku tak memiliki kesempatan sedikit pun untuk membuatmu sedikit saja membuka hati?” Seruni memberanikan diri menatap wajah Arul.

“Tidak bisa, Runi. Aku percaya pada kekuatan cinta yang kumiliki. Aku yakin, suatu saat Salwa pasti kembali,” Arul menerawang jauh menatap hamparan langit luas. “Kamu baca ini. Sebelum dia pergi, dia sempat menitipkan ini pada adikku,”

Arul, sejujurnya aku pun menyintaimu. Saat kamu menyatakan cintamu kemarin, aku merasa seperti menjelma menjadi seorang putri yang bertemu pangeran. Namun sungguh, maafkan aku, Rul. Aku tak ingin menyiksa diri dengan mengingkari perasaanku. Aku lega akhirnya mampu mengakuinya kepadamu. Aku hanya tak ingin memberikan kebahagian yang semu terhadapmu, lalu kemudian membuatmu terluka. Sebab sore ini juga, aku harus pergi dari sini, dari kampung halaman kita, meninggalkan kenangan masa kecilku bersamamu. Perlu kau tahu, kepergianku bukan untuk melupakan itu semua. Tapi karena ini merupakan suatu keharusan. Kamu tahu, aku tak memiliki siapa-siapa lagi di kampung ini. Dan saat kudengar bahwa aku masih memiliki tante, maka aku harus mau ikut dengan tanteku. Setidaknya, kehidupanku nantinya lebih terjamin. Aku menyintaimu, Rul. Tapi kumohon, bukalah hatimu untuk orang lain. Karena aku sama sekali tidak akan pernah memberi kesempatan untukmu. Kumohon, demi aku.

Deg. Seruni syock membacanya. Sekarang ia tahu alasan Salwa menghilang. Ini sungguh salah dirinya. Namun lidahnya kelu, tak kuasa mengakui itu semua di hadapan Arul. Sebagai sahabat, harusnya ia tahu sejak dulu, bahwa Salwa memiliki rasa terhadap Arul, yang mungkin tumbuh jauh sebelum rasa itu juga dimilikinya. Berbulan-bulan Seruni memendam rasa bersalahnya, sambil terus berusaha mencari tahu keberadaan Salwa. Ia sungguh-sungguh ingin meminta maaf setulus hati. Seruni tahu persis perasaan Salwa saat memutuskan pergi. Pastilah luka hati yang dibawanya. Dan demi persahabatan yang agung, Seruni ingin memperbaiki semuanya. Seruni ingin memperbaiki kesalahan yang dibuatnya.

Dan subhanallah, entah apa yang menuntun langkah Salwa untuk kembali ke tempat ini, setelah sekian lama pergi begitu saja. Pagi itu dirinya mendadak gelisah. Ia begitu merindukan kampung halamannya, rindu dengan masa lalunya yang lebih banyak dihabiskannya di desa yang terletak di tepian Sungai Tenggulun tersebut. Maka, dengan rasa rindu yang membuncah Salwa langsung meluncur menumpang bus Sinar Jaya pagi itu juga.

“Salwa?” suara Seruni tercekat di tenggorokan. Kebetulan Seruni yang baru saja berkunjung ke rumah bibinya melintasi jembatan Sungai Tenggulun.

“Eh, iya? Kamu?” Salwa kaget, salah tingkah. Jauh di lubuk hatinya ia sangat merindukan sahabatnya itu. Namun sisi hatinya yang lain mengatakan bahwa kemunculannya bisa saja membuat Seruni terusik. Dan Salwa tidak ingin merusak kebahagiaan Seruni.

“Tunggu, Wa,” tangan Seruni cekatan menangkap lengan Salwa. “Wa, maafin aku. Maaf, dulu aku sama sekali tak tahu kalau kamu menyintai Arul. Aku terlalu egois mengedepankan perasaanku, tanpa memikirkan perasaanmu. Aku harap, kamu mau memaafkanku. Kumohon, kembalilah ke sini demi aku, demi Arul yang masih setia menunggumu, demi kita semua, Wa,” Seruni mempererat pelukannya, yang kemudian dibalas oleh Salwa. Meski belum tahu apa yang selanjutnya akan terjadi, Salwa merasa rongga dadanya begitu lega. Matanya yang tadi berkaca-kaca mengenang masalalu, sekarang sempurna mengeluarkan bulir-bulir bening menahan rasa haru. Kedua bersahabat itu berpelukan lama dengan berlinang airmata. Tanpa perlu penjelasan lagi, keduanya saling menyampaikan pesan melalui ekspresi tubuh. Seruni yang tulus meminta maaf, dan Salwa yang dengan tulus pula memaafkan. Semua kebekuan yang selama ini mengungkung keduanya perlahan mencair. Sepoi angin malam yang berembus, rumpun bambu yang tumbuh di tepian sungai, bintang yang bertaburan di langit, serta seluruh ciptaan-Nya seolah bertakbir mengiringi kebahagiaan kedua sahabat itu.[ ]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Logo

Hasil Seleksi Tahap I Paramadina Fellowship (PF) 2011